• Nusantara
  • Rencana Vaksin Covid-19 Berbayar Tahun 2022 akan Memperlebar Jurang Ketimpangan Akses Vaksinasi

Rencana Vaksin Covid-19 Berbayar Tahun 2022 akan Memperlebar Jurang Ketimpangan Akses Vaksinasi

Sasaran vaksinasi anak di Bandung sebanyak 223.730 orang, dari jumlah ini anak yang telah menerima dosis 1 baru 21.559 orang, dan dosis 2 baru 3 anak.

Petugas kesehatan menyuntik vaksin Covid-19 dosis 1 untuk murid sekolah dasar usia 6 sampai 11 tahun di SD BPI, Bandung, Rabu (22/12/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 Desember 2021


BandungBergerak.idPemerintah berencana memberikan vaksin Covid-19 dosis ketiga (booster) dan vaksin berbayar mulai 2022. Rencana ini mendapat sorotan dari koalisi masyarakat sipil. Pemerintah lebih didorong memprioritaskan vaksin dosis 1 dan 2 hingga cakupan mencapai 70-80 persen secara nasional.

Di Bandung, jangkauan vaksinasi Covid-19 memang sudah melampaui target, bahkan dosis satunya sudah melebihi angka 100 persen dari 1952.358 jiwa. Namun untuk vaksin anak (6-11 tahun) yang baru dimulai, masih jauh dari target. Sasaran vaksinasi anak di Bandung sebanyak 223.730 orang, sementara dosis 12 baru 21.559, dan dosis 2 baru 3 anak, per Kamis 23 Desember 2021.

Itu di Bandung yang merupakan kota besar dengan fasilitas kesehatan lengkap. Di pelosok-pelosok, sangat mungkin akses ke fasilitas vaksinasi berbeda, sebagaimana yang diuraikan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LaporCovid-19, CISDI, Puskapa, dan Transparency International Indonesia.

“Kami meminta pemerintah tidak menggulirkan program booster berbayar karena akan memperlebar jurang ketimpangan akses vaksin. Kami mendorong pemerintah segera menyiapkan tata kelola vaksinasi Covid-19 jangka panjang berbasis data, komunitas, dan puskesmas, serta inklusi dan akuntabilitas,” ungkap Koalisi, mengutip siaran pers dari laman LaporCovid-19, Jumat (24/12/2021).

Rencana pemberian vaksin dosis ketiga Vaksin dan Covid-19 berbayar itu disampaikan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI (14/12/2021). Menkes menyebut pemerintah berencana melaksanakan program booster lansia berstatus peserta PBI BPJS Kesehatan melalui skema tidak berbayar per Januari 2022. Sementara itu, booster bagi masyarakat umum akan disediakan melalui mekanisme berbayar pada periode yang sama.

Menkes Budi Gunadi Sadikin beralasan keputusan ini adalah upaya melindungi lansia dan kelompok rentan serta memitigasi varian omicron yang telah menyebar di tingkat global. Namun di tengah situasi pengendalian wabah yang serba tidak pasti, Koalisi menilai keputusan ini perlu disorot lebih jauh.

Pandemi Covid-19 Belum Berakhir

Menurut Koalisi, turunnya tren kasus sejak September hingga sekarang membuat pemerintah kembali fokus pada perbaikan ekonomi dan agenda politik lainnya. Penanganan pandemi seolah luput dari prioritas dan protokol yang selama ini terbukti melonggar. Akibatnya, kewaspadaan publik yang lelah dan jenuh terancam mengendur, sementara masyarakat rentan semakin kesulitan melindungi diri.

Laporan CISDI mencatat, mobilitas penduduk sendiri untuk kategori penggunaan transportasi umum naik 54,6% sepanjang bulan Juli hingga November 2021.

Pandemi merupakan ujian panjang. Protokol bermasker, menjaga jarak, membersihkan udara dalam ruangan, mengelola perjalanan, dan kegiatan di luar bila terpaksa dengan berbagai langkah mitigasi termasuk karantina, konsisten melaksanakan testing, tracing, treatment, dan vaksinasi harus berjalan beriringan, bukan dipilih salah satu.

Sayangnya, surveilans dan tata kelola protokol yang mengendur karena ongkos sosial besar membuat vaksinasi dijadikan satu-satunya tumpuan untuk menekan laju penularan Covid-19.

Koalisi menyatakan, vaksinasi Covid-19 memang bentuk pertahanan yang dapat efektif mengatasi pandemi panjang ini, tapi hanya bila ia diberikan merata pada semua yang berhak dalam dosis yang tepat. Di tengah ketimpangan vaksinasi Covid-19 dunia, menyebarnya mutasi virus merupakan konsekuensi.

Ancaman varian omicron yang memiliki mutasi kompleks dan tingkat penularan tinggi lalu ditanggapi dengan kebijakan khusus bagi lansia dan warga rentan penerima PBI. Namun di saat bersamaan, Indonesia baru mencapai cakupan vaksinasi dosis 2 di angka 50,68 persen per 16 Desember 2021, seiring dengan vaksinasi anak (6-11 tahun) yang baru bergulir.

Selain itu, LaporCovid-19 masih menemukan kesulitan warga mengakses vaksin. Per Agustus hingga 13 Desember 2021, tercatat sedikitnya 308 laporan yang menginformasikan terkait kendala warga pada program vaksinasi nasional.

“Laporan tersebut menjelaskan kesulitan warga mendaftar dan minimnya informasi ketersediaan vaksin, sehingga mereka harus melakukan pencarian secara mandiri. Laporan ini juga mengindikasikan buruknya tata kelola pelaksanaan vaksin di lapangan, termasuk dalam proses administrasi pendataan dan pendaftaran program vaksinasi,” demikian Koalisi.

Meratanya akses pada vaksinasi dua dosis pertama bergantung pada suplai vaksin dan kapasitas distribusi serta layanan vaksinasi. Ketepatan jumlah dosis mengharuskan kita untuk terus memantau perkembangan sains secara cermat.

Setelah satu tahun program vaksinasi nasional berjalan, pemerintah masih kesulitan menjangkau dan memprioritaskan kelompok rentan, menurut laporan CISDI dan Puskapa, 2021.

Kapasitas distribusi dan layanan vaksinasi yang terbatas dan timpang antar perkotaan dengan perdesaan juga terjadi. Perbedaan akses di pulau Jawa dengan non-Jawa ataupun wilayah barat dengan wilayah timur membuat Indonesia kerap hadapi risiko ketimpangan vaksinasi.

“Situasi ini diperparah dengan minimnya transparansi informasi mengenai distribusi dosis vaksin pertama dan kedua,” lanjut Koalisi.

Vaksin Covid-19 Berbayar Berisiko Memperburuk Ketimpangan Vaksinasi

Penyebaran variants of concern membuat pemberian dosis ketiga atau vaksin booster dibutuhkan. Namun, pemberian dosis ketiga dan booster harus dilandasi bukti ilmiah terkait penurunan kekebalan dan perlindungan klinis, berkurangnya efektivitas vaksin, dan ditargetkan untuk kelompok populasi yang paling membutuhkan, yakni lansia di atas 65 tahun dan pasien dengan gangguan imunitas.

Dalam keterbatasan pasokan vaksin dan kapasitas vaccine delivery, kebijakan booster berbayar berisiko memperburuk ketimpangan vaksinasi dan mengalihkan pasokan dari meratanya dua dosis pertama atau vaksinasi primer. Tanpa kecepatan, ketepatan, dan keluasan cakupan dosis 1 dan 2, prospek mitigasi pandemi bisa meleset dan berimplikasi buruk bagi kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial, dan ekonomi.

Atas dasar itu, Koalisi meminta pemerintah meniadakan kebijakan vaksin Covid-19 berbayar, memperjelas rencana pencapaian 70-80 persen cakupan vaksin dosis lengkap, mempercepat jangkauan vaksinasi pada masyarakat rentan, memperjelas ketersediaan pasokan dan kapasitas layanan vaksinasi Covid-19 dosis ketiga bagi lansia 65 tahun ke atas, dan menyiapkan tata kelola untuk pada akhirnya menyediakan dosis ketiga secara gratis bagi seluruh masyarakat.

Koalisi mendorong pemerintah untuk memperkuat jangkauan vaksinasi  pada seluruh masyarakat, terutama bagi warga yang paling rentan dengan memobilisasi pelayanan kesehatan primer. Puskesmas mampu menguatkan kapasitas kesehatan di level komunitas, termasuk menjangkau kelompok rentan yang selama ini sulit mendapatkan vaksin.

Koalisi meminta pemerintah tidak membuat bingung warga dengan narasi booster berbayar dan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan keberpihakan pada warga rentan. Penambahan jalur booster berbayar akan membebani tata kelola vaksinasi yang saat ini sudah sangat terbatas dan masih timpang.

Transparansi Kebijakan Vaksinasi

Koalisi juga mendesak transparansi kebijakan vaksinasi nasional yang terdiri dari data hingga proses pengadaan, distribusi vaksin ke pemerintah provinsi kabupaten dan kota, dan penyaluran ke individu atau kelompok penerima. Hingga saat ini, publik masih kesulitan mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin, mulai dari proses pengadaan, distribusi vaksin ke pemerintah provinsi kabupaten dan kota, hingga penyaluran ke individu atau kelompok penerima.

Minimnya transparansi pendistribusian vaksin menyebabkan warga kesulitan mendapatkan informasi secara real-time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya, dan di mana saja vaksin tersebut sudah didistribusikan. Akibatnya, warga tidak mengetahui kapan vaksin akan datang dan diterima.

“Ketersediaan informasi tersebut diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin dosis kedua,” kata Koalisi.  

Oleh karena itu, Koalisi menyatakan perbaikan sistem pendataan seharusnya menjadi agenda prioritas pemerintah sebelum vaksinasi dosis ketiga diberlakukan, sehingga warga dapat mendapatkan akses vaksin dengan mudah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//