Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (43): Mang Sahri bagai Tupai, Berpindah dari Satu Pelepah Kelapa ke Pelepah Kelapa Lain
Bagai tupai, Mang Sahri meniti pelepah kelapa yang satu, kemudian berpindah ke pelapah pohon kelapa yang ada di sebelahnya. Tinggi pohon-pohon kepala itu 15 meter.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
26 Januari 2022
BandungBergerak.id - Tidak ada warga kampung kami yang berani memanjat pohon juar yang ada di lingkungan Batu Pameungpeuk. Pohon juar itu besar dan rindang, sehingga di sekitarnya menjadi tempat yang teduh.
Batu Pameungpeuk itu sehimpunan batu-batu besar. Warga di sana tak ada yang berani mengganggunya. Apalagi merusaknya. Anak-anak merasa takut kalau melewati batu itu, apalagi untuk mendekat. Setiap kali pulang dari alun-alun, apalagi kalau malam setelah menonon film atau wayang, saya selalu menunggu yang lain untuk pulang bersama-sama, dipilih yang rumahnya lebih jauh dari rumah Abah, agar sampai rumah masih ada yang menemani.
Batu Pemeungpeuk itu berada di sebelah selatan jalan. Tanpa ada yang memerintah, kami selalu berjalan di sisi utara jalan. Anak-anak tak ada yang berani berjalan dekat batu itu. Pernah tersiar kabar, ada yang menggoyang-goyang salah satu batu yang ada di sana, sesampainya di rumah, badannya menjadi panas, dan tak bisa kencing.
Menurut cerita orang tua di pos ronda, kadang ada yang bercerita, sambil memandang Ci Palebuh yang ada di depannya. Dia menunjuk-nunjuk arah aliran sungai itu, sampai akhirnya menunjuk Batu Pameungpeuk. Anak-anak mengangguk-angguk.
Pada masa lalu, sungai ini mengalir ke arah barat, bermuara di Pantai Cilauteureun. Himpunan batu-batu besar ini belum ada, karena masih berupa tengah-tengah aliran sungai tersebut. Setelah adanya guntur laut mahadahsyat, banjir besar yang menghanyutkan beberapa perkampungan, aliran sungai ini berubah, seperti keadaannya saat ini. Batu-batu itu yang menuntup aliran sungai, dan membelokkan alirannya. Karena batu yang meungpeuk, yang menutup aliran sungai itulah maka batu itu dinamai Batu Pameungpeuk, dan wilayah yang semula bernama Nagara itu berganti nama menjadi Pameungpeuk.
Ketika semua warga tak ada yang berani memasuki kawasan Batu Pameungpeuk, siang itu datang seorang warga yang sangat berani di mata anak-anak, namanya Mang Sahri. Perawakannya kecil dan sudah agak sepuh. Malah ia terlihat lemas kalau sedang berkegiatan. Namun Mang Sahri tanpa takut memanjat pohon juar yang ada di Batu Pameungpeuk.
Dengan perasaan tak menentu dan tegang, anak-anak menyaksikan Mang Sahri yang sedang memotong-motong dahan juar yang sudah kering. Agar tidak menimpa rumah di sekitarnya, dahan yang dipotong itu diikat dengan tambang. Sampai selesai menebang dahan juar, tak ada kecelakaan, dan Mang Sahri pun turun dengan selamat. Keesokan harinya anak-anak masih menanti kabar, apakah Mang Sahri susah kencing atau tidak. Ternyata tidak!
Anak-anak semakin terkagum-kagum saat Mang Sahri memanjat pohon kelapa. Bila ada juragan atau ajengan yang meminta bantuan untuk mengambilkan kelapa yang sudah matang, Mang Sahri dengan sigap menyanggupinya.
Bila ada lima atau enam pohon kelapa yang berjajar, tingginya rata-rata 15 meter, dan pelepah kelapanya saling terhubung, Mang Sahri tak pernah turun dari pohon. Bagai tupai kelapa, ia meniti pelepah kelapa yang satu, kemudian dengan ringan dia melangkah dan berpindah ke pelapah pohon kelapa yang ada di sebelahnya. Dari ujung pelepah ke ujung pelepah lainnya yang dengan ringan diayun-ayunkan angin di ketinggian.
Anak-anak benafas lega ketika Mang Sahri sudah berada di pangkal atas pohon kelapa, dan dengan mudah ia memotong tangkai kelapa yang sudah tua, yang kulitnya sudah menguning kecoklatan. Bunyi kelapa beruntun berjatuhan dari ketinggian. Di pohon yang terakhir, barulah Mang Sahri turun dengan ringan. Telapak tangan dan telapak kakinya seperti lengket menempel di pohon kelapa yang kasar.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (42): Kehebatan Upas Adi, dari Menangkap Pencuri hingga Menghalau Gerombolan
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (41): Nyaba ke Bandung, Jam Enam Pagi Sudah Jajan Es Serut Tape Singkong
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (40): Membuat Pisau dari Paku Besar
Bekaas Aliran Sungai Menjadi Kampung
Pada saat kami kecil, aliran Ci Palebuh itu terbagi dua. Di tengahnya ada pulau kecil, kami menyebutnya sarakan. Aliran yang barat, dibelokkannya membentuk leuwi, lubur yang dalam. Di sekeliling sarakan ini, bebatuannya besar dan kecil. Di tengahnya bebatuan itu sudah ditutupi pasir halus dan tanah, yang mengendap setiap terjadi banjir.
Di sekeliling sarakan banyak ditumbuhi cucukgarut. Perdu setinggi 2 meter, yang batang-batangnya berduri. Sarakan sisi selatan, pantainya berupa pasir halus. Di sanalah tempat kami mengaso kalau sudah capai berenang, sambil membuat telur penyu yang akan diadu. Siapa yang kuat, tidak pecah telur penyu-nya, dialah yang menjadi pemenangnya. Bila kulit punggung sudah terasa panas menyengat, kami segera berlari dan meluncur ke leuwi sambil menyelam. Begitulah yang kami lakukan.
Bila musim kemarau sudah datang, kadang sarakan ini dijadikan kebun mentimun oleh warga. Anak-anak membuat saung-saungan tak jauh dari tempat kami berenang. Ketika kami lapar pada tengah hari yang panas, mentimun yang masih sebesar ibu jari itu kami petik diam-diam.
Di musim kemarau, aliran Ci Palebuh mulai berbelok alirannya, semakin besar ke aliran yang ada di sebelah timur sarakan. Karena aliran sungainya berbelok ke arah timur, maka aliran yang ke arah barat sarakan sedikit mengering.
Mang Sahri adalah orang yang pertama berinisiatif membenteng aliran sungai yang sedang mengering itu. Ia hanya membenteng selebar tanah miliknya yang berada di pinggir sungai tersebut, sepanjang tiga perempat lebar sungai. Ia masih membiarkan ada aliran sungai di luar bentengnya. Setiap hari, ia mengumpulkan batu-batu sebesar kepala, lalu menyusunnya, menjadi benteng selabar 60 sentimeter, sehingga tidak mudah roboh. Sesekali dihantam banjir, sebagian kecil bentengnya ada yang rontok, tapi esoknya segera dibangun kembali. Batu-batu yang lepas ditumpukkan lagi.
Kini, bekas aliran sungai itu, juga sarakan tempat kami bermain, sudah berganti wajah menjadi kawasan permukiman yang tersambung sampai ke Bojongmongkong. Karena warga di sana semula berasal dari daerah Kaum, baik Kaum Kidul, Kaum Tengah, maupun Kaum Kaler, dan karena kawasannya sedikit berada lebih rendah dari daerah asalnya, permukiman itu dinamai Kaum Lebak.