• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (49): Ketika Anak-anak Sekampung Keranjingan Mendorong Pelek Sepeda

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (49): Ketika Anak-anak Sekampung Keranjingan Mendorong Pelek Sepeda

Kami merasa aneh dan melihat dengan keheranan: bagaimana pelek sepeda yang didorong dengan bilah bambu dapat menggelinding seimbang?

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Tidak diketahui dengan jelas siapa yang memulai permainan mendorong pelek sepeda dengan bilah bambu. Tiba-tiba anak-anak sekampung demam mendorong pelek sepeda. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

9 Maret 2022


BandungBergerak.id - Film koboy sudah mulai diputar. Anak-anak duduk di atas rumput di Alun-alun Pameungpeuk, di antara penonton dewasa yang berbaur. Terdengar teriakan menyuruh duduk bila penonton di depan masih ada yang berdiri. Penonton sudah kesal, karena terlalu lama menunggu film diputar. Anak-anak sudah menunggu di alun-alun setelah isa.

Sebelum film diputar, anak-anak senang berkerumun di dekat kendaraan warna putih, dengan lampu-lampu yang terang. Malam ini, yang memutar film adalah perusahaan jamu. Di dalam mobil, ada jamu berdus-dus banyaknya, dengan beberapa orang katai yang berjoged di atas kendaraan itu diiringi lagu-lagu Melayu. Ada juga beberapa orang katai yang berjoged di bawah sambil memperlihatkan bungkus jamu kepada penonton yang lain.

Bila perlu penambahan penerangan, perusahaan jamu itu memasang lampu petromaks yang digantung di tiang bambu. Anak-anak berkerumun bergantian untuk melihat wajah sendiri di tangki minyak tanah petromaks. Wajahnya menjadi melebar ke pinggir. Mulut menjadi lebar sekali. Anak-anak tersenyum sendiri. Tapi tak bisa berlama-lama, karena kain sarung yang dibelitkan sudah ditarik dari belakang oleh yang ingin segera melihat wajahnya sendiri.

Perusahaan jamu ini baik, tidak menjadikan bungkus jamu sebagai tiket. Pernah, ada film yang diputar dengan mengharuskan mereka yang mau menonton membawa bukus rokok yang ditentukan. Seharian anak-anak mencari bungkus rokok ke alun-alun, ke depan toko Si Otong, sampai ke tempat pembuangan sampah di pinggir Ci Palebuh.

Angin malam mulai terasa dingin. Di dalam belitan sarung, badan menjadi hangat. Bila dinginnya masih dapat ditahan, sarung dibelitkan sampai pundak, baru bagian depannya dilipatkan di dada, dipegang agar tidak lepas.

Kalau angin bertiup semakin dingin, sarung dinaikkan sampai kepala, hanya wajah saja yang terlihat. Ke bawahnya, tidak seluruh kaki dapat tertutupi sarung, paling hanya menutupi sampai lutut atau paling bawah sampai betis. Kalau ada nyamuk menggigit betis, kemudian menjadi gatal, sementara film koboy sedang ramai, sedang saling tembak dari atas kuda, cukup digosok-gogok dengan sisi atas kaki. 

Pada tengah malam, film baru berakhir. Kalau yang dipertunjukkan filmnya koboy atau film perang, penonton pasti puas, dan pulang ke rumah dengan sukacita. Dalam parjalanan pulang, anak-anak masih terkesan dengan lakon yang baru ditontonnya. Mereka masih memperbincangkan jagoannya, yang menembak dengan dua pistol, dan semua musuhnya terbaring kaku di atas tanah dengan debu yang mengembang.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (48): Suasana Mulai Tidak Nyaman, Rumah Ajengan Dilempari Batu, Mereka Disumpah Masuk Partai di Alun-alun
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (47): Doa dan Harapan Anak-anak saat Bermain dan Menjelang Tidur
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (46): Mandi tanpa Sabun, Gosok Gigi dengan Pucuk Ilalang

Mendorong Pelek Sepeda

Pagi hari, anak-anak sudah berkumpul di pos ronda, dan masih menceritakan film koboy yang tadi malam ditonton. Saat ramai berbincang, seorang anak datang sambil mendorong pelek sepeda tanpa jari-jari dengan bilah bambu. Kami merasa aneh dan melihat dengan keheranan: bagaimana pelek sepeda yang didorong dengan bilah bambu selebar dua jari dengan panjang dua jengkal, dapat menggelinding seimbang?

Anak itu menjinjing pelek sepeda yang lingkarannya setinggi dada, lalu bergabung dengan kami. Dengan seketika obrolan tentang cerita film beralih ke pelek sepeda. Satu per satu anak-anak mencoba mendorong pelek sepeda dengan bilah bambu. Ada yang langsung lancar, ada juga yang perlu beberapa kali lagi berlatih.

Anak yang membawa pelek sepeda itu menceritakan, pelek sepeda bekasnya ia temukan di pinggir jalan dekat tempat pembuangan sampah. Entah meniru siapa, kemudian pelek sepeda itu ia dorong dengan sebilah bambu, dan dapat menggelinding seimbang.

Siangnya, ada beberapa orang yang sudah mendorong pelek sepeda, dan ada beberapa orang anak yang tidak bergabung bermain bersama kami. Besok pagi, ia sudah datang sambil mendorong pelek sepeda dengan bilah bambu. Ia bercerita, kemarin siang sampai petang mencari pelek sepeda.

Setelah satu pelek ditemukan, anak-anak lainnya menemukan juga pelek bekas. Satu orang mendapatkannya di bengkel sepeda di Kaum, yang lain di Cigodeg, di Paas, di Padengdeng, di Nangoh, di Cikoneng, dan di tempat lainnya yang lumayan jauh.

Beberapa orang anak berkelompok mendorong pelek sepeda ke mana-mana. Pelek bekas itu digelindingkan, lalu bilah bambu diletakkan di pelek bagian tengah yang cekung. Pelek sepeda didorong sambil berlari kecil di jalan berbatu, bahkan di pematang sawah.

Pelek itu terus didorong ke mana-mana. Anak-anak di kampung kami benar-benar sedang keranjingan mendorong pelek sepeda.

Ada juga anak yang sedang mencari pelek sepeda, tapi tak memperolehnya. Sangat mungkin pelek sepeda bekas itu sudah habis. Sampai tahun 1966, pemakai sepeda di kampung kami hanya beberapa puluh orang saja.

Sekali waktu, ada anak yang menemukan besi bundar dengan garis tengah sekitar 40 sentimeter, dengan ukuran besinya sebesar telunjuk. Alat pendorongnya berbeda dengan pendorong pelek sepeda yang hanya bilah bambu. Bentuk pendorongnya menyerupai uruf U yang dibuat dari jari-jari sepeda, lalu jari-jari sisanya yang panjang disambungkan ke kayu pegangan.

Agar lingkaran besi itu dapat berjalan seimbang, maka harus didorong sambil berjalan cepat atau berlari kecil. Perlu berlatih sebentar, setelah itu anak-anak keranjingan mendorong-dorong besi bundar. Jumlahnya tidak sebanyak pelek sepeda, dan mendorongnya sedikit lebih sulit daripada mendorong pelek sepeda.

Begitulah kehidupan masa kecil di kampung. Selalu ada hal yang dapat dijadikan mainan. Mendorong pelek bekas dan mendorong besi bundar sudah membuat anak-anak keasyikan.

Pada tahun 1966, di kampung kami belum ada sepeda motor, apalagi mobil pribadi. Ada juga satu motor pit, tiga truk milik Si Ugin, dan Jeep Komando Pemberantasan Malaria (KOPEM). Jadi bermain di jalur jalan satu-satunya yang diaspal itu tidak membuat khawatir akan mengganggu pengguna jalan yang lain. Di jalan aspal, mendorong pelek dan besi bundar lebih menggelinding lancar.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//