Kampus Melanggar Konstitusi jika Mengeluarkan Mahasiswa yang tak Mampu Membayar UKT
Mahasiswa UPI, UIN SGD, Unisba yang terdampak pagebluk berunjuk rasa memperjuangkan hak mereka agar bisa tetap kuliah. Belum tampak keberpihakan dari kampus.
Penulis Tim Redaksi27 Januari 2022
BandungBergerak.id - Pemerintah masih belum bisa memulihkan dampak pandemi Covid-19 pada bidang ekonomi hingga kini, khususnya bagi mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi negeri maupun swasta di Bandung. Masalah yang mereka hadapi seragam, yaitu terkendala membayar biaya kuliah atau Uang Kuliah Tetap (UKT).
Di isi lain, kebijakan dari kampus dirasa lambat atau justru malah memperparah posisi mahasiswa. Kampus memang membutuhkan pemasukan, tetapi kampus juga tidak bisa mengandalkan pemasukan utama dari uang kuliah mahasiswa yang terdampak pagebluk.
Di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), tercatat puluhan mahasiswa terancam dikeluarkan dari kampus (Drop Out/DO) atau “dipaksa” cuti karena tak bisa membayar Uang Kuliah Tetap (UKT). Mereka sampai harus berunjuk rasa berulang kali demi mendapatkan kebijakan kampus yang lebih berpihak.
Unjuk rasa juga dilakukan mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) di kampus masing-masing, meski perjuangan mereka ini ditanggapi dingin oleh pihak kampus.
Pengamat pendidikan menegaskan bahwa mengeluarkan mahasiswa yang tidak sanggup membayar UKT, atau memasksa mereka cuti karena masalah UKT, adalah pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 45). Konstitusi Indonesia menjamin bahwa pendidikan adalah hak semua bangsa.
Di Unisba, tercatat hampir 500 mahasiswa yang belum membayar UKT atau Infak Kuliah Tetap (IKT). Wakil Presiden Mahasiswa Unisba, Darul Husaini mengatakan, kondisi ekonomi mereka beragam, ada yang benar-benar tak mampu membayar IKT setelah orang tua mereka terkena PHK, atau bisnis orang tua maupun mahasiswa sendiri yang rontok karena pagebluk.
Beberapa mahasiswa ada yang masih bisa membayar IKT, namun dengan jangka waktu pembayaran yang diperpanjang. Karena itu pada aksi unjuk rasa mereka menuntut perpanjangan jadwal pembayaran IKT.
“Ada mahasiswa yang benar, tidak dalam tanda kutip, tidak mampu bayar UKT. Kedua, bisa bayar UKT tapi dalam jangka waktu lebih panjang. Dalam artian, dia bisa membayar tapi bukan sekarang. Makanya tuntutannya diperpanjang, setidaknya mahasiswa ada waktu untuk mencari bagaimanapun caranya mahasiwa untuk berikhtiar untuk kepentingan pribadinya masing-masing,” ungkap Darul Husaini, kepada Bandungbergerak.id melalui sambungan telepon, Rabu (26/1/2022).
Aksi unjuk rasa itu mereka lakukan pada Senin (24/1/2022) lalu. Tuntutannya, meminta transparansi informasi terkait pembayaran IKT dan perpanjangan waktu pembayaran IKT. Mahasiswa kemudian bisa beraudiensi dengan pihak kampus yang hasilnya berupa kebijakan perpanjangan jadwal pembayaran UKT.
Hasilnya, pihak kampus akhirnya mau memberikan kelonggran dan perpanjangan pembayaran UKT hingga 9 Februari 2022 mendatang, dari jadwal semula yang jatuh tempo 26 Januari. Sementara untuk mereka yang belum mampu membayar UKT, harus absen mengikuti kuliah.
Mahasiswa Unisba juga menilai kampus kurang transparan dalam menyampaikan kebijakan. Misalnya, informasi perpanjangan jadwal pembayaran UKT baru beredar dari pihak kampus kepada fakultas, dan tidak sampai kepada mahasiswa.
Masalah serupa Terjadi di UIN SGD
Tidak hanya di UPI dan Unisba, mahasiswa UIN SGD Bandung yang tergabung dalam Forum Demokrasi Mahasiswa UIN SGD melakukan aksi di setiap fakultas dan gedung rektorat, Selasa (25/1/2022). Mereka mempermasalahkan mengenai belum adanya kebijakan pemotongan UKT pada semester genap 2022. Tuntutan ini disampaikan karena dampak pandemi masih dirasakan orang tua mahasiswa.
Massa aksi menyatakan, tidak adanya kompensasi UKT bertolak belakang dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 515 tahun 2020 dan KMA Nomor 81 tahun 2021 yang seharusnya memberikan kompensasi kepasa mahasiswa.
Mahasiswa jurusan Studi Agama-Agama, Evi Fitaulifia menyampaikan, seharusnya UKT pada semester ini masih diberi keringanan. Sebab, kondisi pandemi Covid-19 secara menyeluruh masih berpengaruh terhadap penurunan perekonomian. Ia juga menyayangkan perihal kebijakan kampus yang memajukan jadwal pembayaran UKT.
"Kalau keluhan sebagai mahasiswa UIN, lebih menyayangkan kebijakan kampus yang rasa-rasanya jadwal pembayaran UKT dimajukan ga kayak biasanya. Terus kayaknya perlu keterbukaan dan sosialisasi lebih lanjut soal teknis gimana caranya bagi orang-orang yang ingin melaporkan keberatan dengan pembayaran UKT,” ungkap Evi, ketika dihubungi BandungBergerak, Rabu (26/1/2022).
Evi bilang, pihak kampus seharusnya memberikan rentang waktu yang panjang untuk pembayaran UKT. Jadwal pembayaran yang sempit membuat orang tua dan mahasiswa jadi terburu-buru dalam menyiapkan dana UKT. Pihak kampus disarankan agar menggencarkan sosialisasi teknis pembayaran UKT bagi yang telat, sehingga mahasiswa tetap bisa mengikuti kuliah.
Kepala Bagian Keuangan UIN SGD Bandung, Aep Syaefudin Firdaus, menyampaikan bahwa kebijakan pemotongan UKT 10 persen bagi seluruh mahasiswa UIN SGD Bandung didasarkan pada kebijakan KMA Nomor 515 tahun 2020 dan KMA Nomor 81 tahun 2021. Kebijakan ini bentuk kepedulian pimpinan kampus kepada mahasiswa. Sehingga, bagi mahasiswa yang memiliki kendala ekonomi akibat pandemi, bisa mengajukan lagi keringanan UKT.
Namun untuk semester genap tahun 2022 ini, belum adanya regulasi yang mengatur mengenai pemotongan UKT.
"Nah untuk semester sekarang yang semester genap, belum ada regulasi yang bisa dijadikan rujukan. Jadi bukan pak rektor tidak ada empati tapi semuanya harus didasarkan pada regulasi. Tapi kan kebijakan keringanan UKT bukan hanya 10 persen dan dicicil. Termasuk perpanjangan pembayaran,” ungkapnya, Jumat (14/1/2022).
Aep mengakui bahwa Rektor UIN SGD Bandung sudah melalukan komunikasi dengan pemerintah pusat mengenai regulasi UKT ini. Mengenai waktu pembayaran UKT, UIN SGD Bandung memberikan perpanjangan waktu pembayaran waktu sejak 15 Januari hingga 23 Januari. Bagi mahasiswa yang belum membayar UKT pada rentang perpanjangan waktu tersebut, diberikan keringanan hingga 31 Januari dengan mengisi formulir pengajuan pembayaran UKT di masa pengisian KRS.
Baca Juga: Mahasiswa UPI Terancam DO karena Tak Mampu Membayar UKT
Mahasiswa UPI Keberatan dengan Mahalnya UKT di tengah Dampak Pandemi
Kisah Mahasiswa STIE Inaba, Muhamad Ari: Jalan Terjal Menuntut Pemotongan Uang Kuliah karena Pagebluk Berujung Di-DO
Pelanggaran Konstitusi
Pengamat Pendidikan, Cecep Darmawan mengungkapkan perguruan tinggi memiliki kewajiban menjamin hak-hak mahasiswa agar mendapatkan hak pendidikan. Terlebih di masa pandemi ini, banyak mahasiswa yang terdampak pandemi sehingga seharusnya ada kelonggran atau bahkan bantuan yang diberikan dari pihak kampus kepada mahasiswa.
Cecep menggarisbawahi, kampus swasta maupun negeri tak boleh mengeluarkan mahasiswa hanya karena tak mampu membayar UKT. Kampus juga tidak boleh memaksa mahasiswa untuk cuti kuliah hanya karena persoalan tak mampu membayar UKT.
Ia menegaskan, mengeluarkan mahasiswa atau memaksa cuti kuliah sebagai pelanggaran konsititusi. Sudah jelas bahwa konstitusi Indonesia menjamin hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidkan.
Cecep pun meminta pihak kampus agar memberikan kelonggaran dan pemotongan biaya kuliah, sesuai dengan kondisi orang tua mahasiswa yang terdampak pandemi. Atau bahkan membebaskan mahasiswa dari biaya UKT.
“Jadi prinsipnya tidak boleh mahasisa di-DO gara-gara orang tuanya terdampak Covid-19, terdampak ekonomi, kemudian anaknya tidak bisa bayar UKT, kemudian dikeluarkan dari kampus. Itu tidak boleh,” ungkap Cecep Darmawan, kepada Bandungbergerak.id, melalui sambungan telepon.
“Saya kira itu pelanggarannya juga pelanggaran konsititusi ya, hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Kebijakan kampus tak boleh mengeluarkan anak itu, bahkan harusnya dibantu, bahkan kalau perlu untuk semester itu tidak perlu bayar UKT. Dibebaskan dari UKT kemudian kuliah berjalan seperti biasa,“ lanjutnya.
Cecep menyadari bahwa memang perguruan tinggi membutuhkan dana, namun menurutnya ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menambah pemasukan, tak melulu mengandalkan uang dari mahasiswa. Ada banyak program penelitan yang bisa dilakukan untuk menambah pemasukan bagi perguruan tinggi. Yang mana uang tersebut bisa menjadi subsidi silang bagi mahasiswa yang tak mampu untuk membayar UKT.
Ia meminta agar perguruan tinggi lebih kreatif dan tidak menjadikan uang kuliah dari mahasiswa sebagai penghasilan utama. “Tiap tahun perguruan tinggi ada penelitain, inovasi bisa dijual ke indursti masyarakat yang income itu untuk meng-cover mahasiwa yang kurang mampu orang tuanya itu bisa dibantu. Atau kerja sama dengan CSR, mengoptimalkan dana CSR perguruan tinggi, harus kreatif,” paparnya.
*Liputan ini hasi kerja sama reporter BandungBergerak.id: Emi La Palau dan Awla Rajul.