• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (35): Membuat Benang Gelasan ketika Musim Layang-layang Tiba

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (35): Membuat Benang Gelasan ketika Musim Layang-layang Tiba

Karena benang gelasan "gelas garut" mahal, anak-anak mencari rumusan membuatnya sendiri. Dimulai dengan menggerus pecahan beling di atas permukaan batu yang rata.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Beberapa pola gambar layang-layang yang paling populer di antara anak-anak Pameungpeuk, Garut, hingga menjelang tahun 1970. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

1 Desember 2021


BandungBergerak.id - Tak seperti biasanya, angin subuh menyelusup dingin di sela-sela lipatan sarung. Ujung sarung ditarik ke atas agar menutupi seluruh badan hingga kepala. Kaki dilipatkan, dan punggung dilingkarkan seperti trenggiling. Hanya dengan cara itu, seluruh tubuh berada dalam belitan sarung, sehingga terasa lebih hangat. Angin timur sudah berhembus. Daun kelapa dan daun pisang melambai-lambai ke arah barat. Musim kemarau sudah datang.

Tak ada kesepakatan dalam ucapan, tapi ketika ada yang memulai menerbangkan layang-layang, keesokan harinya langit Pameungpeuk dipenuhi layang-layang dengan beragam ukuran dan gambar hiasan. Anak-anak dan para pemuda segera membuat layangan sendiri. Ada yang untuk sekadar diterbangkan menjadi kesenangan. Ada juga layang-layang yang dibuat untuk diadu, sehingga ada perhitungan khusus dalam pembuatan rarancang, kerangka layang-layangnya.

Untuk layangan yang akan diadu, kerangkanya lebih keras, lebih kuat, sehingga layangan lebih lincah saat diterbangkan. Tidak mau diam. Selalu miring ke kiri atau ke kanan, sehingga yang menerbangkannya harus dapat dengan cepat mengulur, menarik, memiringkan, atau menarik layang-layangnya dengan cepat, lalu dilepaskan sedikit, sebelum ditarik lagi. Ketika kepala layang-layang mengarah ke bawah, saat itulah benang layangan ditarik dengan cepat hingga layang-layangnya menukik tajam.

Para orang tua penggemar layang-layang segera mengeluarkan lagi layang-layang yang dimilikinya. Layang-layang berukuran besar. Ada yang 75 cm x 60 cm, sehingga benangnya pun berukuran lebih besar, agar kuat menahan tenaga layang-layang yang diembus angin di ketinggian. Kertas untuk layangan besar ini, kertas khusus. Kami menyebutnya keretas sampeu, kertas singkong. Ukuran layangannya besar, berwarna coklat muda, dengan serat kertas yang terlihat besar-besar. Tekstur kertasnya pun tidak halus, seperti kertas untuk layangan kecil yang dibuat anak-anak.

Ada layang-layang besar yang memakai buntut, umumnya dari kertas yang dibentuk menyerupai ekor burung merak. Namun ada juga layangan yang berbuntut ekor burung merak, yang ia temukan saat pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar. Layangan besar diterbangkan untuk kesenangan saja. Melihat keanggunan layngannya, sudah memuaskan hatinya. Namun, ada juga layangan besar yang sengaja diterbangkan untuk diadu. Pastilah layangan tidak berbuntut, agar lebih lincah dalam pergerakannya.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (34): Barter Gulali dengan Rongsokan Panci
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (33): Bedah Rumah dan Jembatan Bambu
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (32): Gigi Emas dari Kertas Pembungkus Rokok

Cara Membuat Benang Gelasan Sendiri

Mengadu layang-layang itu, yang diadu adalah kekuatan benang gelasan-nya pada saat bergesekan dengan benang lawannya. Siapa yang benang gelasannya kuat, tidak putus, akan bertahan melayang-layang tinggi di udara. Benang gelasan yang terkenal sangat bagus adalah gelasan buatan Garut. Kami menyebutnya gelas garut. Gelas garut itu benangnya lebih besar, padat, benang cap gajah. Kalau dilengkungkan, benang gelasan itu tidak menekuk. Lapis gelasannya tidak patah. Tapi harganya sangat mahal. Tidak terjangkau oleh anak-anak yang tidak mempunyai uang untuk membeli gelas garut yang kuat itu.  

Anak-anak ingin juga mempunyai benang gelasan yang sebaik gelas garut. Mereka mencoba mencari rumusan untuk membuat gelasan. Pertama menggerus pecahan beling di batu yang rata, dengan batu penggerus yang membulat dengan permukaannya yang halus. Benang yang sudah halus, lalu disaring dengan kain, disapu dengan bulu ayam besar, yang bulu bagian bawahnya sudah dibersihkan. Bila belum cukup jumlah tepung beling halusnya, beling yang tersisa terus digerus dihaluskan.

Komponen lainnya terpaksa harus kami beli, yaitu ontan, zat pewarna. Biasanya kami memakai ontan warna merah yang dibeli dari Si Otong, dan ka, sepertinya dari kulit kepala kerbau yang sudah dikeringkan, yang dibeli dari Ma Eruk, yang rumahnya di sebelah barat rumah Ema, di pinggir jalan ke Cikoneng. Saya tak begitu mengetahuinya dengan pasti, dari bagian apa ka itu berasal.

Pembuatan benang gelasan itu pertama ka direbus di dalam kaleng bekas yang berdiameter 5 sentimeter, yang kami temukan di pinggir jalan atau di tempat pembuangan sampah, di pinggir Leuwi Kuning di Ci Palebuh. Setelah ka hancur menjadi bubur yang lengket, tepung beling dimasukkan. Air ditambahkan lagi bila terlalu lengket. Setelah bercampur merata, ontan warna merah dimasukkan, lalu diaduk sampai rata.

Benang cap sembrani atau kuda terbang sudah digulung ke dalam bulatan genting seruas ibu jari. Panjang benang yang digulung itu sesuai dengan panjang gelasan yang diinginkan. Setelah apinya dimatikan, kaleng diangkat, lalu disimpan di tanah yang datar, sehingga tak akan tumpah. Gulungan benang dimasukkan ke dalam cairan lengket tadi, dengan ujung benangnya dijepit telunjuk ke pinggir bagian dalam kaleng. Cara itu memudahkan untuk menarik ujung benang, yang diikatkan di batang pohon kelapa. Setalah kaleng digoyang-goyang agar ramuan gelasan itu meresap ke dalam benang dengan baik, benang ditarik di antara letunjuk dan ibu jari yang diatur tingkat kerapatannya. Gunanya untuk meratakan bahan gelasan, sehingga menjadi halus, tapi tetap diselubungi penuh oleh bahan gelasan.   

Kalau sedang tidak mempunyai uang untuk membeli ka, tapi ingin membuat gelasan, zat perekatnya memakai umbi bakung yang banyak tumbuh di halaman orang-orang kaya. Diam-diam kami cungkul satu umbi, lalu bagian luarnya dibersihkan. Umbinya ditumbuk hingga halus, baru tepung beling dicampurkan, digiling lagi, dilumatkan hingga tercampur rata. Cara membuat gelasannya berbeda. Yang ini benang direntangkan terlebih dahulu di antara pohon kelapa yang berjauhan, lalu bahan gelasan tadi digosok-gosokan ke benang yang terentang dengan merata.

Setelah kering, benang gelasan digulung di ruas bambu kering yang sudah dibentuk khusus, panjangnya 12 sentimeter. Hati tenang dan puas sudah punya benang gelasan. Nanti sore, lewat asar, layang-layang akan diterbangkan, ditiup angin tenggara yang kering.

Layang-layang itu dibuat sendiri, malah saya sering membuat layangan untuk dijual, dititip di warung Ma Uka. Agar layangan itu laku, langsung dapat diterbangkan dengan baik oleh anak-anak, maka kerangka layangannya dibuat tidak telalu kaku. Layangannya saya gabambari meniru pola yang sudah banyak dibuat, dan paling banyak disukai, seperti gambar tiga pasak, bulatan merah di tengah, seperti bendera Jepang, dan selendang kotak-kotak warna merah atau hijau.

Kadang, dalam satu hari 10 layangan terjual habis. Sore harinya saya langsung belanja kertas di toko Si Otong, agar besok pagi layangan sudah jadi. Ma Uka tampak senang menjual layang-layang buatan saya karena anak-anak tidak ada yang protes layangannya tak bisa terbang.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//