• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (40): Membuat Pisau dari Paku Besar

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (40): Membuat Pisau dari Paku Besar

Paku tak henti terus ditempa dengan batu besar di pinggir Ci Palebuh sampai gepeng, membentuk pisau selebar 1 sentimeter. Itulah pisau pertama yang saya buat!

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Ikan asin tawes yang digoreng kering kuning kecoklatan, ditambah sambal dan rebus petai, membuat makan sehabis hujan-hujanan kian lahap. (Foto: T. Bachtiar)

5 Januari 2022


BandungBergerak.id - RPKAD, kependekan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, pernah datang ke Pameungpeuk. Walau hanya tinggal beberapa minggu, tapi RPK, begitu anak-anak menyebutnya, meninggalkan kesan yang dalam.

Sehari sebelumnya, sudah sore waktu itu, datang rombongan tentara memakai truk tertutup terpal. Mereka langsung memasang tenda di lahan kosong milik Pak Patih, persis berada di depan rumah. Anak-anak berkerumun melihat dari kejauhan bagaimana tentara memasang tenda besar yang mirip rumah panjang.

Namun, tentara itu sangat singkat berada di lahan kosong tersebut. Keesokan paginya, tenda hijau besar itu sudah dibongkar kembali dan dinaikkan ke dalam truk yang berjajar di sana, lalu pergi entah ke mana.

Pagi harinya, entah kapan datangnya, di Alun-alun Pameungpeuk ada RPK berseragam loreng darah sedang sedang bersenam. Jumlahnya 11 orang. Sangat sedikit bila dibandingkan dengan tentara yang tadi makam membangun tenda. Anak-anak segera berkerumun melihat RPK senam.

Setelah selesai, mereka berlari keliling kampung sambil bernyanyi dengan gembira. Anak-anak tambah senang menyaksikan RPK berolahraga, dan mengikuti berlari sambil menirukan nyanyiannya yang mudah diingat dan sesuai dengan hentakan kaki saat berlari kecil.

Lari…. lari….

Tiap pagi…

Agar sehat…

Tiap hari

Dari hari ke hari, anak-anak selalu berkerumun melihat bagaimana RPK berkegiatan. Saya sendiri belum pernah melihat anggota RPK berlatih melempar pisau. Namun sudah tersebar kabar, bahwa RPK itu jago melempar pisau. Anak-anak menyebutnya jago skip. Bahkan, katanya, burung yang sedang terbang pun dapat dilempar dengan tepat oleh RPK.

Semua yang diceritakan tentang RPK saya percayai sepenuhnya. Wah, saya bertambah tergila-gila dengan cara-cara RPK itu berlatih dan berolahraga. Semua gerakan olahraganya ditiru oleh anak-anak, dan dipraktikkan saat mandi di Ci Palebuh.

Menempa tanpa Rasa Pegal

Rasanya tidak pernah ada perjanjian di antara anak-anak untuk membawa pisau. Tapi pada sore yang sama, secara berbarengan, anak-anak membawa pisau dapur milik ibunya. Kami berjalan menuju sawah di belakang rumah. Di sanalah kami berlatih melempar pisau dapur dengan sasaran batang pisang yang berjajar. Tentu, pisau dapur itu lebih banyak tidak menancap. Seringnya malah pegangannya yang mengenai pohon pisang itu.                                                         

Setelah beberapa hari bermain membawa-bawa pisau dapur punya Ema, saya merasa tidak enak juga dan terasa kurang gagah, tidak seperti RPK. Akhirnya saya bersama anak-anak lain mencari paku besar yang panjangnya sekitar 14 sentimeter. Entah bagaimana, semua anak mendapatkannya.

Di pinggir Ci Palebuh banyak sekali batu-batu besar dan sedang. Di sanalah anak-anak memukul-mukulkan batu ke bagian paku yang sudah ditentukan bagian tajamnya sebelah mana. Paku tak henti terus ditempa sampai gepeng, membentuk pisau selebar 1 sentimeter. Menempa pakunya tanpa dibakar terlebih dahulu seperti yang dilakukan pandai besi di Segleng saat membuat golok. Kali ini paku terus saja ditempa tanpa mengenal pegal.

Yang semula paku besar itu kini sudah menunjukkan wujud sebagai pisau, walau tak menyerupai pisau RPK. Pisau hasil menempa sendiri itu lalu digosok-gosokkan ke batu yang lebih kasar namun datar, lalu diasah agar lebih tajam. Melihat hasil tempaannya, saya puas dengan bentuknya, dan menjadi kebanggan. Itulah pisau pertama yang saya buat.

Pisau dari paku itulah yang dibawa ke mana-mana dan ketajamannya dapat diandalkan. Dapat dengan mudah, pisau itu mengerat mangga, atau sangat rapih saat membelah perut belut atau ikan hasil memancing di Ci Palebuh untuk dikeluarkan ususnya sebelum dibakar. Mengerat bahan makanan pun, pisau itu dapat diandalkan, termasuk mengerat pelepah daun pisang. Hanya dalam satu kali sabetan, pelepah daun pisang itu putus dengan sangat sempurna.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (39): Suasana Kelas Saat Pak Guru Sakit
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (38): Anak Ayam Hadiah dari Bi Oneng
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (37): Kere Ikan Mujair

Hujan-hujanan dan Ikan Asin Tawes

Saya tidak khawatir lagi kalau sedang bermain tiba-tiba hujan, karena dapat dengan mudah memotong pelepah daun pisang. Malah senang sekali dapat hujan-hujanan. Karena payung daun pisang yang lebarnya 40-50 sentimeter itu hanya menutupi kepala, sementara badan dan kaki masih tetap terkena air hujan.

Belum lagi kalau daun pisangnya ada yang robek. Akhirnya anak-anak berlarian dalam hujan, beringan antara empat sampai enam orang. Payung daun pisang disimpan di pinggir jalan. Kami berlari-lari dalam hujan melewati rumah teman-teman sekolah, dengan harapan dia tertarik untuk ikut hujan-hujanan.

Sambil berlari, anak-anak menyanyikan lagu musim hujan ini, dan suaranya sangat dikeraskan kalau berada di depan rumah teman:

Trang-trang koléntrang

si londok paéh nundutan

tikusruk kana durukan

mesat gobang kabuyutan

nyéh prot, nyéh, nyéh prot

si rényéh si kempot.

Sehabis hujan-hujanan, saya merasa capai, haus, dan dingin. Tapi nasi di dapur baru matang sekitar pukul empat sore. Setelah hujan sedikit reda, kami berjalan ke Ci Palebuh untuk membersihkan badan dari lumpur yang terpercik selama berlari. Juga membersihkan baju dari bercak tanah yang menempel.

Setelah gemeletuk, ujung jari semuanya keriput, dan terlihat bibir teman sudah ungu kehitaman, kami segera mengakhiri waktu bermain air di Leuwi Kuning untuk pulang menuju rumah masing-masing.

Tepat, sesampainya di rumah, lauk sudah matang. Wangi sambal yang digoreng tercium dari kejauhan. Goreng jengkol dengan bintik-bintik garam di atasnya terlihat sangat merangsang untuk makan. Goreng ikan asin tawes yang kuning kecoklatan, sudah siap untuk disantap.

Betul saja, makan sehabis hujan-hujanan enak sekali dan ponyo, dengan porsi seperi gunung.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//