• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (21): Sukarno Pidato dalam Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (21): Sukarno Pidato dalam Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung

Sukarno menyatakan selama ada darah dan daging, maka sejak itulah dirinya akan selalu berdiri di hadapan kaum Marhaen.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Laporan Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung. (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932)

26 Februari 2022


BandungBergerak.idKongres Pertama PNI Baru yang berlangsung di Bandung memutuskan pemilihan ketua atau susunan pengurus dan langkah apa saja yang akan dilakukan selanjutnya. Meski demikian Kongres yang berjalan selama empat hari itu juga menampilkan tindakan represif aparat, juga penjelasan dari ketua comite pada saat kongres itu berlangsung.

Pertama, terkait pembubaran. Awalnya, pertemuan terbuka Kongres PNI Baru akan diadakan di Sekolah Taman Siswa di Bandung. Ketika orang-orang sudah memadati ruangan, polisi tiba-tiba membubarkan massa tanpa memberitahu alasan yang jelas. Gobee, wakil ketua Urusan Bumiputera datang ke lokasi pertemuan. Namun, acara tetap penuh hambatan di tempat itu. Akhirnya, stigma buruk pun muncul. Katanya, “Bandoeng ini, barangkali hanja satoe-satoenja jang selaloe mendapat rintangan keras. Rintangan di Bandoeng ini, boekan soal-soal jang besar sadja jang dikenai, tapi sekalipoen soal jang seketjil-ketjilpoen selaloe mendapat sadja rintangan” (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Kedua, penjelasan ketua comite, Boerhanoedin, tentang acara yang digelar secara tertutup dan dilakukan dengan prinsip Marhaen. Kongres Pertama PNI Baru itu memang dihadiri banyak perwakilan. Antara lain, dihadiri oleh Partindo Cabang Bandung, PSII, LTPSII, Isteri Sedar, PPP, Siap, Sanggaboeana, Taman Siswa, Persaudaraan Semoea Pemoeda (Bd-Jacatra), Sakti, Persatoean Kaoem Chauffeur, Persatoean Toko Sepatoe, Pasoendan dan Kepandoean Ra’jat Indonesia. Ditambah dari berbagai utusan pers lokal maupun nasional.

Sebagai ketua comite, mula-mula Boerhanoedin menjelaskan bahwa resepsi kongres seharusnya berlangsung secara tertutup. Namun, karena ditujukan untuk para hadirin di Bandung, maka acara tersebut digelar secara terbuka (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Beberapa organisasi seperti Kepandoean Ra’jat Indonesia Solo, HBPBST, Roekoen Pasoendan, Mataram, Central Best, HBSPT Toemapel, HB Isteri Sedar, Wanito Sedjati, PP PKI, HB Pasoendan dan Noord Moeria mengirimkan surat untuk panitia pengurus kongres. Hampir seluruh surat itu berisi persetujuannya kepada PNI Baru dan mendoakan agar PNI terus berkembang (Daulat Ra’jat).

Selanjuntya, Boerhanoedin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangannya yang telah banyak menyokong acara kongres pertama itu. Ia juga menjelaskan tentang dekorasi ruangan yang sederhana, serta penerimaan tamu yang biasa saja. Meski telah membuat para tamu undangan kurang menyenangkan, tapi ia mengklaim bila acara itu dikemas secara sederhana seperti kaum Marhaen. Seraya menunjuk kepada bendera yang bertuliskan, “Kaoem Marhaen Bersatoelah!”

Boerhanoedin menyatakan kongresnya itu merupakan kongresnya kaum Marhaen. Dengan demikian, bagi Boerhanoedin, jangan kaget bila para tamu undangan disajikan hidangan seadanya (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932), sebagaimana makanan yang sering dimakan oleh para petani dan kaum miskin rakyat Pribumi.

Setelah Boerhanoedin menyampaikan berbagai teknis acara, giliran Soekemi untuk menjelaskan kesamaan PNI dengan Marhaen. Menurutnya PNI adalah sebuah pergerakan yang memihak kepada kaum Marhaen. Di saat awan politik tampak gelap, di situlah PNI berdiri. Ia juga menceritakan kembali bagaimana seluruh anggota PNI ditekan oleh aparat polisi, dan keempat tokoh PNI ditangkap serta diadili. Hal ini baginya merupakan ujian. Karena seluruh aktivitas PNI dihentikan (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Selain itu, Soekemi juga menceritakan maklumat pembubaran Partai Nasional Indonesia. Lalu, berdirilah Partai Indonesia. Menurutnya pembubaran itu menimbulkan sebagian anggota bekas PNI bersedih, namun banyak juga yang menerima baik kehadiran Partindo dan merasa puas dengan munculnya partai baru itu. Bagi yang tidak merasa puas dengan Partindo, mereka beralih dan membuat wadah baru, Golongan Merdeka. Sampai PNI-Baru terbentuk, Golongan Merdeka berada di bawah naungan bendera merah putih berkepala banteng dan melebur menjadi PNI-Baru (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Ia juga menyebutkan bahwa selama 6 bulan, PNI Baru telah memiliki beberapa cabang dan berencana untuk meresmikan cabang-cabang yang akan dibentuk. Di samping itu, Soekemi menegaskan bahwa PNI merupakan suatu organ pergerakan yang akan memikirkan kaum Marhaen untuk mencapai Indonesia merdeka. Bukan hanya itu. Soekemi mengklaim akan melahirkan pemimpin-pemimpin dari Kaum Marhaen sendiri. Dengan demikian, menurutnya, PNI Baru selalu mengarahkan segalanya kepada kekuatan kaum Marhaen (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932) untuk sama-sama menghadirkan kemerdekaan.

Usai Soekemi menyampaikan pidatonya, acara diberhentikan selama 10 menit untuk minum-minum dan menyantap hidangan ringan. Setelah itu, acara kembali dilanjutkan. Pada sesi ini forum dipersilakan untuk unjuk bicara. Ada 13 orang yang ingin mengungkapkan gagasannya. Ketigabelas orang itu masing-masing dari perwakilan Partindo Cabang Bandung, PSII, BKK, Taman Siswa, Sanggaboeana, PSP, Isteri Sedar, PPP, LTPSII, Sarekat Soematera, Tjahja, Phan Min Kit, dan Sukarno (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Abikusno, utusan dari LTPSII menjelaskan, bahwa berdasarkan penyelidikannya sebagai orang luar ia pun menilai jika satu-satunya organisasi pergerakan yang mempunyai prinsip nasionalisme hanyalah PNI. Ia juga menyebut PNI betul-betul mengejar kemerdekaan Indonesia dengan semangat Marhaen dan membela kaum Marhaen. Bahkan Abikusno menilai bahwa PSII juga merupakan bagian dari pergerakan kaum Marhaen yang mengandung prinsip keagamaan. Dengan demikian PSII bersedia untuk bekerja sama dengan pergerakan kaum Marhaen seperti yang ditunjukkan oleh PNI (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (17): Sukarno Bebas dari Penjara Sukamiskin
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (18): Sukarno Menjadi Anggota Partindo Cabang Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (19): Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung

Pidato Sukarno

Selanjutnya, Sukarno berbicara. Seperti biasa, ia berpidato dengan sangat berapi-api. Ia mengungkapkan, selama ada darah dan daging, maka, sejak itulah ia akan selalu berdiri di hadapan kaum Marhaen. Pernyataan ini dianggap cocok dengan semboyan PNI yang tertulis, “Kaum Marhaen, bersatulah!”.

Selain itu Sukarno juga menyangkal jika para tokoh pergerakan kerap menyebut “Oleh rakyat, untuk rakyat”, meskipun pada kenyataannya “Oleh rakyat, untuk kaum intelektual”. Sehingga baginya itulah contoh pemimpin palsu yang tidak boleh dipercaya oleh rakyat. Dengan penuh keyakinan, Sukarno mengklaim bahwa dirinya merupakan seorang nasionalis marxis. Ia pun bersumpah, “Demi Allah, demi Rasulullah” bahwa selamanya ia akan terus bekerja untuk membela kaum Marhaen (Daulat Ra’jat 10 Juli 1932).

Demikianlah berbagai pidato yang disampaikan dalam Kongres Pertama PNI Baru di Bandung. Adapun utusan lain yang ikut berbicara hanya menyatakan persetujuan untuk kehadiran Pendidikan Nasional Indonesia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//