Wabah Putus Kuliah Massal di Tengah Pandemi, Pengamat Menyarankan Pembangkangan
Men-DO mahasiswa di masa sulit pandemi ini dinilai berlebihan. Mahasiswa disarankan bersolidaritas kepada teman-temannya yang terancam di-DO.
Penulis Delpedro Marhaen4 Maret 2022
BandungBergerak.id - Di awal tahun 2022 bertubi-tubi kabar mengenai gelombang putus kuliah massal mahasiswa di sejumlah kampus di kota Bandung mencuat. Potensi maraknya mahasiswa putus kuliah memang ditengarai tak terhindarkan karena himpitan ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19. Sementara kampus dinilai tidak memberikan tawaran yang solutif.
Merujuk pada data yang dipaparkan dalam Diskusi Publik Bandung for Justice: Bandung di Tengah Arus Wabah Putus Kuliah, sekitar 100 mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terancam putus kuliah atau cuti paksa. Di Universitas Islam Bandung (Unisba), tercatat hampir 500 mahasiswa belum membayar uang kuliah. Potensi serupa juga dialami beberapa kampus lain seperti Universitas Indonesia Membangun (Inaba) dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD).
Pengamat Kebijakan Publik, Deny Rismansyah menyarankan sejumlah usulan bagi para mahasiswa yang dihadapkan dengan kondisi tersebut dan merasa dirugikan. Menurutnya, diperlukan sejumlah langkah yang dipersiapkan untuk memperjuangkan hak-hak pendidikan mereka. Hal ini berkaitan dengan hak konstitusi warga negara dan kebebasan berpendapat.
“Selain demonstrasi, harus adanya solidaritas dari mahasiswa yang tak memiliki masalah keuangan kepada rekannya. Dia harus punya solidaritas. Jangan sampai yang demonstrasi itu orang-orang yang terancam di-DO saja. Dan harus didukung oleh dosennya yang punya komitmen pada kasus ini. Supaya mereka juga dapat menekan rektor,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Kota Bandung, Deny Rismansyah dalam diskusi Bandung for Justice, pada Senin (28/02/2022) lalu.
Menurutnya, tanpa ada dukungan dari civitas akademik di tingkat arus bawah dan atas yang saling mendukung, gerakan penolakan dan protes ini bakal menjadi hal yang mustahil.
“Repot. Kampus punya senjata DO. Mahasiswa gak punya daya tawar. Maka kalau mau, mesti ada solidaritas dari kawan yang tidak memiliki masalah keuangan,” ujarnya.
Deny juga menyarankan pembangkangan yang dilakukan mahasiswa untuk kompak tidak mau membayar uang kuliah. Langkah ini dinilai efektif karena memiliki daya ledak dan tawar kepada pihak kampus. Pada titik ini tuntutan mahasiswa akan menjadi didengar.
“Bayangkan, kalau ada pembangkan dari mahasiswa di satu universitas. Semua mahasiswa kompak tidak mau membayar. Bayangkan, apa tidak terguncang itu kampus?,” ungkapnya.
Saran selanjutnya, Deny menganjurkan mahasiswa untuk melaporkan aduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dengan indikasi adanya pelanggaran HAM. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 28 huruf c ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Di mana, kata Deny, hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya mendapatkan pendidikan tidak terpenuhi.
“Ditembus juga ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan, terutama Perguruan Tinggi Swasta, dapat melaporkan aduan juga ke Ombudsman. Bahwa terjadi malpraktik. Masa orang gak bisa bayar kuliah malah di-DO? Seperti tidak ada solusi lain saja,” pungkasnya.
Langkah terakhir bisa mengadu ke Komisi X DPR RI. Kemudian juga bisa mengajukan judicial review regulasi terkait ke Mahkamah Agung. Tindakan ini perlu dilakukan agar memberikan perubahan struktural, sehingga berdampak luas secara nasional.
Baca Juga: Kampus Melanggar Konstitusi jika Mengeluarkan Mahasiswa yang tak Mampu Membayar UKT
Kisah Mahasiswa STIE Inaba, Muhamad Ari: Jalan Terjal Menuntut Pemotongan Uang Kuliah karena Pagebluk Berujung Di-DO
Di-DO setelah Menuntut Pemotongan Uang Kuliah, Mahasiswa Inaba Menggugat Rektornya ke PTUN
Kaset Baru Lagu Lama
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim pada Juni 2020 lalu, menginisiasi dua agenda mengenai uang kuliah tunggal (UKT); ketentuan penyesuaian UKT bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan dana bantuan UKT yang diutamakan untuk mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Namun, bagai pinang dibelah dua, muatan Permendikbud 25/2020 tak jauh beda dengan Permenristekdikti 39/2017 yang mensyaratkan pencantuman surat pernyataan tidak mampu untuk mendapatkan pemotongan, penundaan, atau cicilan UKT.
Hal ini terang dianggap belum memadai oleh pelbagai pihak. LBH Bandung menilai kebijakan ini hanya pengaturan biasa tentang UKT, bukan jalan keluar atas krisis UKT yang melanda kampus.
“Tidak menjawab persoalan, karena memang pembentukannya tidak dilakukan untuk merespons situasi pagebluk Covid-19,” kata pengacara publik LBH Bandung, Rangga Rizki.
Sementara Pengamat Kebijakan Publik, Deny Rismansyah mengatakan hingga saat ini tidak ada regulasi di tingkat nasional yang secara khusus mengatur mengenai relaksasi biaya pendidikan. Kebijakan yang ada, termasuk Permendikbud 25/2020, hanya berfokus pada pemberian bantuan dana pendidikan dalam kondisi normal, seperti beasiswa, bidikmisi dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Artinya, kebijakan ini terpisah dari situasi krisis atau bencana.
“Regulasi yang mengatur tentang standar biaya kuliah di masa pandemi Covid-19 itu tidak ada. Permendikbud 25/2020 yang terbit pada Juni 2020 itu ada ketika kondisi ekonomi belum begitu parah. Pada kenyataan pandemi berlangsung panjang, kemudian memperburuk kondisi ekonomi, dan kita tidak tahu kapan akan selesai, tetapi tidak ada regulasi baru yang mengantisipasi persoalan itu,” ujarnya.
Deny kemudian membandingkan ketidakadaan kebijakan relaksasi biaya kuliah ini dengan kebijakan relaksasi dalam bidang leasing, yang memberikan keringan kredit bagi debitur. Ia menilai kampus lebih kejam ketimbang leasing. Selain itu, ini menunjukan tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan. Ia juga mendorong perlu adanya kebijakan baru dari setiap universitas terkait relaksasi biaya kuliah di masa pandemi.
“Secara kebijakan secara hukum, kampus harus mengubah dan membuat kebijakan baru. Sesuaikan. Kalau pun dilakukan juga, saat ini, malah berbeda-beda kebijakan tiap kampus,” ucapnya.
Deny juga menegaskan tidak ada hubungan antara situasi mahasiswa yang telat membayar uang kuliah di masa normal, bahkan di masa tidak normal dengan sanksi drop out. Menurutnya drop out hanya bisa dilakukan ketika mahasiswa dinilai tidak layak secara akademik dan melakukan tindak pidana yang dilarang oleh hukum. Persoalan administratif tidak bisa diganjar dengan drop out.
“Jadi apa urgensinya men-DO mahasiswa di masa sulit ini. Selain sanksi tersebut berlebihan, juga tidak pada tempatnya karena ini dalam konteks pandemi,” pungkasnya.