• Liputan Khusus
  • BAYI-BAYI PANDEMI: Membubung Stunting di Kota Bandung

BAYI-BAYI PANDEMI: Membubung Stunting di Kota Bandung

Ribuan bayi di Kota Bandung, terutama yang tinggal di kampung-kampung terpadatnya, menderita stunting. Pandemi Covid-19 membuat situasi kian memburuk.

Rasya (1,5) dalam dekapan sang ayah ketika ditemui di petak rumah kontrakannya di Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung, Jumat (3/9/2021) sore. Menderita stunting, bayi kelahiran Mei 2020 ini masih kesulitan menopang tubuhnya sendiri untuk mulai belajar berjalan. (Foto: Arif 'Danun' Hidayah)

Penulis Tim Redaksi25 Januari 2022


BandungBergerak.idGang Sukapakir Dalam, RT 04 RW 05 Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, tidak pernah sepi. Anak-anak bermain dengan suara riang, sementara ibu-ibu mereka saling bertegur sapa dan ngerumpi kesana-kemari. Bila malam tiba, giliran anak-anak muda nongkrong.

Di depan rumahnya, Jumat (3/9/2021) sore, Siti (24) menggendong Rasya, anak bungsunya. Bayi berumur 1,5 tahun itu tidak betah berada di dalam rumah dan menangis meminta ibunya membawanya keluar. Ada dua kakaknya, Rizky (4) dan Rizal (3), yang sedang bermain, namun Rasya menikmati hiruk-pikuk kampungnya itu dengan tatapan kosong.

Rasya saat ini masuk dalam daftar bayi berstatus stunting di Kelurahan Jamika. Tubuh yang terlalu mungil, dengan berat badan hanya 7 kilogram, tidak memberinya cukup tenaga untuk mulai belajar berjalan. Gendongan sang ibu menjadi tumpuan melihat dunia di luar kamar.  

Stunting merupakan kondisi kekurang gizi kronis yang diderita anak dalam seribu hari pertama kehidupannya. Ciri paling umum adalah ukuran panjang atau tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan usianya. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebut beberapa faktor penyebab stunting, di antaranya kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Stunting membuat anak kesulitan mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

Melahirkan Rasya bukan perkara mudah bagi Siti. Pada Mei 2020 lalu, dunia sedang dihantam gelombang pertama pandemi Covid-19. Di Kota Bandung, per 13 Mei 2020 tercatat 276 kasus positif dengan 35 orang di antaranya meninggal dunia.

Ketika itu banyak informasi tentang wabah masih simpang-siur di tengah masyarakat. Ditambah lagi, layanan-layanan kesehatan menerapkan banyak pembatasan atau bahkan berhenti sama sekali. Tidak terkecuali layanan persalinan.

Siti dua kali ditolak oleh rumah bersalin, sebelum bisa masuk ke sebuah rumah bersalin di dekat persimpangan Jalan Jamika. Perasaan cemas menjalar.

“Waktu itu saya merasa takut bayi saya tidak terselamatkan. Alhamdulillah akhirnya dapat (rumah bersalin),” ungkapnya.

Di rumah bersalin itu, Siti dilayani dengan baik oleh bidan. Biaya persalinan yang harus dikeluarkan pun relatif masih terjangkau, yakni 1,6 juta rupiah. Termasuk di dalamnya biaya untuk intervensi medis terhadap ari-ari yang menempel di dinding rahim dan tidak kunjung keluar. Menurut bidan yang menangani, masalah muncul akibat jarak kehamilan yang terlalu dekat sehingga rahim Siti belum pulih betul dari luka persalinan sebelumnya.

Dalam ingatan Siti, berat badan Rasya ketika dilahirkan 2,9 kilogram, sedikit di atas ambang berat badan lahir rendah (BBLR) 2,5 kilogram. Namun, dia juga mengingat bahwa sang bayi termasuk yang terkecil di antara bayi-bayi yang lahir di rumah bersalin itu.

Setelah Rasya lahir dengan selamat, perjuangan keluarga Siti tidak lantas usai. Di bulan-bulan awal pandemi itu, ketika berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), semua pos pelayanan terpadu (posyandu) tidak beroperasi. Buku Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dimiliki Siti pun kosong. Perkembangan dan kesehatan Rasya sama sekali tidak terpantau.

Masalah tumbuh kembang Rasya pertama kali dirasakan Siti sekitar setengah tahun lalu. Selama sebulan sang bayi menderita sakit. Gejalanya berkaitan dengan gangguan pernafasan. Rasya batuk-batuk dan sesak nafas. Lagi-lagi akibat pandemi, proses pengobatannya tidak semudah di masa normal.

Setelah dinyatakan sembuh, berat badan Rasya tidak ikut pulih. Ketika posyandu dibuka untuk pertama kalinya pada awal Agustus 2021, setelah empat bulan kembali tutup selama Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diberlakukan, tahulah Siti bahwa berat sang bayi amat jauh dari normal.

Petugas posyandu menyarankan agar Rasya dimasukkan ke dalam pendataan program Bandung Tanggap Stunting dengan Pangan Aman dan Sehat (Tanginas) agar memperoleh intervensi gizi dari pemerintah. Rasya juga diberi suplemen makanan berbentuk serbuk yang harus dicampurkan ke dalam setiap makanan yang dikonsumsinya.

“Namun hingga sekarang kami belum pernah menerima bantuan semacam itu,” tutur Siti.

800 Ribu Rupiah per Bulan

Siti, bersama suami, Herman (36), dan tiga anak mereka, tinggal dalam satu petak kontrakan seluas kurang dari delapan meter persegi. Tembok-temboknya terlihat amat lembab. Mereka menambahkan struktur mezanin ala kadarnya, dengan lemari plastik berisi pakaian dan barang-barang lain ditaruh di atasnya. 

Herman menghiasi dinding ruangan yang lembab itu dengan lukisan tokoh-tokoh kartun terkenal, hasil karyanya sendiri. Terlihat di sudut tempat tidur, boneka-boneka yang setia menemani ketiga bocah laki-laki ini di waktu tidurnya. Ada juga seekor kura-kura yang ditempatkan di sebuah wadah bekas galon. Rizal, sang anak tengah, memanggilnya ‘si kuya’.

Penghasilan Herman sebagai teknisi mesin genset di sebuah perusahaan di kawasan Dago, Bandung, merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga ini. Di sepanjang 1,5 tahun pandemi Covid-19, ia terpaksa berhenti kerja selama beberapa bulan karena perusahaan pun dilarang buka. Upah yang tidak besar harus terpotong hingga seperempatnya.

“Gaji pokok saya memang cuma 800 ribu rupiah, tapi sebelum ada Covid-19 saya bisa kerja sambilan mengantar genset atau panggilan ke luar kota. Dulu satu bulannya (saya) bisa dapat sekitar 3,5 juta rupiah,” katanya.

Keterbatasan kemampuan ekonomi membuat Herman dan Siti memiliki pilihan yang terbatas pula untuk tumbuh kembang ketiga anak mereka. Rizky dan Rizal belum mereka sekolahkan ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) setempat. Sudah berumur empat tahun, si sulung belum juga lancar berbicara, sementara si tengah menjadi anak yang amat pendiam.

Rasya, yang Jumat sore itu menatap kosong kedua kakaknya yang sedang bermain di luar kamar kontrakan, bahkan belum bisa lepas dari gendongan ibunya.

Khalista, 14 bulan, digendong oleh ibunya Hana (42), di rumah kontrakan mereka di Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, awal September 2021. Bungsu dari tiga bersaudara ini memiliki berat dan tinggi badan jauh di bawah ideal. (Foto: Arif Danun Hidayah)
Khalista, 14 bulan, digendong oleh ibunya Hana (42), di rumah kontrakan mereka di Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, awal September 2021. Bungsu dari tiga bersaudara ini memiliki berat dan tinggi badan jauh di bawah ideal. (Foto: Arif Danun Hidayah)

Kisah Khalista

Tidak jauh dari rumah petak yang dikontrak Siti dan Herman, masih di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Hana (42) tinggal bersama suami dan tiga orang anak perempuannya dalam rumah berlantai karpet plastik mengkilat dengan hanya satu kamar. Sebuah televisi tabung 21 inci sedang menayangkan sinetron terkenal di salah satu stasiun televisi swasta.

Rumah Hana mudah dikenali. Aroma cabai yang khas dari lapak seblaknya menguar ke mana-mana. Seblak itulah yang jadi sumber penghasilan tambahan bagi keluarga Hana.

Cerita yang keluar dari mulut Hana tidak jauh beda dengan kesaksian Siti. Persalinan si bungsu, Khalista (1,2), juga tumbuh kembangnya, di bulan-bulan awal pandemi Covid-19 tidak pernah mudah.

Menjelang hari melahirkan tiba, keluarga Hana benar-benar kehabisan uang. Sang suami baru saja kehilangan pekerjaan di salah satu bengkel di sentra sepatu Cibaduyut, Bandung. Pagebluk berimbas pada pengurangan banyak pekerja dan perajin.

Di waktu yang sama, keluarga Hana masih berutang uang sewa kontrakan yang harus segera dibayar. Karena betul-betul tidak memegang uang, mereka akhirnya terusir.

Di tengah kecamuk pikiran seperti itu, Hana memperoleh harapan lewat puskesmas yang merujuknya ke Rumah Sakit Kebon Jati. Seluruh biaya persalinan, yang mustahil terbayar dengan uang sendiri, ditanggung oleh program Kartu Indonesia Sehat (KIS). 

“(Saya) Bersyukur dapat rujukan, tapi tetap weh gelisah karena suami sudah mencari pekerjaan kesana-sini, tapi tidak ada satu pun tempat yang menerimanya,” kata Hana, awal September 2021.

Selama menjalani perawatan di rumah sakit, Hana tak henti menangis. Dia, yang menyimpan juga penyakit hipertensi dan diabetes, memikirkan betul kondisi keluarganya. Ditambah lagi, kekhawatiran tertular Covid-19 yang sering muncul di kepala.

Saat kehamilan sudah memasuki 9 bulan lebih 40 hari, Khalista belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari rahim. Dokter menyarankan prosedur operasi sesar.

Berbadan Kecil

“Ini teh kecil wae, gimana ya?” celetuk Hana, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi fisik Khalista.

Sudah berumur 14 bulan, Khalista berbobot hanya 6,5 kilogram dan berpostur lebih pendek dari anak-anak sebayanya. Merujuk panduan berat badan ideal anak sesuai umur dalam dokumen “Standar Antrometri Anak” yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bayi berumur 14 bulan normalnya memiliki bobot sekitar 9,4 kilogram. Bayi dengan bobot 6,5 kilogram, seperti Khalista, masuk ke dalam kategori indeks poin -3 SD yang berarti berat badan sangat kurang.

Yang dialami oleh keluarga Siti, dialami juga oleh keluarga Hana. Mandeknya layanan posyandu dan puskesmas akibat kebijakan pembatasan aktivitas warga salama pagebluk, menyulitkannya memantau tumbuh kembang Khalista. Hana mulai beralih ke susu formula untuk memenuhi kebutuhan si bungsu, meski tidak juga diberikan setiap hari.

Meski layanan sempat mampet, toh para petugas puskesmas sudah beberapa kali menyarankan agar Hana berkonsultasi dengan dokter ahli gizi terkait staus gizi Khalista. Namun dia merasa enggan melakukannya karena meyakini Khalista baik-baik saja.

Datang juga usulan agar Hana membuatkan Khalista menu sayur-sayuran demi perbaikan gizi anak, tapi sang bayi sering tidak mau melahapnya. Ditambah lagi, saran mengkonsumsi suplemen berbentuk serbuk yang harus dicampurkan ke setiap makanan, sama persis yang disarankan kepada keluarga Siti untuk anak mereka Rasya.

“(Saya) Suka jadi malu kalau ke puskesmas karena suka dibilang Khalista kurang gizi. Ini mah cuma kecil aja sih. Makan dia banyak kok, walau memang dia maunya cuma makan bubur,” ujar Hana sambil menunjukkan semangkok bubur putih polos yang menjadi santapan si bungsu.

Saat ini, setelah berbulan-bulan berjuang, suami Hana sudah bisa bekerja kembali. Namun, keluarga ini masih menyimpan kekhawatiran terhadap Khalista yang masih jauh dari usai. Meski terlihat lincah, si bungsu memiliki badan yang terlampau kecil dan pendek. Beberapa kali dia jatuh sakit, memaksanya melewatkan layanan imunisasi di puskesmas.

Baca Juga: Data Kasus Balita Stunting di Kota Bandung 2014-2020, Prevalensi Melambung di Tahun Pandemi Covid-19
Data Perkembangan Posyandu di Kota Bandung 2013-2019, Jumlah Terus Bertambah, Mutu Membaik
Data Jumlah Bayi Ditimbang di Kota Bandung 2014-2020, Anjlok Dihantam Pagebluk

Posyandu Tutup, Tanginas dan Pokbang Mendek

Jamika, yang jadi kampung halaman Rasya dan Khalista, merupakan kelurahan terpadat ketiga se-Kota Bandung, setelah Suka Asih dan Babakan Tarogong. Ia mewakili wajah kehidupan urban masa kini dengan segala permasalahannya. Rumah-rumah warga berdiri saling berimpitan, menyisakan gang serupa lorong selebar tak lebih dari satu meter. Pintu kakus di luar rumah dibiarkan sedikit terbuka, membuat bau tidak sedap menguar ke mana-mana.

Memiliki luas hanya 0,53 kilometer persegi, Kelurahan Jamika per 2020 lalu ditinggali oleh 26.528 orang penduduk. Dengan demikian, tingkat kepadatan penduduknya adalah 50.052 orang per kilometer persegi.

Sebagaimana akan kita temui di setiap permukiman padat dengan sebagian besar warga berkemampuan ekonomi terbatas, bayi-bayi bermasalah gizi, atau bahkan stunting, menjadi permasalahan serius di Jamika. Mereka tersebar di tiap RW (Rukun Warga).

Selama pandemi Covid-19, yang dimulai Maret 2020 lalu, kondisinya kian buruk karena berbagai layanan kesehatan terpaksa mandek demi mencegah penularan virus. Tidak terkecuali layanan kesehatan dasar bagi bayi-bayi yang lahir di masa suram pandemi itu, mulai dari penimbangan, peningkatan gizi, hingga pemberian imunisasi.

Tita Juwita (35), ketua kader Posyandu RW 05, menceritakan bagaimana program Tanginas (Tanggap Stunting dengan Pangan Aman dan Sehat) tidak lagi berjalan. Tanginas merupakan program rintisan Pemerintah Kota Bandung yang secara khusus diniatkan untuk mencegah dan menangani bayi-bayi stunting.

“Terakhir berjalan itu bulan Desember 2020 sampai Februari 2021. Kurang lebih 20 orang balita dan bayi yang berstatus stunting di RW 05 mendapatkan bantuan itu. Tapi sekarang Program Tanginas, seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) misalnya, sudah tidak bisa jalan karena anggaran dana untuk bantuan masyarakat di kelurahan juga banyak tersendat,” ujar Tita, awal September 2021.

Tita juga berbicara tentang program imunisasi massal bayi dan balita yang mandek karena posyandu-posyandu harus tutup. Dokter-dokter tidak lagi secara rutin menyambangi posyandu. Itulah sebabnya bayi-bayi di Jamika, seperti Rasya dan Khalista, memiliki riwayat imunisasi dasar yang belum lengkap atau bahkan belum menerima sama sekali.

Terkendala Sumber Dana

Kesaksian tentang mandeknya program Tanginas juga datang dari Elis, salah seorang kader posyandu RW 03 yang juga anggota PKK Kelurahan Jamika. Pangkal persoalannya pun sama, yakni kendala pada sumber pendanaan.

Selama ini program Tanginas berjalan berkat kerja keras ibu-ibu Kelurahan Jamika mencari donatur agar mereka dapat melaksanakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), misalnya, pernah sekali menyumbang. Selebihnya, program ini mengandalkan kedermawanan warga.

Namun, lama kelamaan, para anggota PKK merasa tidak enak hati untuk terus-menerus meminta uang swadaya kepada ibu-ibu di lingkungan sekitar. Apalagi, kemampuan ekonomi masyarakat pada umumnya belum membaik secara signifikan setelah terhantam pandemi.

“Kalau mengandalkan donatur terus, kan tidak pasti. Jadi mau bagaimana lagi? Kalau perihal tenaga, insyaallah ibu-ibu kader posyandu juga masih bersemangat untuk menjalankan program ini. Tapi kan ya itu tadi, dananya tidak ada,” tutur Elis.

Ketika program Tanginas masih berjalan, Elis memutar otaknya membujuk anak-anak yang enggan makan. Salah satu inovasi kelompoknya adalah mengolah ikan lele menjadi puding coklat dan nugget lele. Selain relatif murah harganya, ikan lele dipilih sebagai bahan makanan tambahan karena kaya vitamin. 

Menurut Elis, anak-anak begitu menyukai penganan ini. Bahkan seorang ibu yang dikenal tidak menyukai ikan lele pun menyantapnya dengan lahap.

Pernah muncul ide untuk menggelar pelatihan memasak puding lele bagi warga Jamika. Pandemi Covid-19 memaksa para pengurus posyandu menunda rencana baik tersebut, dan belum tahu kapan bisa mewujudkannya.

Seorang anak bermain dengan bonekanya di luar rumah kontrakan keluarganya di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung, awal September 2021. Seperti di permukiman padat mana pun, Jamika juga mengalami ragam permasalahan kesehatan, termasuk angka stunting. (Foto: Arif Danun Hidayah)
Seorang anak bermain dengan bonekanya di luar rumah kontrakan keluarganya di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung, awal September 2021. Seperti di permukiman padat mana pun, Jamika juga mengalami ragam permasalahan kesehatan, termasuk angka stunting. (Foto: Arif Danun Hidayah)

SDM Puskesmas Terbatas, Kontrakan Warga Berpindah-pindah

Bukan perkara mudah menunaikan layanan kesehatan dasar bagi bayi dan balita di masa pagebluk. Karena posyandu dilarang buka, praktis program penimbangan bayi juga mandek berbulan-bulan. Berat badan bayi yang tak terpantau rawan melambungkan angka stunting.

Yani Cahyani (58), petugas gizi di UPT Puskesmas Sukapakir, membenarkan jika kasus stunting di Kelurahan Jamika tergolong tinggi, meski belum bisa menyebutkan jumlah pasti. Sejak pandemi Covid-19 berlangsung, fokus kerja tenaga kesehatan UPT Puskesmas Sukapakir tersita untuk penanggulangan pagebluk. Akibatnya, data penimbangan bayi belum terolah sepenuhnya. Yani, misalnya, mengaku baru bisa mulai mengolah data ketika lembur pada malam hari di rumah.

Data penimbangan bayi diperoleh dari kerja Kelompok Penimbangan (Pokbang) di masing-masing RW. Pokbang merupakan salah satu program terobosan pemerintah dalam layanan gizi bayi di masa pagebluk. Dengan tetap berdisiplin protokol kesehatan, para pegiatnya, yang adalah kader-kader posyandu, menyambangi satu per satu rumah warga yang memiliki bayi atau balita. Dalam satu hari, paling banyak 20 bayi ditimbang. 

Sebelum pembentukan Pokbang, para kader PKK juga sudah memiliki program serupa yang dinamai “Kasih”, singkatan dari Kader Saba Imah. Pola kerjanya sama, yakni kunjungan rutin ke rumah keluarga-keluarga yang memiliki bayi. Pandemi Covid-19 menghentikan secara total kegaitan ini.

Data penimbangan bayi oleh Pokbang diserahkan ke posyandu, sebelum dikirimkan ke puskesmas. Petugas gizi seperti Yani mengolah seluruh data penimbangan dan pengukuran tersebut, lalu menandai bayi dan balita yang masuk ke dalam kategori stunting secara panjang badan.  Dari situ lah puskesmas mempunyai gambaran keluarga bisa merumuskan program intervensi gizi, dimulai dengan memetakan keluarga-keluarga yang menjadi target kunjungan.

Agar kunjungan petugas puskesmas efektif, peran para kader posyandu amat pentingnya. Mereka diandalkan untuk melakukan pendekatan yang tepat agar keluarga dengan bayi terindikasi stunting tidak tersinggung dan bersedia dikunjungi.

Berdasarkan pengalaman Yani, komunikasi dengan para orangtua inilah yang amat krusial menentukan efektivitas penanganan stunting di lapangan. Tantangan terbesarnya adalah membuat para orangtua merasa tidak dihakimi. “Baru setelah itu, anak akan segera mendapatkan rujukan ke dokter ahli dalam bidang ini,” tuturnya.

Memulihkan bayi atau balita stunting tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses yang membutuhkan konsistensi. Keberhasilan kunjungan pertama tidak serta-merta menggaransi kelancaran tahapan-tahapan berikutnya. Selain penerimaan orangtua, ada juga kendala terkait pola tinggal warga Kelurahan Jamika yang sering berpindah-pindah.

“Kebanyakan (warga) kan tinggal di sini mengontrak rumah, lalu mereka akan pindah dari RW berapa ke RW berapa, misalkan. Nah kepindahan mereka ini mengacaukan data base stunting kita. Terkadang (kami) jadi kehilangan jejak keluarga tersebut,” ujar Yani.

Memburuk di Tahun Pandemi

Berstatus ibu kota provinsi, dengan berbagai program kota pintar (smart city) yang digaungkan, Kota Bandung belum mampu keluar dari kubangan masalah mendasar layanan kesehatan, seperti balita stunting. Sejak gelombang pandemi Covid-19 dimulai pertengahan Maret 2020 lalu, situasinya kian memburuk.

Merujuk dokumen "Profil Kesehatan Kota Bandung 2021” yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung, diketahui angka prevalensi stunting tertinggi terjadi pada tahun 2015, yakni 8,96 persen atau setara dengan 11.999 anak dari total 133.921 balita ditimbang. Di tahun-tahun berikutnya, tren perkembangan kasus stunting cenderung fluktuatif, dengan angka terendahnya tercatat pada tahun 2017, yakni 1,94 persen atau setara dengan 2.509 anak.

Di tahun pagebluk 2020, prevalensi kasus balita stunting di Kota Bandung membubung hingga 8,93 persen, dari tahun sebelumnya 6,63 persen. Angka ini setara dengan 9.567 anak balita dari total 107.189 anak ditimbang, terdiri dari dari 2,27 persen balita berstatus sangat pendek dan 6,65 persen balita berstatus pendek.

Pada September 2020, Pemerintah Kota Bandung menggulirkan program intervensi penanganan stunting di 15 kelurahan pada 11 kecamatan. Tercatat ada sekitar 2.700 bayi bawah tiga tahun yang masuk ke dalam program tersebut. Intervensi mencakup perbaikan asupan gizi secara rutin dua kali sepekan.

Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi dari Dinas Kesehatan Kota Bandung Dewi Primasari, diitemui BandungBergerak.id, Selasa (7/9/2021), mengakui betapa kompleksnya permasalahan stunting di tengah masyarakat. Selain faktor kemiskinan, yang berimbas ke mutu lingkungan sekitar rumah dan asupan gizi harian, ditemukan juga permasalahan stigma. Selama pandemi Covid-19 berlangsung, kondisi kian runyam karena program-program layanan kesehatan oleh pemerintah menjadi tidak optimal.

Sejak dari urusan pendataan, pemerintah dibuat cukup kewalahan. Kelompok-kelompok Penimbangan (Pokbang) hanya boleh menimbang maksimal 20 orang bayi dan balita dalam satu hari. Karena pengumpulan data terhambat, penanggulangan balita stunting pun terdampak.

“Biasanya kan, kalau kami menemukan data yang janggal, kami bisa langsung turun ke lapangan dengan pihak Puskesmas. Sekarang kami tidak bisa seperti itu karena proses pendataan saja ngaret. Pokbang yang dulu satu hari selesai, sekarang bisa berhari-hari karena ada pembatasan kan,” tuturnya.

Yang terjadi di Bandung, terjadi juga di kota dan kabupaten lain di Indonesia. Survei Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terhadap lebih dari 4.600 Puskesmas pada akhir 2020 mengungkap sebanyak 43 persen Puskesmas tidak menyelenggarakan Posyandu. Padahal, prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong tinggi, jauh melampuai angka toleransi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 20 persen. Pada 2019, prevalensi stunting tercatat di angka 27,67 persen. Pada 2024, ditargetkan prevalensi stunting turun hingga di angka 14 persen.

UNICEF sebelumnya telah mengingatkan tentang ancaman meningkatnya kasus gizi anak akibat pandemi. Setidaknya ada tiga penyebab utama yang disebut, yakni "fasilitas kesehatan yang terbebani, rantai pasokan makanan yang terganggu, dan hilangnya pendapatan karena COVID-19". UNICEF menyebut, sebelum pagebluk datang tercatat ada 2 juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari 7 juta balita menderita stunting.  

“Covid-19 memukul keluarga yang paling rentan. Jika kita tidak segera meningkatkan layanan pencegahan dan perawatan untuk anak-anak yang mengalami masalah gizi, kita berisiko melihat peningkatan penyakit dan kematian anak terkait dengan masalah ini,” kata Perwakilan UNICEF Debora Comini dalam pernyataannya, Rabu, 30 Juni 2020. 

Kusnadi Rusmil, guru besar dalam Imu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, menyatakan, pandemi membuat layanan penanggulangan stunting, yang di masa-masa normal belum menunjukkan dampak signifikan, semakin kedodoran. Posyandu, yang menjadi kunci keberhasilan di lapangan, tidak dapat bekerja optimal akibat kebijakan pembatasan mobilitas dan kerumunan.

“Stunting bukan hanya tentang berat badan yang kurang. Dampaknya akan menjadi beban anak di sepanjang umurnya. Kualitas hidupnya akan terganggu,” ujar Kusnadi yang juga menjabat Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, dalam wawancara dengan BandungBergerak.id lewat aplikasi Zoom.

Menurut Kusnadi, yang sebaiknya segera dilakukan adalah kerja sungguh-sungguh mengejar segala ketertinggalan layanan kesehatan selama pandemi. Penanganan stunting harus betul-betul menjadi prioritas pemerintah sejak dari pengalokasian dana. Yang jadi titik berangkatnya tentu saja pembuatan basis data yang akurat, sehingga program-program intervensi nantinya bisa tepat sasaran.  

“Kalau perlu, program-program bansos (bantuan sosial) itu difokuskan ke (penangangan) stunting,” katanya. “Bukan yang lain-lain.” 

*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri pada Oktober-November 2021 lalu, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah. Memperingati Hari Gizi Nasinonal 2022, reportase ini dimuat ulang dalam versinya yang lebih ringkas dan padat, dengan beberapa penyuntingan dan pemutakhiran wawancara serta data.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//