• Opini
  • Membaca Agenda dan Kerja Manipulatif Denny J.A. Plus Agennya di Arena Sastra

Membaca Agenda dan Kerja Manipulatif Denny J.A. Plus Agennya di Arena Sastra

Klaim yang Denny J.A. dan agennya produksi terkait undangan resmi pencalonan bakal penerima Nobel Sastra 2022, telah dibantah oleh Konselor Sastra The Nobel Library.

Robby Bouceu Garnia

Alumnus Sastra Indonesia Unpad.

Anak-anak SD membaca buku di mobil keliling Ayo Membaca Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung, Sabtu (4/12/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Februari 2022


BandungBergerak.idLewat media maupun secara langsung, kita pernah menyaksikan orang berhasrat punya pengaruh di lingkungan atawa arena tertentu. Langkah-langkah yang ditempuh kadang masuk akal, tetapi lebih sering menggelikan.

Kawan sekelas saya pas SMP dulu misalnya, ngotot kepingin diaku sebagai jago 7E cuma lantaran pernah beberapa kali dihukum pas upacara dan dia ikut sekolah sepak bola dan bapaknya bos cakue. Bukan main. Getol kesiangan, terampil menggondol bola di lapang, isi kantong di atas rata-rata, bisa otomatis bikin nyali dan keterampilan gelutnya di atas rata-rata pula. Dia merasa teman-temannya perlu menerima dan mengakui apa-apa yang terbukti tak ada padanya. Dan kami—saya dan beberapa kawan lain yang satu lingkar pertemanan dengannya—ketika itu iya-iya saja, namun jelas untuk alasan yang nyata ada: GTA dan gim lain di rumahnya, konsul tugas pada kakaknya yang ramah dan pintar dan caem minta ampun.

Selang delapan tahun, kami bikin janji via DM buat kumpul di satu warung kopi di bilangan BKR, Bandung, dan ketawa terpingkal, pas membahas kejadian di atas dengan isi kepala kurang lebih sama: aib yang menghibur. Hal serupa, mungkin dengan kadar hiburan rada berbeda, tentu bisa kita temukan di berbagai platform media.

Sekira 240 jam jelang pergantian tahun baru kemarin, misalnya, atau 20-21 Desember 2021, Komunitas Puisi Esai menyebar siaran pers ke sejumlah kanal berita nasional. Isinya berupa kabar bahwa mereka menerima undangan resmi dari The Swedish Academy buat mengajukan sebuah nama bakal calon penerima Nobel Sastra 2022. Selain penekanan bahwa tak semua pihak bisa diundang, dalam siaran itu juga dinyatakan, mereka telah mufakat memilih nama Denny J.A. sebagai tokoh yang “paling kuat”, lewat semacam sidang internal.

Keputusan yang berbakti tentu saja, mengingat yang punya nama adalah pendiri komunitas tersebut. Terkait pemilihan nama itu, Irsyad Mohamad selaku Koordinator Pelaksana komunitas, kepada Media Indonesia, misalnya, menyampaikan dua alasan. Pertama, “puisi esai yang diciptakan Denny JA kini sudah masuk dalam Kamus resmi bahasa Indonesia”, dan kedua puisi esai Denny J.A. tak hanya “seksi” sebab ia genre baru, namun karena juga ia juga getol “menyuarakan isu hak asasi manusia di kawasan negara dengan penduduk muslim terbesar dunia: Indonesia.”

“Seksi”, kata yang Irsyad pilih buat diletakkan bersama “genre baru” dan “hak asasi manusia”, dan dia fungsikan sebagai predikat “puisi esai” dengan konteks “Indonesia”, boleh jadi semacam hibriditas dari keluguan kronis dan kegandrungan membaca serial Negeri Lima Menara. Tetapi menganggap satu istilah kelewat istimewa lantaran masuk KBBI, jelas lebih aduh minta ampun.

Setiap kerja kebudaayan, termasuk penambahan entri kamus, kita tahu, tak mungkin suwung dari kepentingan, namun kamus sendiri tak mungkin dibikin jaminan atas nilai-nilai seperti kualitas baik dan buruk, elok dan teruk, dan sebagainya, dan itu bukan rahasia. Pada dasarnya ia ada buat menampung ungkapan apa saja yang lazim digunakan kelompok-kelompok masyarakat dari saat ke saat. Mungkin Irsyad tak memerhatikan bahwa bersama puisi esai ada ribuan entri lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Irsyad mungkin tak memerhatikan, bahwa di antara yang ribuan itu, terdapat pula entri manipulasi, kangkung, jelangkung, dan sabun.

Ibarat asisten bohir kencing berdiri, agen-agen menyusul kencing dengan gaya masing-masing, aneka tulisan kemudian muncul satu-satu selepas siaran pers tersebut. Bedanya, mereka tak disiarkan di beberapa kanal berita nasional, melainkan di laman Facebook Denny J.A’s World.  Di “dunia” itulah Dhenok Kristanti, Tatang Abdulah, Joni Ariadinata, Datuk Jasni Matlani, RM Teguh Supriyanto, Nia Samsihono, Rachman Sabur, Gunoto Saparie, Irsyad Mohamad, Penerbit CBI, Ipit Saefidier Dimyati, FX Purnomo, Ramzah Dambul, Lili Rosidah, dan Yohanes Sehandi, urun tulisan sesuai antrean. Dan meski punya fokus sama yakni memberi kesan Denny J.A. sudah resmi jadi nominator Nobel Sastra 2022, alih-alih baru mendaftar, tulisan-tulisan itu dikembangkan dari motif yang juga bukan main, kelewat cemerlang.

Bagaimana tidak? Tulisan berjudul Nominasi Nobel Sastra Denny JA dan Sebelas Juta Berita, misalnya, karangan Dr. Rachman Sabur, dibuka dengan semangat detektif seperti ini: “Ketika akhir desember [sic!] 2021 viral berita The Swedish Academy, panitia nobel [sic!], mengundang komunitas puisi [Komunitas Puisi Esai], untuk mencalonkan sastrawan Indonesia, saya pun berlagak menjadi anak milineal [sic!]. Saya mencoba mencari di google [sic!] (googling) aneka nama sastrawan untuk tahu seberapa banyak berita soal mereka.”

Kelanjutannya, seperti bisa ditebak, adalah urut-urutan nama sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Taufiq Ismail, Sapardi, Ahmad Tohari, Goenawan Mohamad, dan Sutardji, disertai angka-angka yang menunjukkan hasil pencarian atas nama mereka di Google, kemudian dibandingkan dengan nama Denny J.A., lantas eureka!: hasilnya keluar. Berdasarkan kerja detektif semacam itu—yang Pak Sabur yakini bakal dilakukan pula oleh Komite Nobel sebagai “langkah awal”—dia kemudian mengumumkan, dengan angka “11.600.000”, nama Denny J.A. sukses melibas nama-nama lainnya. Dan berkat penemuan itu juga, Pak Sabur enteng-enteng saja mengatakan “... saya sendiri bukan seorang sastrawan melainkan aktor dan sutradara, maka sayapun [sic!] senang-senang saja bahwa ternyata yang diajukan Komunitas Puisi Esai adalah tokoh puisi esai, yaitu Denny JA.”

Pernyataan yang terakhir dikutip, memang, menunjukkan praktik yang kadung lumrah, meski saya sendiri tak seyakin Pak Sabur soal “langkah awal” yang bakal Komite Nobel tempuh, apalagi sama dalam pandangan lainnya. Tapi, taruhlah begitu, dengan sedikit membayangkan mereka mau rada repot membaca setiap hasil yang terkoneksi dengan nama Denny J.A. di mesin pencarian, bisa jadi mereka bakal sampai pada status Facebook A.S. Laksana pada 5 Februari 2014, yang menceritakan bahwa buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh—yang digarap Tim 8 (Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Acep Zam-Zam Noor, Ahmad Gaus, Berthold Daumsher, Maman S. Mahayana, Agus R. Sarjono, dan Nenden Lilis—meski Maman kemudian menyatakan urung diri) dan disponsori Denny J.A. agar namanya sendiri masuk dalam daftar—menempel lukisan sebagai sampul buku tanpa seizin pelukisnya. Sumber cerita A.S. Laksana sendiri, tak lain obrolannya via telepon dengan si pelukis, yang satu dan satu-satunya: Hanafi Muhammad.

Selesai? Masih Belum. 22 Januari 2022, seminggu setelah Denny J.A. memampang “prangko virtual” bergambar dirinya dengan tulisan berbunyi “THE NOBEL PRIZE NOMINEE” di laman Facebooknya, Metrosulawesi.id menayangkan sebuah artikel bertajuk Denny JA dan Nobel Sastra, tulisan Andi Wanua Tangke. Dalam artikel yang dibuka oleh kata “Denny” dan ditutup oleh frasa “pisang goreng yang sudah kehilangan panasnya” itu, Andi lancar saja menggelontorkan pujian pada orang yang namanya dia pakai buat membuka tulisan. Dia, misalnya menulis, “Denny JA mampu membuat Panitia Nobel Sastra jatuh cinta pada karyanya. Dinilai berhasil menciptakan genre baru dalam dunia sastra. Namanya puisi esai.” Mantap. Sanjungan yang prima betul.

Sayang Andi tak menyertakan dan memang tidak bisa menyertakan sebab tak pernah ada data, kalau “Panitia Nobel Sastra” pernah menyatakan “jatuh cinta” dan menilai dan mengakui Denny J.A. sebagai pencipta genre baru “dalam dunia sastra”. Lebih disayangkan lagi, Andi dan Jaya Suprana—yang dalam tulisan Andi hadir sebagai kawan dialog yang ikut berkomentar—malah mungkin kelewat nikmat mengudap “pisang goreng yang sudah kehilangan panasnya” itu, sehingga tak tahu kalau klaim yang Denny J.A. dan agennya produksi terkait undangan resmi pencalonan bakal penerima Nobel Sastra 2022, telah dibantah oleh Magnus Halldin, Konselor Sastra The Nobel Library, Swedish Academy, yang oleh Kompas disiarkan pada Selasa (18/01/2022), empat hari sebelum tulisan Andi tayang, dalam artikel bertajuk CEK FAKTA: Menilik Klaim Pencalonan Denny JA sebagai Nomine Nobel Sastra 2022. Padahal, bunyinya sendiri terang tak kepalang: “Anda tidak membutuhkan surat undangan untuk mengajukan nomine.”

Selain kemudian “Ketentuan Mengajukan”, Kompas juga menayangkan pesan Magnus Halldin yang mereka terima via surel pada 11 Januari 2022: “Tolong diperhatikan,” tekan Halldin, menjawab permintaan konfirmasi dari Kompas terkait klaim Denny J.A., “mengumumkan nominasi ke publik tidak diperbolehkan, begitu juga mencalonkan diri sendiri”. Hal yang dikutip belakangan, dipampang pula oleh The Swedish Academy pada situs resmi mereka.

Baca Juga: Majelis Sastra Bandung 13 Tahun dalam Pusaran Informasi
Sastra dan Nada dalam Tembang Sunda Cianjuran
Menggali Warisan Ajip Rosidi

Diorama

“Sekiranya dia datang ke sastra Indonesia murni hanya dengan membawa gagasan, datang hanya dengan buku bersampul merah dengan gambar manuk putih itu, tanpa menyelenggarakan workshop, tanpa menerbitkan majalah, tanpa menyelenggarakan lomba ini dan itu, tanpa filmisasi, tanpa seleb pedagang endorsemen, dan singkatnya tanpa money politic, apa iya ada yang akan nggambres dan ngampreng?” ujar Malkan Junaidi, penyair Chelsea Islan Terbang ke Bulan. Pertanyaan itu Malkan pajang di dinding Facebooknya pada 27 Januari 2022, dua hari setelah Surat Untuk Komite Nobel dikirimkan, dan kita tahu, kata “dia” merujuk pada Denny J.A. dan “gagasan” pada puisi esai.

Tahun 2012, Denny menerbitkan buku berjudul Atas Nama Cinta, berisi kumpulan tulisan yang ia klaim satu genre puisi baru, bernama puisi esai. Dan semenjak itu, lewat makelarnya seperti Fatin Hamama, dia membayari orang-orang yang mau, atau yang menurutnya kompeten kemudian mau, buat ikut menyebar gagasannya lewat lomba, workshop, penerbitan majalah Jurnal Sajak (sejak edisi ketiga), juga esai-esai (sekarang, esai-esai ini terkumpul dalam buku elektronik berjudul Menjelaskan Puisi Esai, 540 lebih halaman, bercap penerbit CBI, tanpa titimangsa—baik buku maupun tiap-tiap esainya—dan identitas buku lazim lainnya) yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, Sutarji Calzoum Bachri, Ashadi Siregar, Ignas Klenden, Narudin Pituin, beberapa pentolan Tim 8, dan lain-lain, dan Denny J.A. sendiri tentu saja, dengan tujuan mengglorifikasi label puisi esai sebagai genre puisi baru.

Dua tahun berikutnya, seperti disinggung di atas, Denny mesponsori pembuatan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang digarap Tim 8. Buku ini berisi 32 nama sastrawan yang dianggap memberi kontribusi signifikan terhadap perkembangan sastra di Indonesia, di antaranya Chairi Anwar dan Pramoedya Ananta Toer, ditambah nama Denny J.A. sendiri dengan alasan kepeloporannya atas puisi esai.

Maknyun Subuki, dosen Linguistik UIN Syarif Hidatullah, dalam tulisannya bertajuk Memahami Penolakan Denny JA, menyatakan: buku ini “cacat metodologis” sejak awal, sebab, alih-alih bertolak “dari data yang sedapat mungkin harus tersedia, Tim 8 berangkat dari inventarisasi nama-nama”. Tiap-tiap anggota Tim 8 mengantongi nama-nama, kemudian membawanya buat didiskusikan, maka “Hasilnya, mereka memilih nama dan mencari pembenaran ala kadarnya untuk nama-nama tersebut.”

Untuk urusan main duit, selain dari pengakuan sejumlah orang yang pernah terlibat proyek puisi esai namun kemudian menyatakan urung seperti Ahmadun Yosi Herfanda (dia mengembalikan uang Rp 10 juta untuk menulis puisi dengan label puisi esai) dan tokoh lainnya, Denny mengonfirmasinya sendiri, antara lain, dalam tulisan berjudul Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya. Di sana, Denny menganggap membayari orang buat terlibat dan ikut menyebar gagasannya sama dengan “marketing”, dan seolah diiringi kemunculan bohlam yang lazim dipakai buat menghangatkan anak ayam warna-warni, dia menulis: “Aha! Itu justru sisi barunya. Justru di sana pula letak inovasi dari puisi esai sebagai sebuah gerakan.”

Masih dalam tulisan yang semula tayang di koran cetak Tempo 10 Februari 2018 tersebut, mengenai gagasan puisi esai sendiri, Denny menjelaskan: pertama, “Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter dan drama, yang ada pada novel, juga ada pada puisi esai,” kedua, “puisi esai sekaligus bisa menjadi esai dan isu sosial nyata yang difiksikan. Hadirnya catatan kaki tak sekedar tempelan, tapi referensi yang bisa dilacak.” Dan masih dengan nada yang pede minta ampun, Denny menerangkan bahwa laku pseudo-invensinya (kemampuan reka cipta palsu) itu, dia dasarkan pada apa yang disebut “diferensiasi” yang menurutnya pula, bertolak dari “kreativitas” yang “Batasnya adalah langit yang biru, yang tak berbatas.” Tetapi toh akal sehat kita tahu: kreativitas, sama sekali tak sama dengan kengawuran tanpa batas, lebih-lebih buat urusan yang disodorkan ke masyarakat luas.

Selang beberapa hari selepas tulisan Denny J.A. itu disebar ke publik, Saut Situmorang, penyair dan kritikus yang kini mukim di Yogyakarta, lewat esai bertajuk  Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA, yang dipampang di situs boemipoetra pada 19 Februari 2018, membongkar lapis demi lapis laku pseudo-invensi Denny seraya menggugatnya. Setelah menerangkan secara gamblang mengenai karakterisasi puisi, prosa, dan drama, dan subgenrenya, misal, Saut menggugat, bahwa yang diklaim oleh Denny J.A. sebagai puisi esai, bahkan tidak bisa digolongkan sebagai puisi, melainkan “tak lebih dari Cerita Naratif biasa (memiliki Plot, Tokoh, dan Dialog seperti dalam Cerpen) yang disusun Tipografinya seperti tipografi puisi, seolah-olah puisi!”. Saut juga menambahkan: lagi pula jika Denny J.A. hendak menulis puisi esai, harusnya isi tulisan itu adalah Esai, “jenis tulisan analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif pribadi penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya”, bukan malah cerita naratif.

Tak hanya itu, Saut Situmorang menggasak pula hal-hal lain yang tampil dalam tulisan Denny tersebut, misalnya cara pandang Denny J.A. terhadap kesusastraan, dan pengaplikasian teori yang secara “manipulatif” Denny pakai buat menjustifikasi gagasannya soal puisi esai, sambil menerangkan dan meletakkan kembali teori itu pada konteksnya. (Dan jika kita membaca esai Saut yang lain di boemipoetra, bertajuk Huusss Pusssss, Tardji, Tobatlah! kita bakal mendapat gambaran, mengapa agenda Denny J.A. bisa masuk bahkan dapat dukungan, selain kerena uang, di lintasan sejarah sastra Indonesia).

Sementara soal catatan kaki, dalam esainya yang lain bertajuk Puisi Esai: Apa dan Mengapa, Denny J.A. menyebutkan bahwa “Fungsi catatan kaki tidak sekedar asesori atau gaya saja, tapi bagian sentral puisi esai. Sejak awal puisi esai ini memang menggabungkan fiksi dan fakta. Unsur fakta dalam puisi esai itu diwakili oleh catatan kaki tersebut.” Ini konyol belaka saya pikir, mengingat karya satra yang bersifat mimetis, bahkan tanpa kehadiran catatan kaki, tentu tak mungkin suwung dari fakta sekecil apa pun. Klaim bahwa catatan kaki bukan sekadar tempelan, kenyataannya toh tempelan semata, cocok-cocokan, yang kelewat dipaksakan, agar ada sesuatu yang terkesan baru dalam tradisi penulisan puisi di Indonesia.

Lagi pula, jika bertujuan agar pembaca bisa melacak referensi penulis, Denny tak perlu repot-repot memaksakan catatan kaki masuk. Sebab kita, sebagai pembaca sastra atau teks secara luas, bisa memakai pendekatan intertekstual misalnya, yang bahkan sejak Denny J.A. masih lumayan remaja, sudah dikembangkan oleh marhumah Julia Kristeva, di antaranya, lewat Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (1980).

Sastra, sebagai bagian dari seni dan ilmu pengetahuan—dan jelas bukan semata industri dan pasar seperti terang dalam cara pandang Denny J.A.—yang di samping aneka visi estetik dan metode penciptaan, bersamanya terdapat sejarah, tradisi, kritik, dan teori, seperti ranah atau arena kebudayaan yang lain: tidak dan tak bakal bersih dari politik. Dalam konteks arena ini, kepemilikan atas modal ekonomi (meminjam istilah Bourdieu) berupa uang, terutama tanpa modal kultural berupa kompetensi dan wawasan yang jelas atas kesusastraan, tak bakal bisa dikonversi jadi kuasa simbolik par excellence, seperti yang dihasratkan Denny J.A. sejak semula, dengan habitusnya yang kadung cemar oleh buku Michael H. Hart bertajuk The 100: A Ranking of the Most Influential Person in History.

Namun pernyataan-pernyataan pseudo-inventif dan penyebaran berita-berita manipulatif lewat pelbagai mediumnya, tetap saja merupakan upaya manipulasi sejarah Sastra Indonesia lewat jalan pembodohan dan penyesatan informasi buat publik, semata demi memuaskan hasrat pribadi. Dan untuk merespons hal tersebut, pelbagai sikap kontra narasi Denny J.A. plus agen-agen bayarannya dalam kurun kurang lebih satu dekade ini, dengan aneka perwujudannya, dibuat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//