• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (46): Mandi tanpa Sabun, Gosok Gigi dengan Pucuk Ilalang

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (46): Mandi tanpa Sabun, Gosok Gigi dengan Pucuk Ilalang

Anak-anak di kampung tidak memiliki sikat gigi sendiri. Meniru apa yang dilakukan oleh orang tua, mereka menggosok-gosokkan gulungan pucuk ilalang ke gigi.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Arang kayu dari tungku yang dihaluskan sering digunakan warga kampung untuk menggosok gigi. Bahan lainnya yang adalah pucuk ilalalng. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

16 Februari 2022


BandungBergerak.id - Ci Palebuh, sungai yang jadi tempat segalanya bagi anak-anak di kampung kami. Tempat bermain, tempat mandi, dan tempat memancing.

Bagi anak-anak, mandi itu asal menyebur ke sungai. Kami bisa berjam-jam berada di sungai. Tak merasa bosan, karena beragam permainan terus silih berganti. Kulit kami, kalau sudah berada di dalam air, terlihat dan terasa seperti kulit lumba-lumba. Hitam licin berkilau.

Ada permainan persiden-persidenan. Di pinggir Leuwi Kuning, ada tebing tegak dari batu padas, sehingga lebih mudah untuk dibentuk. Entah siapa yang membuatnya, seingat saya, di tebing itu sudah ada bagian yang lebih dalam 40 sentimeter, tingginya 1,5 meter, dan lebarnya 40 sentimeter. Di tempat itulah akan berdiri seorang presiden. Tidak ada yang mengangkatnya.

Tiba-tiba saja ia berdiri di sana, seolah itu sebagai singgasananya. Lalu dia berteriak, “pepersidenan, euy!” “presiden-presidenan, euy!” sebagai pernyataan, bahwa ia yang menjadi presidennya.

Anak-anak langsung berenang ke arahnya. Tak ada yang mempertanyakan mengapa dia yang menjadi presiden yang pertama. Semua anak berusaha untuk menurunkannya. Ada yang berusaha memegang pergelangan kakinya, lalu menariknya dengan sekuat tenaga. Ada yang naik ke sisi kiri dan sisi kanannya, lalu berusaha mendorongnya dengan kuat agar ia bisa terjatuh ke air. Yang didorong berusaha menepis dorongan, dan bila kuat, ia balik mendorong hingga teman-temannya tercebur.

Ketika dari samping ia terus didorong, dan dari bawah kakinya ditarik, akhirnya jatuh juga sang presiden, dan akan segera diganti oleh siapa saja yang paling cepat menduduki ‘singgasana’. Begitu terus berulang, dan permainan berganti dengan yang lain.  

Umumnya anak-anak sudah menganggap, itulah mandi. Bisa berjam-jam berenang, dan sehari bisa dua kali berenang. Pertama pukul 09.00 sampai pukul 11.30, dan nanti sekitar pukul 15.00 sampai pukul 16.00. Namun, ketika kami bermain sampai menjelang magrib, mandi sore hari menjadi terlupakan.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (45): Bakecrot, kalau Digigit, Gula di dalamnya Muncrat!
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (44): Tiga Jenis Binatang yang Dipercaya Anak-anak Sangat Berbahaya
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (43): Mang Sahri bagai Tupai, Berpindah dari Satu Pelepah Kelapa ke Pelepah Kelapa Lain

Sikat Gigi dari Ilalang

Sabun mandi, sikat gigi, dan pasta gigi pada tahun 1966-an masih terbilang langka. Hanya orang tua saja yang memakainya. Tapi, orangtua pun, masih ada yang membiarkan giginya tak pernah dibersihkan, tak pernah digosok, sehingga giginya nampak bukan lagi kuning, tapi sudah ada bercak-bercak hijau, seperti dalam pelat tembaga.

Anak-anak membersihkan gigi sekali dalam sehari pun itu sudah untung. Terutama pagi-pagi pada saat akan sekolah, atau pada saat siang bila waktu sekolah mulai setelah zuhur.

Saat itu, anak-anak tak memiliki sikat gigi sendiri. Untuk kepentingan itu, anak-anak meniru para orang tua yang akan membersihkan gigi. Beberapa lembar pucuk ilalang dipetik, lalu ilalang yang panjangnya sejengkal lebih itu dibuang tulang. Pucuk ilalang itu ditekan, digosok-gosok, diputar-putar di kedua telapak tangan, sampai menggulung, membentuk serat-serat yang kecil.

Gulungan pucuk ilalang itulah yang digosok-gosokkan ke gigi, mulai dari depan hingga ke belakang. Bagian dalam gigi dan sela-selanya, tak dapat dibersihkan dengan cara ini. Tapi lumayan, gigi depan bersih, tidak sampai kuning seperti daging buah campolay.

Arang Kayu, Odol, dan Sampo

Saat kami berenang, terlihat ada pemuda yang sedang menghaluskan arang kayu yang dibawa dari tungku di rumahnya. Arang itu digilas-gilasnya dengan batu sekepal di atas batu besar sampai menjadi halus. Dicoleknya arang kayu yang sudah halus itu, kemudian digosokkan ke giginya. Terlihat gigi dan bibirnya menjadi hitam.

Para orang tua mandinya sudah lebih tertib. Ketika akan mandi mereka membawa sikat gigi, odol (pasta gigi), dan sabun mandi, yang dimasukkan ke dalam kaleng bekas yang dasarnya diberi lubang agar air tidak tergenang. Gantungannya dibuat sendiri dari kawat.

Cangkang odolnya terbuat dari alumunium tipis. Odol dipijat sedikit-sedikit, lalu dari ujungnya diurut-urut agar tidak ada odol yang tersisa. Bagian paling ujung dari cangkang alumuniumnya yang sudah tak menyisakan odol, dilipat, lalu digulung sesuai pemakaian pasta gigi. Makin lama, semakin sering digunakan, semakin pendek tubenya.

Saat itu kaleng bekas yang masih baru laku dijual. Bila ada yang baru pulang dari Garut atau Bandung, tak sedikit yang membawa kaleng bekas susu, bekas kaleng mentega, atau kaleng bekas lainnya.

Membersihkan rambut? Rasanya tak pernah sengaja dibersihkan. Sebelum ada sampo, banyak dilakukan oleh ibu-ibu, keramasnya memakai merang padi yang dibakar. Setelah terbakar rata, menjadi hitam semua, dimasukkan ke aseupan, kukusan, yang berfungsi sebagai saringan. Air arang merang padi itulah yang diguyurkan ke rambut sambil digosok-gosok.

Ada juga yang memakai tanah liat berwarna putih tulang. Tapi jarang dilakukan. Hanya oleh beberapa orang saja yang saya pernah lihat.

Sampai akhir tahun 1960-an, di kampung kami belum ada sampo. Baru akhir tahun 1970 dan awal tahun 1971, sampo Sunsilk iklannya terdengar di radio. Mulai tahun itulah sampah plastik di Ci Palebuh mulai terlihat. Siswa SMP yang mulai cari perhatian lawan jenisnya, mulai sering keramas, bahkan ada teman yang menggosokkan sampo ke mukanya. Kata-kata dalam iklan itu, “Tiada kemilau seindah Sunsilk”.

Umumnya masyarakat mandi dan mencuci langsung di sungai, atau di pancuran di atas kolam. Tapi ada juga yang di rumahnya mempunyai sumur sendiri. Ada yang tertutup, seperti di rumah Bu Guru. Tetangga tak bisa ikut mengambil air dan ikut mandi, karena sumurnya berada di dalam rumah.

Namun ada juga yang mempunyai sumur, tapi terbuka untuk digunakan oleh siapa saja. Sumur dan tempat mandinya berada di samping belakang rumahnya, seperti sumur punya Mang Deded. Saya sering ikut mandi di sana, kalau Ema mewajibkan mandi sebelum makan. Untuk mencebur di sungai sudah tak berani karena takut ada ular. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//