Menerapkan Konsep Arsitektur Tropis di Lingkungan Khatulistiwa
Kelebihan arsitektur tropis adalah memanfaatkan energi dari alam. Sayangnya konsep ini belum banyak diterapkan di Indonesia.
Rafi Aldwin Permadi
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
4 Februari 2022
BandungBergerak.id - Indonesia merupakan sebuah negara yang berada di lintasan sabuk tropis atau lebih dikenal dengan khatulistiwa. Berdasarkan data Administrasi Kependudukan, hingga akhir 2021, negara yang berada di lintasan tropical belt ini tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 272.229.372 jiwa. Dengan sekian banyak jumlah penduduk di Indonesia, tentu saja tempat tinggal menjadi sebuah permasalahan yang penting untuk dibahas.
Tempat tinggal tidak lepas kaitannya dengan membahas kondisi lingkungan di sekitar tempat tinggal tersebut. Secara keseluruhan, lingkungan di Indonesia memiliki kesamaan akan permasalahan yang dihadapi yaitu iklim. Iklim menjadi suatu hal yang krusial bagi sebuah lingkungan karena sangat besar pengaruhnya terhadap bangunan di sekitarnya mulai dari ketahanannya hingga kenyamanan bagi penggunanya.
Berbicara tentang bangunan, sangat erat hubungannya dengan ilmu arsitektur. Selama ratusan tahun, sudah banyak arsitek yang mempelajari berbagai teknik untuk membuat bangunan yang dapat menyediakan kenyamanan pengguna bangunan dan juga menjaga ketahanan bangunan di berbagai kondisi iklim yang ekstrim sekalipun.
Arsitektur di Iklim Tropis
Ilmu arsitektur diciptakan dan terus dikembangkan salah satu penyebabnya adalah karena kondisi alam yang tidak selalu dapat menunjang aktivitas manusia sehari-hari. Mulai dari keadaan geografi, topografi, cuaca, dan juga iklim. Bagaimanapun juga, aktivitas manusia sangat bervariasi dan tidak semua dapat dilakukan dengan lancar di berbagai keadaan cuaca. Tidak terkecuali di iklim tropis ini yang meskipun hanya memiliki dua musim namun sekiranya masih dapat menghambat berlangsungnya kegiatan-kegiatan tertentu. Kadang kala hujan yang turun sangat lebat, matahari yang bersinar sangat terik, atau juga angin yang berembus sangat kencang, dan sebagainya.
Iklim tropis berada di sekitar khatulistiwa dengan bentangan antara 23.5 derajat LU (lintang utara) dan 23.5 derajat LS (lintang selatan). Iklim tropis sendiri terbagi menjadi dua yaitu tropis lembab dan tropis kering. Tropis lembab memiliki kelembaban udara yang tinggi sekitar 80 persen, sedangkan tropis kering hanya berkisar 40-50 persen.
Jika dikaitkan dengan keadaan lingkungan di Indonesia, secara astronomis Indonesia berada pada 6 derajat LU – 11 derajat LS dan 95 derajat BT – 141 derajat BT. Letak astronomis ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang berada di lingkungan tropis dan sebagian besar kota di Indonesia termasuk ke dalam kategori tropis lembab. Dengan demikian, di Indonesia sebenarnya sudah banyak studi dan penelitian yang mempelajari berbagai teori yang membahas tentang konsep bangunan yang sesuai untuk diterapkan di lingkungan tropis dan dikenal dengan konsep arsitektur tropis.
Arsitektur tropis merupakan sebuah konsep yang dirancang untuk mengantisipasi dan menjawab permasalahan bangunan di iklim tropis. Arsitektur tropis dipercaya sebagai sebuah konsep yang dapat diterapkan pada suatu bangunan atau lingkungan binaan agar bangunan tersebut mampu beradaptasi di lingkungan beriklim tropis dengan menerapkan berbagai dasar ketentuan bentuk seperti contohnya kemiringan tertentu pada atap bangunan, pemilihan material yang baik dan berkelanjutan, penerapan sistem cross ventilation atau ventilasi silang, dan sebagainya. Meskipun sudah banyak studi dan penelitian yang dilakukan oleh banyak arsitek, konsep arsitektur tropis ini masih jarang sekali ditemukan penerapannya di bangunan-bangunan yang ada di Indonesia.
Permasalahan Arsitektur Tropis di Indonesia
Iklim tropis, khususnya tropis lembab seperti di Indonesia, memiliki rentang temperatur udara yang sebenarnya mendekati rentang temperatur nyaman bagi manusia. Pada umumnya, suhu udara rata rata di wilayah tropis khususnya tropis lembab ini berkisar antara 20 hingga 30 derajat celsius dengan suhu maksimum yang tidak akan melebihi 40 derajat ceslsius. Sedangkan rentang temperatur nyaman bagi manusia berada di kisaran 22 hingga 26 derajat ceslsius. Dengan keadaan tersebut, kondisi ini sebenarnya memberikan peluang untuk terjadinya penghematan energi yang besar apabila bangunan-bangunan di Indonesia dirancang dengan menerapkan konsep arsitektur tropis.
Sayangnya, untuk saat ini masih banyak bangunan berdiri dengan rancangan yang tidak menerapkan konsep sebenarnya dari arsitektur tropis. Banyak contoh bangunan yang bisa kita temukan sekilas terlihat menerapkan konsep arsitektur tropis namun ketika dilihat lebih dalam ternyata sama sekali tidak menganut konsep tersebut.
Selain itu, tidak sedikit arsitek di Indonesia ingin menunjukkan adanya penerapan konsep arsitektur tropis dalam karyanya. Tetapi pada kenyataannya mereka hanya sebatas merancang bentuk luar bangunan seperti atap atau fasad bangunan mengikuti corak bentuk arsitektur tropis tanpa begitu memperhatikan suasana ruang yang ingin dicapai, di bagian dalam bangunan masih terdapat penggunaan sejumlah pengondisi ruangan (AC) yang membutuhkan energi besar untuk mendinginkan ruangan yang panas di dalamnya. Sementara, esensi dari arsitektur tropis itu sendiri adalah bagaimana menciptakan sebuah bangunan yang dapat bertahan lama di lingkungan tropis dan bisa menyediakan suasana ruang yang nyaman tanpa memerlukan penggunaan energi yang besar. Hal ini merupakan indikasi kuat minimnya pemahaman tentang konsep arsitektur tropis di Indonesia.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (13): C. P. Wolff Schoemaker sebagai Arsitek dan Seniman, serta Keterlibatannya dalam Partai Sempalan
Sulitnya Melestarikan Arsitektur Nusantara di Masa Kini
Jumlah Aktuaris di Indonesia masih sangat Minim, Ada Apa dengan Profesi Ini?
Konsep Arsitektur Tropis, Kenyamanan Termal dan Visual
Kenyamanan merupakan alasan utama konsep arsitektur tropis diterapkan. Seperti yang kita tahu, negara yang berada di lintasan sabuk tropis ini tentu mendapatkan penyinaran matahari yang lebih banyak dan sering dibandingkan bagian bumi utara maupun selatan khatulistiwa. Mendapatkan penyinaran yang lebih banyak juga berarti mendapatkan lingkungan dengan temperatur yang lebih tinggi dan pencahayaan yang lebih terang. Oleh karena itu, arsitek memiliki tuntutan untuk bisa mengondisikan lingkungan dengan keadaan tersebut dan membuatnya menjadi nyaman bagi penggunanya.
Orientasi bangunan dapat memengaruhi tinggi-rendahnya temperatur udara di dalam ruang. Di kawasan sekitar khatulistiwa, sisi timur dan barat pada bangunan cenderung menerima panas yang lebih banyak dibanding sisi utara dan selatan. Rata-rata perbedaan sisi bangunan antara utara-selatan dan timur-barat bisa berupa 1 sampai 2 derajat celsius. Oleh karena itu organisasi ruang akan sangat bermanfaat untuk menanggulangi keadaan seperti ini, misalnya dengan merancang penempatan gudang atau service room seperti toilet, dapur, tangga, dan lain-lain. Di sisi timur-barat bangunan utama yang dapat berfungsi sebagai “penghalang” panas matahari.
Rancangan atap merupakan sebuah komponen penting yang dapat menentukan seberapa tinggi temperatur dalam bangunan tersebut karena panas yang dipancarkan dari matahari sebagian besar diterima oleh atap dari sebuah bangunan. Rancangan atap akan menentukan volume ruang di bawah atap. Semakin besar volume ruang tersebut maka akan semakin membantu proses pelepasan panas yang disalurkan oleh penutup atap ke dalam bangunan. Pemilihan material untuk penutup atap juga perlu diperhatikan. Material yang relatif tipis seperti genting, sirap, dan asbes akan menerima kalor dari matahari yang dalam waktu yang singkat akan langsung menyalurkannya ke ruang yang berada tepat di bawahnya. Penggunaan plafon juga membantu memblokir panas yang disalurkan dari ruang yang ada di bawah atap ke dalam bangunan utama.
Bukaan dan ventilasi pada bangunan juga merupakan komponen penting dalam memberikan kenyamanan termal maupun visual. Rancangan arsitektur tropis harus memungkinkan terjadinya aliran udara silang karena sangat berpengaruh dalam mendinginkan ruangan secara alamiah dan juga menyediakan sirkulasi udara yang baik. Penempatan bukaan pada bangunan juga tidak boleh sembarangan. Sinar matahari langsung yang mengarah ke dalam ruangan tanpa adanya filter atau penghalang dapat menaikan suhu secara signifikan dan mengurangi kemampuan bangunan melakukan pendinginan secara alami dan juga berdampak buruk pada ketahanan bangunan itu sendiri.
Ketahanan Bangunan
Ketahanan bangunan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya faktor iklim. Ada beberapa faktor iklim yang selalu dipertimbangkan oleh arsitek ketika merancang sebuah bangunan. Beberapa faktor tersebut antara lain presipitasi, radiasi matahari, kelembaban, dan juga angin.
Tinggi rendahnya beberapa faktor iklim tidak selalu sama di berbagai belahan bumi. Di Indonesia pada umumnya curah hujan rata rata berkisar di atas 150 mm/bulan yang mana angka tersebut lebih tinggi dibanding negara negara di Eropa yang hanya berkisar 100-150 mm/bulan. Hal ini tentu sangat berpengaruh dalam menentukan sistem drainase yang digunakan untuk menghindari terjadinya genangan air yang bisa berdampak buruk pada sebuah bangunan.
Selain itu, efek radiasi matahari yang berlebih juga sangat memengaruhi ketahanan bangunan. Matahari memancarkan kalor melalui radiasi ke permukaan bumi. Tinggi rendahnya kalor yang dipancarkan bergantung pada sudut jatuh radiasi ke permukaan bumi. Untuk wilayah di iklim tropis, sudut jatuh radiasi dapat mencapai angka maksimum yaitu 90 derajat celsoius atau tegak lurus permukaan bumi yang menyebabkan kalor tersalurkan secara maksimal dan bisa berdampak buruk juga pada sebuah bangunan. Oleh karena itu tritisan diperlukan untuk memblokir kalor yang dipancarkan oleh matahari supaya tidak mengarah langsung ke bangunan. Tritisan juga dapat dimanfaatkan untuk memantulkan kembali cahaya matahari ke dalam ruangan dan membuat pencahayaan alami di siang hari sehingga pengguna bangunan tidak lagi memerlukan lampu di siang hari dan berdampak baik pada penggunaan energi yang lebih sedikit.
Penggunaan Energi yang Lebih Sedikit
Dengan diterapkannya berbagai konsep arsitektur tropis, kebutuhan energi yang diperlukan sebuah bangunan seharusnya berkurang secara signifikan menjadi lebih sedikit mengingat esensi arsitektur tropis adalah memanfaatkan kondisi lingkungan tropis. Contohnya AC, yang tidak perlu dinyalakan sepanjang hari karena adanya sirkulasi udara yang baik dari penerapan sistem ventilasi silang yang bisa membuang udara panas ke atas dan mengalirkan udara sejuk ke dalam ruangan. Tidak diperlukan juga sejumlah lampu yang dinyalakan di siang hari karena permainan sudut datang cahaya oleh berbagai komponen bangunan seperti tritisan.
Maka dari itu, rasanya masih sangat miris melihat kondisi sejumlah kota di Indonesia yang membuang energi yang begitu besar mengingat kondisi lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi penggunaan energi yang besar.