• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (50): Ragam Makanan Berbahan Dasar Beras Ketan, dari Opak, Bugis, hingga Calangaren

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (50): Ragam Makanan Berbahan Dasar Beras Ketan, dari Opak, Bugis, hingga Calangaren

Rasa gatal ketika memikul ikatan-ikatan padi ketan tidak lama terasa. Terbayang lezatnya bermacam kamanan olahan beras ketan buatan Ema, dari opak hingga bugis.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Daun pisang diolesi minyak kelapa agar tidak lengket (A). Adonan dibuat pipih melebar (B), lalu diisi enten, ditutup kembali hingga rapi (C), kemudian dibungkus, disimpan di dalam nyiru (D). (Foto: Jujun Dimyati)

16 Maret 2022


BandungBergerak.id - Tangan kiri si penjaga burung menarik-narik tali yang terhubung dengan kokoprak, yang kalau ditarik menimbulkan suara prak… koprak… koprak… koprak… prak…. Tangan kanan menarik-narik lain tali yang terhubung dengan bebegig, orang-orangan yang ditancapkan di tengah sawah. Bebegig bergerak-gerak, tangannya seperti orang yang sedang menghalau burung.

Terus begitu. Penjaga burung menarik-narik dua tali itu, terutama bila koloni burung sudah dalam formasi siap untuk mendarat di tangkai padi. Mereka tak mau kalah cepat dengan burung dalam menghabisan padi. Makanya petani bersiaga menjaga burung-burung itu agar tidak hinggap di padinya.

Abah dan Ema mempunyai sawah di Cikuda, bersebelahan dengan SMP Negeri Pameungpeuk. Dari rumah, jaraknya paling juga 2 kilometer. Sawah dengan pengairan yang baik, dapat dipanen dua kali dalam setahun dengan hasil yang baik. Batang padinya tinggi. Kalau kita berjalan di pematang sawah pagi-pagi, baju dan celana menjadi basah kuyup karena menyapu embun yang bergelantungan di daun padi yang sedikit terkulai ke pematang.

Ketika padi mulai berbuah, rombongan burung pipit datang, dan bila dibiarkan, petaninya benar-benar tak akan kebagian. Hasil jerih payah menanam dapat dihabiskan dengan sangat cepat oleh puluhan ribu burung. Bukan hanya burung pipit, tapi ada juga rombongan burung bondol. Ketika burung-burung itu serempak datang bersamaan di petak-petak sawah, maka dengan sangat kilat, burung-burung itu mematuki padi yang menjelang matang, sehingga bulir berasnya sedikit empuk dan manis.

Saya kadang mendapat tugas menjaga sawah sore hari, kalau giliran sekolah pagi. Mulai setengah empat sore, saya sudah berada di saung sawah di Cikuda, untuk menjaga agar burung-burung itu tidak hinggap di sawah. Dari saung yang tinggi, tali bebegig dan tali kokoprak saya tarik berkali-kali. Ribuan burung itu terbang kembali, dan mencari petak sawah yang tidak dijaga. Namun, ketika suara kokoprak berhenti, dan bebegig tak bergerak-gerak saat angin tak bertiup, burung-burung itu dengan sangat cepat kembali menyerbu.

Dari ribuan burung pipit dan burung bondol yang terbang kembali saat dihalau dengan gerakan bebegig dan suara kokoprak, ada empat atau lima burung yang tidak ikut terbang bersama koloninya. Mereka berdiam diri di tangkai padi sambil terus mematuki bulir-bukir padi, yang tangkainya terlindung batang-batang padi. Itulah burung-burung yang tidak terpantau, sehingga padinya tak terselamatkan.

Kadang, sambil bermain ketepel, saya mengarahkan batu pelornya ke batang padi bagian tengah. Tak disangka ada sekelompok kecil burung yang beterbangan.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (49): Ketika Anak-anak Sekampung Keranjingan Mendorong Pelek Sepeda
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (47): Doa dan Harapan Anak-anak saat Bermain dan Menjelang Tidur

Menanam dan Mengolah Beras Ketan

Dari sekian petak-petak sawah yang luas, ada satu petak kecil berkurannya 8x8 meter. Di petak sawah inilah dari waktu ke waktu, selalu ditanami ketan. Ketan berbatang tinggi. Ujung bulir padinya berbulu panjang, kalau tidak merah hitam warnanya.

Abah dan Ema hanya menanam ketan putih. Belum pernah menanam ketan hitam.

Berbagai ketan olahan yang Ema buat, semuanya saya suka, meski saya tidak begitu senang ketika harus membawa ikatan-ikatan padi ketan saat panen. Pada saat memikulnya dari sawah ke rumah, sering kali badan menjadi gatal akibat ujung bulunya yang runcing itu patah karena bergesekan saat dipikul, kemudian terbang tertiup angin dan menempel di tubuh yang berkeringat.

Rasa gatal dari bulu padi ketan ini sering tak dirasa. Sakitnya cukup terobati karena nanti saya dapat memakan ketan olahan kesukaan. Yang paling sering dibuat oleh Ema adalah nasi ketan bercampur dengan kacang merah (direumbeuy). Berselang satu minggu, Ema membuat nasi ketan reumbeuy ini setiap hari Jumat siang. Bila tidak reumebuy, besok subuh, nasi ketan sudah dikerat persegi, dipanggang menjadi ulen, uli panggang.

Ema sangat apik dalam memilah ketan agar tidak tercampur padi biasa. Bahkan sejak akan dibibitkan, Ema selalu memilih dulu, barangkali masih ada tangkai padi yang masih terselip. Ketika dipanen di sawah, bila masih ada padi yang tumbuh di antara ketan, padi itu tidak dituai berbarengan saat menuai ketan. Setelah selesai menuai ketan, baru Ema menuai padi yang tersisa di petak itu.

Ketika akan ditumbuk pun, dipilih lagi, jangan-jangan masih ada yang terselip. Jika masih ada beras padi yang terselip, akan terasa sekali bila ketan dibuat opak. Kalau masih ada beras padi yang tercampur, maka di dalam opak itu akan terdapat butiran kecil yang keras saat dikunyah.

Ada olahan dari beras ketan yang hanya dibuat pada peristiwa-peristiwa penting, atau pada perstiwa salametan atau sukuran, seperti hajat sunatan atau hajat nikahan, dan lebaran, yakni: opak, kolontong, wajit, dan bugis. Membuatnya memerlukan bantuan 5-6 orang. Biasanya saudara dekat yang ikut membantu. Olahan dari beras ketan itu menjadi istimewa, karena pada umumnya dibuat setahun sekali.

Namun, ketika ada saudara yang sudah ngumbara, mengembara jauh dan kembali, biasanya dibuatkan makanan kesukaannya. Misalnya bugis, yang pembuatannya lebih mudah dibandingkan jenis olahan ketan lainnya. Setelah diisiskan, dicuci bersih, beras ketan itu direndam beberapa saat sebelum dikeringkan untuk ditumbuh halus, diayak halus dengan kalo menjadi tepung.

Tepung ketan diberi air daun suji yang memunculkan warna hijau pastel, lalu dibuat adonan, diaduk-aduk, ditekan-tekan sampai bercampur rata dan padu, menjadi adonan yang mudah dibentuk. Agar tidak lengket, telapak tangan dan daun yang sudah dipotong sesuai ukuran untuk bungkus bugis, diolesi minyak kelapa. Tidak lengket saat pembuatan, juga tidak lengket nanti setelah matang.

Adonan itu lalu dipotong-potong kecil seukuran satu ruas jempol kaki, lalu dipipihkan sampai melebar di atas daun pisang yang sudah diolesi minyak kelapa. Di atas adonan pipih tadi disimpan entén satu sendok, lalu adonan ditutupkan kembali hingga tidak ada entén yang terlihat. Entén itu kelapa parud yang dicampur gula merah atau gula kawung, lalu dipanaskan di atas tungku sampai menyatu, warnanya berubah menjadi merah kecoklatan.

Setelah itu, daun pisangnya dibungkuskan, lalu dikukus sampai matang. Bila mengolesi minyaknya cukup dan merata, tak akan ada sedikit pun bugis yang menempel di daun saat dimakan.

Olahan beras ketan lainnya adalah agreng. Namun, rasanya Ema tak pernah membuatnya, karena ada yang berjualan keliling kampung, dengan rasa yang enak. Ada satu lagi olahan dari beras ketan yang hanya dibuat kalau bulan puasa, yaitu calangaren. Sepanjang satu bulan puasa, hanya beberapa kali saja Ema membuat calangaren.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//