Majelis Sastra Bandung 13 Tahun dalam Pusaran Informasi
Peringatan ulang tahun Majelis Sastra Bandung kali ini dilaksanakan secara daring dan luring. Tidak ketinggalan, ada acara potong kue oleh para pendiri.
Penulis Iman Herdiana16 Januari 2022
BandungBergerak.id - Majelis Sastra Bandung (MSB) kini berusia 13 tahun. Tidak mudah bagi sebuah komunitas nirlaba untuk mencapai usia tersebut, apalagi kini harus bergelut di tengah membanjirnya kata-kata (informasi) di era digital sekarang ini.
Dalam kurun tersebut, beragam godaan dan ujian menghambat keberlangsungan majelis. Yang terbaru tentu pandemi yang membuat komunitas ini mati suri selama dua tahun, walaupun tahun ini – tahun ketiga pandemi – rencananya MSB akan menggiatkan kembali kegiatan rutinnya, termasuk program Pengajian Sastra.
Dalam suasana pagebluk, MSB merayakan hari jadinya yang ke-13 tahun secara terbatas di Perpustkaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Bandung, dengan konsep luring dan daring. Acara ini disiarkan Kitsch TV di kanal Youtube-nya. Ulang tahun dibuka dengan sajian musik instrumental mirip tatalu (tetabuhan) kontemporer, dan tentu tak ketinggalan, deklamasi puisi dari para penyair.
Beberapa penampil atau komunitas yang memeriahkan ulang tahun MSB antara alin The Stori of Poet, Barra Malik Annasir, Nina Raymala, Ioanestesi, Bara Ramadhan, Nani Sui Yani, Komet, Eben, Jarwo, Alan Aldiansyah, dan puncaknya pemotongan kue ulang tahun oleh pendiri sekaligus pimpiman Majelis Sastra Bandung yang biasa disebut rois amr Kiai Matdon, dan Orasi Budaya dari Atep Kurnia.
Saat pemotongan kue, Matdon mengajak salah seorang pendiri MSB lainnya, seniman Dedy Koral, untuk naik ke atas panggung. Kue dipotong, party popper yang menyemburkan kertas-kertas metalik pun ditembakkan oleh Agus Jurig dan Miftahul Malik.
“Saya dan Dedy Koral sudah bersahabat lama tapi dalam 2 tahun (selama pandemi) ini tidak ketemu. Kang Deddy salah satu pendiri MSB. Kue ini saya serahkan ke Deddy Koral. Mudah-mudahan Februari nanti mulai kegiatan lagi setelah 2 tahun tidak aktif,” ungkap Matdon, Sabtu (15/1/2022).
Dalam Pusaran Informasi
Dalam orasi budaya 13 Tahun Majelis Sastra Bandung, Atep Kurnia, membahas pengaruh internet baik bagi masyarakat umum maupun di ranah kesusastraan. Menurut Atep, penggunaan internet di Indonesia amat pesat. Ia merilis data dari Kominfo bahwa antara 2011-2021 penggunaan internet di Indonesia meningkat menjadi 245 juta orang.
Padahal pada 2011 jumlah pengguna internet baru 55 juta orang. “Satu dasawarsa kemudian, bulan Maret 2021, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212 juta orang, artinya pengguna internet di Indonesia di urutan ketiga di Asia setelah Tiongkok dan India,” papar penulis sejumlah buku tentang kebudayaan tersebut.
Platform internet yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia ialah media sosial Facebook, Youtube, Instagram, Twitter, dan lain-lain. Dari sisi umur, pengguna internet di Indonesia didominasi anak muda atau remaja berusia 15-19 tahun (50 persen), selebihnya adalah kalangan dewasa dan tua.
Atep mencatat betapa dahsyatnya pengaruh internet pada kehidupan manusia. Mulai bangun tidur sampai menjelang tidur kembali, manusia tak bisa lepas dari internet atau alat yang tersambung ke internet seperti gawai, komputer atau laptop.
“Kita mencari informasi di Google, melakukan pembaruan status di media sosial, nonton film streaming, belanja di pelapak daring, dan lain-lain,” katanya.
Menurut penelitian, kata Atep, tahun 2015 jumlah perkakas digital seperti handphone, komputer dan sebangsanya mencapai hampir dua kali lipat jumlah manusia sedunia. Akibatnya, diperlukan waktu 5 tahun untuk menampilkan video yang beredar di internet.
Dalam rentang 2016-2017, jumlah data yang digunakan manusia lebih banyak dibandingkan keseluruhan data yang pernah digunakan selama sejarah manusia. Atep mencatat, dalam rentang tersebut terdapat 3 juta email, 50 juta lebih twit yang terkirim, dalam 21 jam secara terus menerus terjadi pengunggahan video.
Tingginya pengguna internet menunjukkan semakin meningkatnya warga yang melek aksara. Atau sebaliknya, angka buta huruf semakin berkurang. Sebab, kata Atep, penggunaan internet mensyaratkan mengerti membaca dan menulis.
Dampak lain, lanjut Atep, terjadinya perubahan pandangan terhadap informasi. Di masa sebelum internet, informasi terbatas pada media cetak. Kini, semua orang mampu memproduksi informasi yang berakibat banjir informasi sampai mereka kesulitan memilahnya.
Orang dengan mudah bisa mendapat informasi apa pun tetapi di saat yang mereka kesulitan menyaringnya. Fenomena ini membuat manusia kesulitan untuk fokus pada satu masalah tertentu. Kebanyakan informasi membuat produktivitas menurun hingga stres.
Kata Atep, dibutuhkan kerja keras untuk bisa meyaring informasi di abad digital ini. Orang harus bisa menapis informasi untu mengambil satu dua informasi valid yang dijadikan pijakan.
Kenyataan lain, era informasi saat ini rupanya lebih cocok bagi anak muda. Tak heran jika menurut penelitian, pengguna internet di Indonesia lebih didominasi anak-anak muda, bahkan remaja.
Atep kemudian mengutip penulis Umberto Eco yang mengatakan bahwa kebaruan yang terjadi hari ini hanya anak mudalah yang sanggup menerima dan mencernanya, sementara orang tua akan lebih lambat menerimanya.
“Umberto Eco menilai anak muda lebih segar dan bisa melihat yang terjadi pada ranah tersebut (internet). Maka, generasi muda harus membuat analisa-analisa baru, mereka lebih fleksibel, dan bebas dari pengalaman masa lalu. Mereka tidak akan mengulangi skema yang lama, skema interpretatif,” paparnya.
Namun orang tua bukan berarti tidak bisa menggunakan internet. Kata Atep, masih mengulas pemikiran Umberto Eco, di zaman digital ini orang tua hanya mengikuti gerak zaman, menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi. Dan bagi orang tua, penapisan informasi sangat diperlukan, yaitu menggunakan informasi seperlunya saja, tidak harus semua platform media sosial diikuti.
“Kita perlu mengatur waktu agar memaksimalkan efisiensi, jangan tergoda mencoba hal baru di luar yang kita rencanakan, membuat jadwal bebas internet, dan menciptakan sistem menapis informasi sesuai kebutuhan dan keyakinan,” katanya.
Mengulang Era Budaya Lisan
Dalam perjalanan sejarah kebudayaan, Atep memaparkan bahwa manusia setidaknya berada dalam dua fase besar kebudayaan, yaitu budaya lisan dan budaya tulisan. Di masa budaya lisan, kegiatan membaca bersifat komunal atau bersama-sama, sehingga membaca naskah biasa dilakukan dengan bersuara keras agar orang lain bisa mendengarkan.
Begitu masuk ke budaya tulisan atau era mesin cetak, praktik komunal tersebut tergantikan dengan sikap individual atau elitis. Di era ini orang membaca dengan cara sunyi seorang diri. Dialog yang terjadi hanya dia dan teks yang dibacanya. Perlahan tapi pasti, budaya lisan seperti kebersamaan mulai ditinggalkan.
Era internet ini menurut Atep merupakan pengulangan dari era lisan yang bercampur degan era tulisan, di mana orang-orang dengan mudah memproduksi informasi entah dalam bentuk status, unggahan video, foto, dan sejenisnya. Informasi yang disampaikan tidak jarang memiliki gaya budaya lisan. Contohnya, status Facebook atau Instagram, tidak selalu memerhatikan struktur baku tulisan.
Di sisi lain, era digital juga sebagai momen merawat keberaksaraan. Siapa pun bisa menulis dan mempublikasikannya di media sosialnya. Namun era digital juga menghendaki pembentukan komunitas-komunitas seperti yang pernah terjadi di era budaya lisan. Budaya komunal yang “disingkirkan” di era budaya tulisan ini menurut Atep sebaiknya terus dirawat.
Praktik komunal seperti kebersamaan, silaturahmi, gotong-royong, harus terus dijaga meskipun zamannya sudah berubah. Dengan begitu, kata Atep, konsep diri – aku – di internet adalah diri yang menyadari dirinya sendiri, termasuk menyadari bahwa manusia sejatinya makhluk sosial yang membutuhkan bersosialisasi sekaligus beraksara.
Manusia membutuhkan kebersamaan dan tempat permenungan (sastra). Sehingga era internet ini membuka kesempatan untuk berkomunitas sekalgus beraksara. “Hubungan sosial di internet wajib dipelihara. Secanggih apa pun budayanya aksara dan hubungan sosisial tetap perlu dirawat,” kata Atep.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (14): Yang tidak Penting bagi Matdon, (Mungkin) Penting bagi Kita
Doa yang Terkubur
Berkomunitas dan Beraksara di MSB
Peringatan “13 Tahun Majelis Sastra Bandung” kali ini pun kental dengan pengaruh internet, terlepas dari ada tidaknya pandemi. Acara disiarkan secara langsung di Youtube. Orang yang tidak bisa mengikuti acara ini bisa menonton rekamannya di mana pun dan kapan pun.
Majelis Sastra Bandung merupakan komunitas yang didirikan oleh para penggiat seni seperti Dedy Koral, Aendra Medita, Hermana HMT, Hanief, Ayi Kurnia, dan Yusef Muldiyana, dan Matdon, 25 Janurai 2009. Kegiatan rutin MSB adalah “Pengajian Sastra” yang diharapkan bisa menjadi wadah bagi penyair-penyair muda Bandung, menghidupkan kembali ruang-ruang diskusi dengan tema beragam, mulai mengkaji ilmu dan pengetahuan tentang sastra yang di dalamnya meliputi puisi, novel, cerpen, teater, flm, musik, dan seterusnya.
Beberapa penyair yang pernah “menghidupkan” MSB antara lain Acep Zamzam Noer, Afrizal Malna, Binhad Nurohmat, Ahmad Subbanudin Alwi, Hawe Setiawan, Soni Farid Maulana, Syafrina Noorman, Imam Abda, Ahda Imran, Irfan Hidayatullah, Eriyanti Nurmala Dewi, Nenden Lilis Aisyah, Septiawan Santana, Yopi Setia Umbara, Herri Maja Kelana, Anwar Kholid, Sosiawan Leak, Zabidi Zay, dan sejumlah sastrwaan nasional lainnya.