Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (48): Suasana Mulai Tidak Nyaman, Rumah Ajengan Dilempari Batu, Mereka Disumpah Masuk Partai di Alun-alun
Dalam gelap malam, para Ajengan dibawa ke Alun-alun Pemeungpeuk, disumpah menjadi anggota dan memilih partai yang akan dibentuk. Anak-anak menyaksikan dari kejauhan.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
2 Maret 2022
BandungBergerak.id - Lewat asar, setelah selesai bekerja di sawah atau ladang, para pemuda di kampung kami dikumpulkan di Alun-alun Pemeungpeuk. Setiap sepuluh orang pemuda dipimpin oleh seorang ketua regu. Para pemuda dilatih baris-berbaris dengan membawa sepotong tongkat bambu. Setiap sore, baris-berbaris dipimpin langsung oleh pembinanya, seorang anggota tentara, Kopral E, yang berkantor di daerah Paas.
Para pemuda sangat bersemangat berlatih baris-berbaris karena oleh pembinanya mereka dijanjikan dapat langsung menjadi anggota tentara bila pendaftaran dibuka nanti. Satu dari banyak pemuda yang saya kenal dan yang paling bersemangat adalah Kang Y, yang mengontrak rumah di sebelah barat rumah Mok Maah.
Mok Maah mempunyai putra, seorang pemuda, sehingga kawan-kawannya menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpul, siang dan malam. Bahkan menjadi markas para pemuda. Mereka menginap di sana, dan setiap sore bermain musik di tepas, ruang tamu, yang jendelanya terbuka tak berkaca.
Di pos ronda, anak-anak menirukan nyanyian yang dibawakan oleh para pemuda, “Buat apa partai… buat apa partai… Partai itu tak ada gunanya….”
Kang Y inilah yang merasa yakin akan menjadi anggota tentara. Rambutnya pun sudah dipotong cepak. Kalau dia lewat, anak-anak semakin bersemangat bernyanyi. Terlihat dia sangat puas, sambil mengepalkan tagannya, dia berjalan bergegas ke arah alun-alun.
Rumah Mok Maah yang biasanya selalu ramai mulai sore sampai malam, kini mulai sepi. Para pemuda sudah tak berkumpul lagi di sana. Setelah baris-berbaris, mereka langsung pulang ke rumahnya masing-masing. Mungkin karena lelah, karena latihan itu dilakukan sehabis bekerja dari sawah dan kebun.
Setelah terlatih dalam baris-berbaris, mereka berbaris keliling kampung. Dari alun-alun, mereka berbaris ke arah Cikoneng, lalu berbelok ke arah Pasampeu, bersambung dengan jalan aspal di Nangoh. Dari sana, barisan itu berbelok ke arah timur menuju alun-alun, lalu mereka membubarkan diri.
Saya pernah melihat ibu-ibu dari berbagai kampung dikumpulkan di sekolah kami. Anak-anak mengikuti ibu-ibu dari Kampung Kaum Kaler yang bergegas memasuki ruang kelas tempat kami belajar. Anak-anak sempat melihat-lihat ke bagian dalam kelas, namun pintu yang tinggi itu segera ditutup rapat. Kami berlari-lari di halaman sekolah yang luas, dan melihat-lihat miniatur Kepulauan Indonesia.
Anak-anak yang sedang bermain bola dalam sekejap sudah berhamburan, berlari ke arah datangnya suara. Itu suara drumband dari jalan raya. Ternyata bukan hanya iring-ringan penabuh drumband, tapi ada pawai yang sangat panjang. Umbul-umbul warna-warni tertiup angin, pembawa bendera merah putih satu kelompok, di belakangnya iring-iringan yang membawa bendera kuning. Panjang sekali. Kain rentang dengan beragam tulisan, tapi yang selalu ada adalah gambar harimau Siliwangi dan gambar beringin.
Anak-anak berjalan bergegas di pinggir jalan mengikuti pawai dengan beragam atraksi. Semua peserta pawai berakhir di alun-alun. Ada upacara di sana. Setiap kali seorang selesai berbicara di panggung di sudut alun-alun sebelah timur laut, peserta upacara membalasnya dengan suara yang tak kalah kerasnya sehingga bergemuruh. Ada tiga atau empat orang yang naik panggung, dengan gayanya yang sama, yang mengawali pidatonya dengan mengajak peserta upacara untuk ikut mengepalkan tangan sambil berteriak.
Suasana petang di kampung kami menjadi sepi. Tak ada yang berkumpul di rumah Mok Maah, padahal pada bulan-bulan sebelumnya, setiap petang, beragam permainan para pemuda berlangsung di sana. Ada yang bermusik, bermain kartu cangkulan, atau bermain kartu 41-an.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (47): Doa dan Harapan Anak-anak saat Bermain dan Menjelang Tidur
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (46): Mandi tanpa Sabun, Gosok Gigi dengan Pucuk Ilalang
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (45): Bakecrot, kalau Digigit, Gula di dalamnya Muncrat!
Disumpah di Alun-alun
Sampailah pada suatu malam setelah isya, terdengar teriakan-teriakan yang bersahut-sahutan di daerah Kaum, menyuruh penghuninya agar segera ke luar. Di kampung kami sedikitnya ada empat atau lima ajengan yang sangat berwibawa karena ilmu agama dan perilakunya yang mengayomi masyarakat. Mereka para ajengan yang sangat dihormati itu tiba-tiba diteriaki, disuruh ke luar. Bahkan suara batu sekepal terdengar berjatuhan di atas genting rumahnya.
Dalam gelap malam, Ajengan dari Kaum, dari Kaum Kidul, dari Padengdeng, dan entah Ajengan dari mana lagi, semuanya dibawa ke Alun-alun Pemeungpeuk, lalu disumpah untuk menjadi anggota dan memilih partai yang akan dibentuk kemudian. Anak-anak ikut melihat dari kejauhan, dari halaman Kaum, meski sesungguhnya tak terlihat apa-apa. Hanya kadang terdengar teriakan-teriakan yang bergemuruh.
Ada orang tua yang memberikan isyarat agar anak-anak segera pulang. Kami pun segera beriringan pulang ke rumah masing-masing, melewati Batu Pameungpeuk yang kami percayai ada penghuninya sehingga menakutkan bagi anak-anak.
Keesokannya, suasana benar-benar tidak nyaman. Terlihat para pemuda dan para orang tua yang berjalan ke Ci Palebuh untuk mandi pagi, tanpa suara. Tak mengobrol dan tak saling sapa. Tak seperti biasanya.
Anak-anak yang biasanya ikut bergerombol di rumah Mok Maah untuk mendengarkan musik atau bermain kartu, sore ini hanya berkumpul di pos ronda sambil tiduran. Para pemuda tak terlihat berlatih baris-berbaris lagi, dan di alun-alun benar-benar tak ada orang. Sepi.