• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (34): Barter Gulali dengan Rongsokan Panci

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (34): Barter Gulali dengan Rongsokan Panci

Di Pameungpeuk, Garut, antara tahun 1965-1970, barter masih terjadi. Rongsokan atau rambut panjang dibarter dengan minuman atau makanan yang dijajakan penjual.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Gulali beragam bentuk, mulai yang sederhana sampai yang berbentuk burung, dapat ditukar dengan rambut panjang dan rongsokan alat dapur berbahan alumunium seperti panci. (Dok. Penulis)

24 November 2021


BandungBergerak.idDi kampung kami di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, antara tahun 1965-1970, barter itu masih terjadi. Selain menerima pembayaran dengan uang, tukang camcauh atau cingcaw, misalnya, menerima juga pembayaran dengan cara menukar barang rongsokan yang terbuat dari alumunium dan rambut yang panjang dengan secangkir cincau, minuman yang dibuat dari daun cincau yang diperas, lalu dimasukan ke dalam wadah semacam ember berbentuk selinder yang terbuat dari kayu.

Cincaunya mengental lunak, berwarna hijau alami, seperti agar-agar. Cincau dicedok dengan pencedok yang terbuat dari kuningan yang sekelilingnya bergerigi tajam, untuk memudahkan mencedok cincaunya. Pencedoknya bergagang panjang, terbuat dari kayu sebesar telunjuk. Setelah cukup sesuai dengan nilai yang ditukarnya, gula cair berwarna merah menyala dicedok beberapa kali. Pencedok gulanya sebesar sendok makan, hanya bentuknya bulat sedikit cekung.

Tukang cingcaw di bawah kikuda tidak menerima barter. Dia menjajakan dagangannya tidak dengan cara dipikul tapi benjualan cingcaw di bawah pohon kayujaran atau kikuda, di sekitar kantor “Pertanian”, yang jaraknya 2 km dari alunalun. Pohon kikuda itu besar sekali, lebih besar dari drum Si Otong.

Di sanalah dia berjualan, di keteduhan pohon kikuda, menjaring pejalan kaki yang baru pulang dari sawah di Cikuda, Babakan, Mancagahar, dan daerah lainnya dari arah barat. Dan menjaring pejalan kaki dari arah timur yang baru berbelanja di pasar atau belanja kain dan kebutuhan lainnya di toko yang berjajar di sebelah timur alunalun. Pemilik toko di sana ada Haji Juhana, Mang Entun, mang Suratma-Ma Onok, Mang Latif, Mang Entim, Mang Elom, Ceu Engkos, Mang Suhaedin, Mang Kardi, dan Mang Emin.

Selain tukang cingcaw, tukang gulali juga menerima barter. Segulung rambut Ema yang diselipkan di bilik samping rumah, saya acak-acak agar terlihat lebih banyak. Tapi, tukang gulali juga mengetahui apa yang dilakukan anak-anak. Rambut olehnya dikepalkan di tangan, lalu menusukkan potongan bambu sebesar lidi ke dalam gula panas warna hujau dan merah. Gula panas itu ditarik-tarik hingga warna hijau dan merahnya memudar dan bercampur dengan baik menjadi seperti pita dua warna, lalu digulung-gulung membentuk bulatan. Batang bambu tadi disusukan ke dalam bulatan gulali, lalu ibu jari dan telunjuknya menekan gulali hingga pipih. Sebesar itulah gulali yang ditukar dengan rambut atau rongsokan berbahan alumunium. Namun, bila rambut dan rongsokan alumuniumnya lebih besar, diberi gulali mamanukan, gulali burung, yang berbunyi seperti peluit bila ditiup. Tapi Ema selalu mewanti-wanti, jangan ditiup dulu oleh tukang gulali, tidak bunyi juga tidak apa.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (33): Bedah Rumah dan Jembatan Bambu
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (32): Gigi Emas dari Kertas Pembungkus Rokok
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (31): Mending Sakit Dikuris daripada Wajah Berod

Barter Biasa Dilakukan

Barter juga biasa dilakukan oleh ibu-ibu. Ada tukang agreng, lupis, dan makanan manis lainnya, yang dijajakan berkeliling dari kampung ke kampung. Tukang agreng ini setiap hari, dengan waktu yang sudah pasti, sekitar pukul 10.00 lewat di jalan depan rumah. Terkadang Ema menukar satu atau dua cangkir beras dengan anggeng. Senang sekali bila sedang membantu Ema menumbuk padi, tukang agreng lewat.

Di kampung kami, agreng itu sebutan untuk gemblong di tempat lain. Agreng dibuat dari nasi ketan yang ditumbuk halus, kemudian dibentuk seperti segi empat tapi tak bersudut. Setelah digorenig, dimasukan ke dalam gula cair kental panas yang masih di atas tungku berapi. Agreng dibolak-balik agar gulanya menempel dengan rata.

Ada hal baru di kampung kami pada akhir tahun 1960-an, yaitu dengan datangnya pengusaha dari Kota Garut yang membangun pabrik es di Segleng. Es kantong warna-warni sebesar ibu jari kaki, panjangnya 3-4 ruas jari tangan. Warnanya menunjukkan rasa esnya. Anak-anak sebaya banyak yang berjualan es, menjajakan es kantong keliling kampung, menjinjing termos panjang, sehingga kalau berjalan, badannya harus dimiringkan agar termosnya tidak menyentuh tanah.

Puluhan anak-anak, juga ada anak-anak yang lebih besar, berjalan berkeliling kampung di terik panas udara Pameungpeuk. Mereka berteriak-teriak menawarkan jualannya dengan jelas, “eeesss… eeesss…. eeesss….” Tapi, ada juga yang berteriak menawarkannya terdengar, “eeewww… eeewww… eeewww…” Mereka terus berjalan menjajakan esnya sampai tak tersisa lagi dalam termosnya.

Di udara yang panas, es kantong dengan aneka warna dan rasa itu terbayang lebih segar. Kebiasaan minum memakai es batu mulai tumbuh di kalangan anak-anak, namun kalangan orang tua belum terbiasa dengan es yang dingin.

Inilah pabrik es pertama di kampung kami, karena sebelumnya tidak ada yang berusaha membuat es kantong dan es batu. Saat itu memang belum ada listrik, dan pabrik es menyalakan mesin disel sebagai pembangkit listriknya.

Para penjual makanan yang tidak terpengaruh dengan kehadiran pabrik es dan pedagang emih, mi bakso, tetap laku dan selalu terbayang ketika hari sangat panas, yaitu ruja kuleg. Berjualannya di sudut perempatan Jl Tambakbaya dengan Jl Raya Cilauteureun, di sebrang selatan alunalun, di utara-barat kantor Kewadanaan. Dari pagi sampai siang, di sana ada Ma Émi dan Bi Acih, yang tak henti melayani pembelinya. Petangnya berganti, di tempat yang sama ada Mok Dami yang berjualan comro dadakan, menggoreng di tempat berjualan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//