• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (41): Nyaba ke Bandung, Jam Enam Pagi Sudah Jajan Es Serut Tape Singkong

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (41): Nyaba ke Bandung, Jam Enam Pagi Sudah Jajan Es Serut Tape Singkong

Opak ketan buatan Ema jadi oleh-oleh wajib setiap kali nyaba ke Bandung. Di Kota Kembang, es serut tape singkong di depan asrama tentara jadi langganan tiap pagi.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Opak ketan yang dipanggang saat menanak nasi merupakan oleh-oleh wajib untuk dibawa saat nyaba ke Bandung. (Foto: T. Bachtiar)

12 Januari 2022


BandungBergerak.idDi dapur, sudah berkumpul beberapa orang saudara. Pastilah itu uwa, kakaknya Ema yang bernama Wa Euceu dan putrinya, Ceuk Enda. Hari ini Ema akan membuat opak dari beras ketan. Beberapa hari yang lalu Ema sudah memilih padi ketan agar tidak tercampuri dengan padi. Setelah bersih, hanya ketan saja, Ema menumbuknya di lesung di samping rumah.

Ema sedang mengarih beras ketan. Terlihat Ceuk Enda memarud kelapa, kemudian dibuat santan kental, yang akan dicampurkan ke dalam nasi ketan yang sedang diaduk dengan pengarih yang dibuat dari kayu berukuran besar dan panjang. Setelah mekar, nasi ketan dimasukkan kembali ke dalam aseupan, kukusan, untuk dimatangkan di atas seeng, dandang yang terus dipanaskan di atas hawu, tungku, dengan nyala api yang tidak pernah padam.

Setelah matang, nasi ketan langsung dimasukkan ke dalam jubleg, lumpang dengan ukuran yang lebih besar. Ceuk Enda-lah yang bertugas menumbuk nasi ketan itu, karena tenaganya masih kuat. Makin ditumbuk, nasi ketan semakin halus, dan semakin lengket, sehingga ketika alu ditarik ke atas, daya lengketnya sangat kuat.   

Bila sudah halus, namanya bagenyel, tumbukan nasi ketan diangkat, dan diserahkan kepada Ema untuk kemudian diletakkan di atas jojodog, dingklik yang dialasi daun pisang yang sudah didiang, agar daun pisangnya tidak mudah sobek. Daun pisang itu diolesi dengan minyak keletik, minyak kelapa buatan sendiri, agar tidak lengket sehingga bagenyel mudah dibentuk.

Oleh Ema, bagenyel dipotong-potong di atas jojodog, bangku kecil dan pendek, tempat duduk di dapur, yang dibuat dari kayu. Bagian atas jojodog sudah dialasi daun pisang yang diolesi minyak. Bagenyel itu dibagi-bagi, dijadikan bulatan-bulan sebesar kemiri.

Bagenyel yang sudah dibentuk menjadi bulatan-bulatan itu disodorkan kepada Wa Euceu untuk dileak, dibuat lebih pipih dengan bentuk membulat. Ketebalan opaknya sekitar 2 milimeter, sehingga saat dipanggang nanti, opaknya menjadi mengembung.

Ema sudah mengolesi ayakan besar dengan minyak keletik agar opaknya tidak lengket ke ayakan. Ayakan itu perkakas yang semula dirancang untuk mengayak, namun fungsinya berubah setelah dibuat ayakan berdiameter 2 meter yang digunakan untuk menjemur opak yang baru dibentuk. Diam-diam saya sering mengambil opak yang masih lunak dari atas ayakan, lalu memakannya sambil bermain berlarian.

Di terik matahari Pameungpeuk, Garut, menjemur opak ketan cukup sehari saja langsung kering. Sambil mempertanak nasi, Ema memanggang opak dengan jepitan bilah bambu selebar telunjuk sepanjang 40 sentimeter. Ujung bambu itu dibelah dua sepanjang 8 sentimeter, untuk menghimpit opak agar mudah dibolak-balik saat dipanggang. Opaknya mengembung saat dipanggang, setelah matang, terlihat bersih, kuning kecoklatan.

Opak ketan yang sudah dipanggang inilah yang akan dijadikan oleh-oleh saat kami nyaba, pergi ke Bandung nanti. Selain opak, Ema juga sudah membuat ranginang. Bahan dasar opak dan ranginan itu sama, yaitu beras ketan yang dimasak. Bedanya, kalau untuk opak ditambahkan santan, sedangkan untuk ranginang ditambahkan terasi yang sudah dipanggang matang saat mengarih. Nasi ketan yang sudah matang tidak ditumbuk seperti membuat opak, tapi dibentuk membundar, dengan diameter antara 5-6 sentimeter. Tapi jangan terlalu dipadatkan saat membentuknya, agar ada ruang bagi setiap butiran nasi ketan, sehingga dapat mengembang mekar saat digoreng.

Opak yang sudah dipanggang matang, dan ranginang yang sudah digoreng, dimasukkan ke dalam blek yang berbeda. Blek bekas wadah biskuit berbentuk segi empat dan berpenutup, yang dibuat dari seng, dibeli di toko Si Otong dekat alun-alun. Blek ini sangat berguna untuk menyimpan makanan kering dengan aman, tidak menjadi hancur terkena guncangan saat dalam perjalanan nyaba ke Bandung.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (40): Membuat Pisau dari Paku Besar
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (39): Suasana Kelas Saat Pak Guru Sakit
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (38): Anak Ayam Hadiah dari Bi Oneng

Jajan Es Serut

Sudah tiga hari kami nyaba di Bandung. Pada hari ketiga ini saya sudah mengenali apa yang ada di sekitar rumah. Di sebelah timur rumah, misalnya, terdapat asrama tentara yang bangunan-bangunannya memanjang dari utara ke selatan.

Di depan asrama itu ada beberapa orang yang sedang menyerut es balok. Alat serutnya diletakkan di bawah, ditahan oleh wadah berbentuk selinder yang terbuat dari kaleng. Serutan es berjatuhan ke dalam wadah tersebut. Satu balok es batu sudah selesai diserut. Kemudian, ke atas serutan es yang menggunung itu dimasukkan pewarna merah, aroma, dan gula pasir, lalu diaduk dengan kayu yang dibentuk seperti dayung. Serutan es terus diaduk sampai warna merahnya berubah menjadi merah jambu, dan gulanya teraduk merata.

Di pikulan bagian belakang disimpan wadah es berbentuk selinder, sedangkan di pikulan bagian depan dibentuk seperti meja kecil yang rendah. Di meja itulah disimpan kéler beling berisi peuyeum sampeu, tepe singkong, yang sudah dipotong-potong dadu sebesar satu ruas ibu jari orang dewasa. Di sana juga berjajar gelas-gelas kecil untuk wadah esnya. Agar tidak terjatuh, keler beling itu dibatasi dengan rotan kecil.

Di bawah pikulan depan itu, disimpan kaleng persegi berisi air yang ditambahkan ke dalamnya beberapa helai daun bambu, yang digunakan untuk mencuci gelas yang sudah dipakai.   

Di kampung kami saat itu, belum ada yang berjualan es. Melihat es balok diserut sangatlah menarik. Hampir setiap hari saya melihat bagaimana tukang es itu menyerut dan mengaduk-aduk hasil serutannya.

Setiap jam enam pagi, saya sudah datang ke depan asrama tentara itu, dan melihat bagaimana proses es tape itu dibuat. Bila tukang es sudah selesai mengaduk dan menyiapkan tape singkongnya, saya menjadi pembeli pertamanya.

Es tape itu terasa asing bagi saya. Dinginnya tak biasa bagi rongga mulut. Aroma dan warnanya menarik. Di Jalan Gegerkalong Girang, Bandung saat itu, pada jam enam pagi, udara masih dingin dan berkabut. Makan es serut tape singkong sepagi itu menjadi tak terasa terlalu dingin.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//