Pelaku Pelanggaran Ketertiban di Kota Bandung Terancam Sanksi Diviralkan, Apa Dasarnya?
Hukum diciptakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan memviralkan pelaku pelanggar ketertiban, apakah warga Bandung sejahtera?
Penulis Iman Herdiana18 Januari 2022
BandungBergerak.id - Istilah viral kini sepertinya wajib melekat pada suatu peristiwa atau isu. Jika tidak viral, maka peristiwa atau kasus tersebut terkesan biasa-biasa saja. Di media sosial bahkan muncul istilah “no viral no justice”, entah sebagai sindiran atau bisa berarti apa pun yang menyangkut keadilan.
Bicara soal viral ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menyiapkan sanksi sosial bagi pelanggar ketertiban. Sanksi ini istilahnya diviralkan. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung, Yayan Ahmad Brilyana mengatakan ancaman berupa sanksi diviralkan ini akan berlaku bagi siapa pun yang berani melanggar peraturan di Kota Bandung.
“Ya, akan diviralkan sebagai efek jera,” tegas Yayan, dalam siaran pers, Selasa (18/1/2022).
Sanksi sosial berupa diviralkan mengacu pada Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Perlindungan Masyarakat. Yayan menyebut, sanksi tersebut telah dilakukan Pemkot Bandung terhadap seorang pelaku vandalisme di area Babakan Siliwangi belum lama ini.
Menurunya, video pelaku vandalisme tersebut ditayangkan di media sosial Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Bandung. Begitupula tangkapan layar videonya dijadikan spanduk dan dipajang di kawasan terjadinya vandalisme.
“Sanksi sosial efek jeranya lebih besar daripada sanksi uang,” ujar Yayan.
Yayan juga mengimbau masyarakat supaya jangan ragu melapor ke 112 apabila terjadi kasus kegawat daruratan di Kota Bandung. Upaya lain Pemkot Bandung dalam memastikan ketertiban umum dan kenyamanan bagi masyarakat diwujudkan dalam bentuk kolaborasi dengan kepolisian.
Baca Juga: Perda KTR Kota Bandung: Daftar Tempat-tempat Dilarang Merokok dan Sanksi bagi Pelanggar
Tipiring Kota Bandung: Perlu Pendekatan Humanis dan Transparan agar tak Terjadi Konflik Sosial
Kesejahteraan dan Manfaat bagi Masyarakat
Mengganggu ketertiban, seperti mencoret fasilitas publik, memang pelanggaran sehingga harus ada sanksi untuk menimbulkan efek jera dan memenuhi kepentingan hukum. Sanksi itu tidak harus pidana penjara atau denda, melainkan bisa juga dengan sanksi sosial.
Sanksi sosial telah masuk ke dalam R-KUHP Pasal 85 ayat (1) yang menjelaskan apabila pidana denda tidak mungkin dilakukan, terdakwa dapat menggantinya dengan pidana kerja sosial, menurut Teafani Kaunang Slat dalam jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.
Jika kembali pada sanksi sosial yang dicanangkan Pemkot Bandung mengenai memviralkan pelaku pelanggar ketertiban, pertanyaannya sejauh mana sanksi tersebut mampu menjawab kepentingan hukum? Atau memviralkan tersebut kepentingannya hanya untuk mempermalukan pelaku saja?
Masih menurut jurnal Teafani Kaunang Slat, tujuan hukum adalah kesejahteraan sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat, sedangkan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi tersebut, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Sehingga sanksi apa pun yang diberikan, harus bertujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dan unsur mensejahterakan masyarakat ini tidak terlihat pada sanksi diviralkan ala Pemkot Bandung.
Mengenai kesejahteraan masyarakat ini, Teafani menejaskan bahwa ada unsur kebermanfaatan dari hukum yang diterapkan. Artinya, masyarakat harus menerima manfaat dari hukum yang diberlakukan. Kembali pada kasus memviralkan, manfaatnya apa bagi masyarakat? Juga belum terjawab.
Kerja Sosial vs Sanksi Diviralkan
Dalam jurnalnya Teafani membahas tentang kerja sosial sebagai sanksi pengganti pidana ringan atau denda. Menurutnya, kerja sosial mengandung unsur kesejahteraan dan kebermanfaatan bagi masyarakat. Penerapan pidana kerja sosial dapat memenuhi aspek tersebut karena banyak pihak yang dapat menerima manfaat dari kebijakan ini.
“Kerja sosial yang dimaksud dapat berupa kerja sosial di masyarakat seperti membersihkan jalan, mengecat tembok, maupun bekerja di panti jompo,” paparnya.
Di lain sisi, pelaku dapat menerima hukuman dalam proporsi yang wajar sesuai dengan kesalahan, sekaligus dapat belajar berintegrasi kembali ke dalam masyarakat melalui penebusan kesalahan dengan cara bekerja di masyarakat. Komunitas sekitar pelaku melakukan hukumannya juga dapat menerima manfaat sebesar-besarnya karena pelaku akan bekerja secara gratis untuk membantu masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat dapat merasakan kepuasan dari pembalasan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh pelaku, sekaligus terbantu dengan hasil kerja yang telah dihasilkan dari sanksi pidana yang dijalaninya.
“Menurut perspektif pencegahan kejahatan, pemidanaan ini juga dapat secara efektif menanggulangi kejahatan karena sifat dari hukuman ini dilaksanakan di muka publik. Pelaku dapat menyadari kesalahannya karena merasa malu atas kejahatan yang dilakukannya. Keadilan menjadi salah satu tujuan dari suatu kebijakan hukum, namun daya guna dan kemanfaatan dari kebijakan tersebut menjadi salah satu unsur penting dalam pemberlakuannya,” paparnya.
Jurnal hukum tersebut merupakan satu dari sekian banyak rujukan yang bisa digali tim hukum Pemkot Bandung dalam menentukan sanksi bagi pelanggaran ketertiban. Dengan rujukan yang jelas dan ilmiah, Pemkot Bandung akan memiliki dasar pemikiran yang ilmiah pula, tidak berdasarkan istilah viral yang belum ada kajiannya.