• Berita
  • Kampus Jangan Otoriter terhadap Mahasiswa yang tidak Mampu Membayar UKT

Kampus Jangan Otoriter terhadap Mahasiswa yang tidak Mampu Membayar UKT

Mahasiswa UPI terus berjuang mendapatkan kebijakan soal UKT yang memihak. Kampus UPI disarankan membuka dialog dan mendengar aspirasi mahasiswa.

Mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa UPI berunjuk rasa menuntut kebijakan kampus depan gerbang utama kampus UPI, Jalan Setiabudi, Bandung, Selasa (25/1/2022). Puluhan mahasiswa UPI terancam DO karena tingginya biaya UKT. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul30 Januari 2022


BandungBergerak.idMahasiswa dari UPI dan berbagai perguruan tinggi di Bandung kesulitan membayar biaya kuliah (UKT) akibat dampak panjang pagebluk Covid-19. Mereka telah berusaha menggugah kebijakan kampus lewat serangkaian unjuk rasa, namun pihak kampus terkesan menutup diri dan enggan membuka ruang dialog.

Pengamat pendidikan, Cecep Darmawan, mengingatkan bahwa penting bagi kampus untuk mendengar dan membuka ruang dialog dengan mahasiswa, apalagi mengenai UKT. Cecep menegaskan kampus tidak boleh otoriter. Sebaliknya, sebagai lembaga pendidikan, kampus seharusnya mengeluarkan kebijakan dengan pendekatan pendidikan, bukan menghukum dengan cara mencutikan atau menonaktifkan mahasiswa yang tidak sanggup membayar UKT.

“Kampus itu enggak otoriter. Kampus harus mendidik, bukan menghukum,” kata Cecep Darmawan, dalam Live Instagram BandungBergerak.id bertajuk “#BergerakBersama: Kampus Melanggar Konstitusi, jika mengeluarkan mahasiswa karena tidak mampu membayar UKT”, Sabtu (29/1/2022) malam.

Cecep mendorong mahasiswa agar melakukan analisa terhadap aturan-aturan rektor dengan peraturan yang lebih tinggi, misalnya Permendikbud, dan seterusnya. Apakah aturan itu bertentangan atau tidak, kemudian bagaimana impilikasinya terhadap civitas akademika.

Ia menyemangati mahasiswa agar terus berjuang. Bagi kampus, Cecep meminta agar segera membuka ruang dialog terkait UKT ini.

“Buka ruang dialog, dan terus berjuang. Kalau di pihak kampus responsnya masih begitu, coba ke menteri. Kalau gak berhasil juga, masih ada presiden dan DPR,” ungkap Cecep.

Ia menegaskan setiap warna negara memiliki hak yang diatur dan dilindungi secara konstitusional, salah hak mendapatkan pendidikan. Hak konstitusional ini tidak boleh hilang, meskipun, misalnya, mahasiwa tidak bisa lagi melanjutkan kuliah karena tidak bisa membayar UKT.

Diskusi virtual yang dipandu jurnalis BandungBergerak.id, Emi La Palau, tersebut menghadirkan narasumber lainnya dari mahasiswa, yakni Muhammad Pebriansah (Ketua Umum BPO Senat FPIPS UPI), dan Darlingga Prasetio (Presiden Mahasiswa Unisba).

Perwakilan mahasiswa tersebut menceritakan upaya mereka untuk memperjuangkan agar bisa kuliah di tengah dampak ekonomi yang menimpa keuangan mereka. Mereka sudah berupaya menyuarakan aspirasi dalam barisan aksi unjuk rasa, ada yang mendapat respons positif pihak kampus, namun ada juga yang mendapat respons negatif.

Darlingga Prasetio, misalnya, menuturkan bagaimana ia dan kawan-kawan berjuang meminta kampus agar memberi kelonggaran waktu pembayaran UKT mengingat banyak mahasiwa yang ekonominya terpukul pagebluk.

Menurutnya, pada semester ganjil 2021 lalu waktu pembayaran UKT yang dijadwalkan kampus amat sempit, alih-alih mendapat pemotongan UKT. Akibatnya, mahasiswa yang tidak bisa membayar uang kuliah harus dicutikan. Mahasiswa Unisba kemudian melakukan audiensi sejak Oktober dan disertai aksi unjuk rasa. Audiensi dengan kampus dilakukan secara terbuka dengan tuntutan meminta perpanjangan waktu pembayaran UKT.

Dalam audiensi itu bersama oleh Wakil Rektor 1, 2, dan 3 itu, mahasiswa menyerahkan data mahasiswa yang terdampak pagebluk dan kesulitan membayar UKT.

“Jadi biar pimpinan kampus tersentuhlah hatinya mendengar langsung dari mahasiswa yang kesulitan,” ungkap Darlinggan.

Dari hasil audiensi, mahasiswa Unisba setidaknya mendapatkan titik terang mengenai persoalan uang kuliah, bahwa pembayaran uang kuliah diperpanjang hingga sembilan Februari 2022.

“Hasil negosiasi alhamdulillah dapat titik temu. Semua massa aksi ikut dalam negosiasi itu. Mayoritas mahasiswa masih bisa membayar, tapi harus ada perpanjangan. Alhamdulillah acc sampai 9 Februari,” tuturnya.

Setelah audiensi, mahasiswa Unisba berinisiatif membentuk Badan Mitigasi, yakni forum yang bertujuan untuk mengadvokasi mahasiswa yang mengalami kesulitan akibat pandemi. Badan Mitigasi ini akan menghimpun data mahasiswa, melakukan validasi data, dan lain-lain.

Baca Juga: Kampus Melanggar Konstitusi jika Mengeluarkan Mahasiswa yang tak Mampu Membayar UKT
Mahasiswa UPI Terancam DO karena Tak Mampu Membayar UKT
Mahasiswa UPI Keberatan dengan Mahalnya UKT di tengah Dampak Pandemi

Perjuangan Panjang Mahasiswa UPI

Berbeda dengan perjuangan mahasiswa Unisba yang berbuah hasil cukup positif, perjuangan mahasiswa UPI tampaknya masih panjang karena respons kampus yang sepi-sepi saja.

Muhammad Pebriansah membeberkan ada 10 mahasiswa di fakultasnya yang harus nonaktif kuliah karena tidak bisa membayar UKT atau tidak mengajukan cuti. Perlu diketahui, di UPI ada kebijakan bahwa mahasiswa yang tidak bisa membayar UKT harus segera mengajukan cuti atau dinonaktifkan.

Bahkan untuk tahun ini, menurut Pebriansah, di kampus negeri yang dulunya bernama IKIP itu tidak ada pemotongan UKT atau bantuan bagi mahasiswa terdampak pagebluk, sebagaimana tahun lalu. Pebriansah juga mengeluhkan perihal sosialisasi dari kebijakan UKT dan kebijakan cuti tidak dilakukan dengan baik dan maksimal oleh pihak kampus.

Pebri dan kawan-kawan sudah pernah melakukan audiensi dengan kampus. Namun, kampus malah membahas soal lain yang bukan inti masalah, yaitu perihal kebijakan UKT dan cuti. Mereka juga meminta kampus agar transparan dalam mengeluarkan kebijakan, namun hasilnya malah dipingpong antara fakultas dan universitas.

“Sampai saat ini belum ada respons dari kampus. Dan kita akan terus memperjuangkan hak kita,” ungkap Pebriansah.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//