• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (13): Rangkaian Kursus PNI Membahas Nasionalisme dan Imperialisme

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (13): Rangkaian Kursus PNI Membahas Nasionalisme dan Imperialisme

PNI menggelar serangkaian kursus di berbagai lokasi di Bandung sepanjang Oktober 1929. Banyak membahas tentang nasionalisme dan imperialisme.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Informasi kursus yang diselenggarakan oleh pengurus PNI, termuat di Banteng Priangan edisi 1 November 1929. Dalam kursus-kursus itu, banyak pembahasan menyoal nasionalisme dan imperialisme. (Foto repro: Hafidz Azhar)

1 Januari 2022


BandungBergerak.id - Rangkaian kursus yang digelar PNI di Bandung sepanjang bulan Oktober 1929 menyajikan berbagai kajian dan persoalan ekonomi politik yang kerap dihadapi rakyat Pribumi. Kegiatan kursus berlangsung di beberapa tempat. Pada tanggal 10 Oktober 1929, kursus diadakan di Regentsweg dengan 887 orang peserta, termasuk 141 orang anggota yang baru.

Dalam kursus di Regentsweg itu, Sukarno memberikan materi tentang nasionalisme, dengan menitikberatkan pembahasan mengenai keragaman bahasa, agama, serta letak daerah tertentu. Sukarno memberikan gambaran terkait fakta-fakta kebangsaan di negara-negara Barat dan Timur Tengah, seperti yang terjadi di Mesir dan Swiss. Di negara Mesir, agama tidak menjadikan perbedaan kebangsaan. Para penganut dua agama besar melebur menjadi bangsa Mesir. Di Swiss, terdapat beragam bahasa Eropa yang digunakan. Meski demikian, keragaman bahasa tidak menghilangkan rakyatnya untuk disebut sebagai bangsa Swiss.

Di Indonesia, bangsa lahir dari nasib yang dialami bersama oleh rakyat. Hal ini bagi Sukarno, berkenaan juga dengan kondisi bangsa yang hadir di suatu masa.

“Lamoen djaman geus ngalahirkeun teu beunang dihalangan deui; lamoen sanasib rajat tangtoe djadi hidji natie. Kitoe oge Indonesia sanadjan agamana beda-beda, basana beda-beda, bangsana henteu sabangsa, koelantaran sanasib pada keuna koe kolonie process, pada keuna koe desekanana imprealisme tangtoe bae djadi hidji natie anoe hajang merdika (Kalau suatu zaman sudah melahirkan tidak dapat lagi dihalangi; kalau bernasib sama, rakyat tentu jadi bangsa. Begitu juga Indonesia, meski berbeda-beda agama, Bahasa, dan berbeda bangsa, karena satu nasib yang terdampak oleh kolonialisasi, juga oleh imperialisme, tentu saja bisa menjadi satu bangsa yang merdeka). (Banteng Priangan, 1 November 1929)

Sementara itu, pada tanggal 17 Oktober, kursus dilaksanakan di Dayeuhkolot dan Godobangkong. Di Dayeuhkolot, kursus dipimpin oleh Maskoen, dihadiri 51 orang anggota dan 8 orang anggota baru. Dengan penjagaan ketat oleh polisi, Sukarno memberikan materi kursus terkait nasionalisme. Di Godobangkong, Gatot Mangkoepradja memimpin jalannya kegiatan kursus. Sebanyak 78 orang hadir dalam kursus tersebut, termasuk 19 orang anggota baru. Adapun materi yang diberikan mengenai imperialisme.

Kajian mengenai imperialisme sendiri terlihat lebih meluas. Apa yang dimaksud dengan imperialisme dan bagaimana pengaruhnya terhadap Indonesia dijelaskan dalam pertemuan itu. Seperti penjelasan tentang sifat imperialisme, yang mencakup Economische Imprealisme dan Politiek Imprealisme. Ada juga penjelasan tentang alat-alat imperialisme seperti Concrete mactafacteren, yakni alat-alat yang dapat terlihat dan diraba, sebagaimana yang tergambar pada tentara dan polisi. Lalu, alat-alat imperialisme yang abstrak, yaitu alat-alat yang tidak bisa diraba, tapi terlihat namun hanya terasa, seperti para pemegang kendali imperialisme (Banteng Priangan, 1 November 1929).

Tidak hanya itu. Alat imperialisme abstrak ini mempunyai empat indikasi. Pertama, Politiek verdeel en Heersch, yaitu, politik memecah belah. Kedua, Het domhouden van de massa, yang berarti rakyat tidak punya pandangan yang luas dan tidak dapat berusaha sendiri karena terkena dampak imprealisme. Ketiga, Psychologische injectie van de superieuriteit van het blanke ras (suntikan psikologis keunggulan ras) yang berarti propaganda mengenai bangsa kulit putih yang lebih unggul dari rakyat Pribumi. Hal ini dilakukan setiap saat oleh kaum imprealis melalui pikiran-pikiran kolektif rakyat Pribumi. Keempat, Associatie gedachte (pikiran kolektif), yang berarti pemahaman bahwa bangsa Pribumi dapat bersatu dengan bangsa lain, karena dianggap memiliki kebutuhan yang sama meskipun pada kenyataannya terdapat kebutuhan berbeda antara kaum Pribumi dengan pihak lain, terutama kaum imperialis Belanda (Banteng Priangan, 1 November 1929).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (11): Sukarno Menjawab Sikap PNI
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (10): Salah Paham Utusan Jong Islamiten Bond
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (9): Perkumpulan Gabungan Kaum Ibu Indonesia

Jurus Membendung Imperialisme

Untuk membendung desakan imperialisme, Gatot Mangkoepradja menjelaskan empat cara kepada para peserta kursus. Pertama, persatuan Indonesia, yang berarti mengharuskan ikatan kuat dalam diri rakyat Indonesia dengan melahirkan bangsa Indonesia yang tidak membeda-bedakan agama, bahasa, harkat, dan kedudukan. Kedua, mengadakan perguruan rakyat dan sekolah-sekolah. Dalam hal ini, rakyat diberi pendidikan yang sempurna supaya akal pikiran tidak mati. Ketiga, diberikan kesadaran bahwa bangsa Indonesia merupakan manusia yang memiliki pemahaman dan kemampuan. Keempat, memberikan pengertian kepada rakyat bahwa kebutuhan yang lain dengan kebutuhan kaum Pribumi jelas sangat berbeda, sehingga rakyat dapat memisahkan diri, tanpa didasarkan rasa kebencian (Banteng Priangan, 1 November 1929).

Pada tanggal 20 Oktober 1929, kursus diadakan di tiga tempat berbeda. Pertama, di Bandung. Gatot Mangkoepradja memimpin kegiatan ini dengan memberikan materi tentang perbedaan koloni. Apa saja macam-macam koloni dan bagaimana bentuk yang dilahirkan oleh negara jajahan ini. Seperti penjelasan Militaire kolonie (Koloni Militer), Deportatie kolonie (Koloni Deportasi), Plantage kolonie (Koloni Perkebunan), dan Landbouwkolonie (Koloni Pertanian). Peserta yang hadir dalam pertemuan ini berjumlah 950 anggota, termasuk 170 anggota baru.

Kedua, di Cijerokaso, dengan peserta yang hadir 67 anggota dan 8 orang anggota baru. Adapun materi yang disampaikan masih mengenai imperialisme yang pernah dijelaskan Gatot dalam kursus di Godobangkong.

Ketiga, di Lembang. Pada kegiatan ini empat orang propogandis menjelaskan mengenai kesengsaraan rakyat Indonesia. Keempat orang tersebut adalah Sukarno, Moerwoto, Soetardjo, dan Soepriadinata.

Sampai tanggal 22 Oktober 1929, kegiatan kursus masih digelar oleh para pengurus PNI. Di Rancaekek, kursus dihadiri oleh 27 orang anggota dan 5 anggota baru. Materi yang disampaikan oleh Gatot Mangkoepradja dalam kegiatan itu lagi-lagi masih seputar imperialisme.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//