• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (38): Anak Ayam Hadiah dari Bi Oneng

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (38): Anak Ayam Hadiah dari Bi Oneng

Anak ayam betina itu saya pelihara dengan sukacita. Kandangnya dibuat dengan memanfaatkan kolong rumah yang diberi pagar penghalang dari anyaman bambu yang rapat.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Peta lokasi Kampung Pasampeu, Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Di kampung inilah, ada talun bambu dan rumah Bi Onéng yang sering kami kunjungi. (Peta: T. Bachtiar)

22 Desember 2021


BandungBergerak.id - Empat atau lima orang anak sudah siap menuju Pasampeu. Di perkampungan itu terdapat talun bambu yang luas, yang rantingnya sangat bagus untuk dibuat bedil-bedilan. Pelurunya buah kanyere atau dari kertas buku yang dihancurkan dan diberi sedikit air, agar bagus suaranya saat ditembakkan. Ada anak yang siap mebawa golok orangtuanya, sehingga saat talinya diikatkan di pinggangnya, panjang golok dengan sarungnya itu melebihi betisnya.

Di depan rumah Abah ada jalan desa yang mengarah timur-barat, melewati Kampung Manisi dan Cikoneng. Pada jarak 300 meter dari rumah, jalan bercabang dua. Jalan yang berbelok ke kanan (utara) menuju ke Pangbarakan, kampung terakhir kalau akan ke kebon Abah di Penclutgede. Dari Pangbarakan, jalan itu menerus ke utara, akan sampai di Centrong, kemudian Bojong, yang jauhnya 6 kilometer dari Alun-alun Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Belokan jalan yang ke kiri (selatan), menuju Kampung Pasampeu. Bila diteruskan akan sampai di Nangoh, di sana ada astana, pemakaman. Di sanalah jalan desa itu berujung di pertigaan jalan raya Pameungpeuk-Teluk Cilauteureun.

Kampung Pasampeu itu sebetulnya sangat dekat. Jaraknya hanya 400 meter saja dari rumah. Sesampainya di talun bambu di Pasampeu, ternyata sudah banyak anak-anak yang tujuannya sama, yakni mengambil ranting bambu yang ukurannya sebesar telunjuk orang dewasa. Bambu Pasampeu ini bagus sekali untuk dibuat bebedilan, bedil-bedilan, karena lantas, satu ruas rantingnya itu panjang, mencapai 30-35 sentimeter.

Ada anak yang cekatan dalam menaiki bambu. Ia amati ranting mana yang bagus, dengan ukuran yang cukup dan ruas bambunya yang lantas. Setelah ada yang terpilih, anak itu segera meniti ranting-ranting kecil sampai di ranting yang dituju. Hanya dalam satu kali tebasan yang menyerong, ranting itu putus, jatuh bertumpuk di tanah. Setelah memotong 4-5 ranting, teman kami itu turun. Setelah daun-daunnya dibersihkan, ranting-ranting bambu itu dibagi. Setiap anak membawa satu ranting bambu yang terdiri dari beberapa ruas.

Membuat Bebedilan

Sesampainya di rumah, ranting bambu disimpan di samping rumah. Saya segera mengambil golok yang terselip di dinding dapur, di dekat tempat menyimpan botol minyak tanah. Ranting bambu itu dibersihkan, lalu dipotong-potong per ruas, menjadi beberapa buluh atau pipa, yang akan menjadi laras bebedilan, tempat peluru itu meluncur.

Untuk tongkat kecil penekan pelurunya, dibuat dari bilah bambu. Bilah bambu pagar yang saya cabut tadi siang sambil pulang. Bilah bambu itu dibagi tiga, lalu diserut dengan rapi dan membundar panjang. Ukuran tongkat kecil itu sedikit lebih kecil dari lubang laras bambunya, dan panjangnya lebih pendek setengah sentimeter dari panjang larasnya.

Pegangan tongkat kecil dibuat dari ujung ruas bambu sepanjang 10 sentimeter. Tongkat kecil itu dimasukkan ke pegangan tadi, lalu dikuatkan, dipasak dengan bambu tipis. Panjang tongkat kecil ini lebih pendek 0,5 sentimeter dibandingkan dengan larasnya.

Pelurunya, kata Ema, pada masa lalu dari buah kanyere. Kalau ditembakkan ke arah kulit yang terbuka akan terasa peureus, nyeri. Karena buah kanyere sudah tidak ada lagi, pelurunya dibuat dari kertas buku tulis yang sudah tidak terpakai. Kertas dibasahi, disobek-sobek beberapa potongan kecil, dicelupkan ke dalam air, lalu diputar-putar di antara telunjuk dan ibu jari bagian dalam, menjadi bulatan keras yang ukurannya masuk ke dalam larasnya.

Karena peluru kertas itu sudah lama dipegang di telapak tangan, sering menjadi kering kembali. Untuk menjaga agar pelurunya tetap dalam kondisi baik, satu sobekan kertas yang cukup untuk satu atau dua peluru, lalu digigit-gigit agar menjadi basah.

Ketika semua anak sudah selesai membuat bebedilan, tanpa ada komando, tanpa ada ajakan, langsung menuju pos ronda, dan berkumpul di sana. Kalau akan perang-perangan, anak-anak dibagi menjadi dua kelompok.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (37): Kere Ikan Mujair
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (36): Gembira Bermain Sarung
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (35): Membuat Benang Gelasan ketika Musim Layang-layang Tib

Memelihara Ayam

Di kampung Pasampeu, tempat kami mencari ranting bamboo, ada bibi, adik Ema, namanya Bi Onéng. Rumahnya menghadap jalan desa, dengan halaman sekelilingnya luas, rimbun oleh aneka pohon dan bambu. Bi Onéng menikah dengan Mang Sahwi, atau para tetangganya menyebutnya Mang Uwok. Sebagai petani, sehari-hari ia menyadap nira kawung, yang menjadi bahan pembuatan gula merah atau gula kawung.

Kalau bersama Ema sedang nganjang, berkunjung ke rumah Bi Onéng, saya melihat di dekat pintu belakang, pintu yang menuju dapur, ada lodong, potongan bambu tiga ruas bambu besar, yang ujung bagian atasnya dipotong menyerong. Penyekat antarruas di dalam lodong itu sudah ditembuskan, sudah dibersihkan, sehingga nira dapat dengan baik mengisi ketiga ruas bambu itu.

Bagian dalam lodong itu aromanya khas sekali, bau asap. Itu memang sengaja dipuput, diasap, agar niranya tidak masam. Bagian atas lubang lodong disumpal dengan ijuk, berfungsi sebagai penyaring benda atau binatang yang jatuh ke mulut lodong.

Saat berjalan pulang, setelah melewati 5-6 rumpun bambu yang subur, kami sampai di halaman rumah Bi Onéng. Di sanalah saya bertemu. Bi Onéng itu baik sekali. Selalu saja ada yang dibekalkan kalau kami pulang nganjang, berkunjung dari rumahnya. Tak terkecuali saat kami berjalan pulang dari talun bambu yang berada di sebelah barat rumahnya.

Pada saat itulah saya dipanggil, diberi seekor anak ayam sasapihan, yang baru saja disapih induknya, yang kakinya sudah diikat tali dari gebog, serat dari batang pisang. Anak ayam betina itu saya pelihara dengan sukacita. Kandang ayamnya dibuat dengan memanfaatkan kolong rumah yang diberi pagar penghalang dari anyaman bambu yang rapat, sehingga tidak ada yang bisa masuk. Ada pintu ukuran 30x35 sentimeter.

Pagi keesokan harinya, saya sudah menyiapkan dedak satu mangkuk, lalu diaduk dengan air panas. Begitu pintu kandang dibuka, anak ayam itu langsung menyerbu makanan yang sudah disajikan hangat-hangat. Anak ayam itu tumbuh dengan baik dan sehat.

Dari hari ke hari, perkembangan anak ayam betina itu terekam jejaknya dengan sangat baik. Tak terasa lagi, sudah menjadi ayam yang besar, dan pada satu hari, ayam betina itu terlihat gelisah, dengan suaranya yang khas.

“Tangkap ayam itu! Dia mau bertelur,” kata Ema. “Buatkan sarangnya! Ambil carangka, lalu isi dengan merang padi. Tempel dan ikat dengan kuat di dinding dapur.”

Ayam dimasukkan ke dalam sarang, lalu ditutup dengan nyiru dan diberi penindih, agar ayam tidak bisa kabur. Tujuannya untuk membiasakan karena di tempat itulah ayam itu harus bertelur. Setelah bertelur, ayam ramai bersuara. Tutupnya saya buka, ayam itu segera terbang.  

Ada 12 butir telur. Induknya mulai mengerami telurnya, agar hangat, sehingga setelah 21 hari dierami, telur akan menetas. Anak ayam kecil-kecil itu satu per saya turunkan dengan hati-hati. Saya mengambil beunyeur, bubuk beras yang ukurannya seujung jarum. Semoga menjadi asupan pertama yang menyehatkan.

Di sarang penetasan itu suka ada sieur, gurem, binatang sangat kecil, tapi gatal. Ema mengingatkan agar mengambil setangkai ranting pohon jeruk, lalu disimpan di atas sarang.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//