Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (33): Bedah Rumah dan Jembatan Bambu
Dalam gotong-royong, semua warga mempunyai perannya masing-masing. Datang hantaran secerek teh panas, sepiring gula merah, tape dari gaplek, dan nasi satu bakul.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
17 November 2021
BandungBergerak.id - Nenek itu hidup sebatang kara dan sudah sepuh. Rumahnya tak jauh dari masjid Ajengan Idim. Dari rumah Ema, yang jaraknya hanyak 50 meter, lokasinya di sebelah selatan. Nama nenek itu tidak kami ketahui. Kami memanggilnya nini, nenek. Tapi ada juga teman kami yang memanggilnya Nini Katir. Entah betul entah asal saja, karena mereka mengatakannya sambil tertawa-tawa.
Rumahnya panggung. Semua bahan bangunannya terbuat dari bamboo, kecuali gentingnya. Tiang rumahnya dari batang bambu, yang disangga batu pipih sebesar kepala yang dibawa dari Ci Palebuh. Dindingnya dari bilik, anyaman bambu tipis selebar 3 jari yang sudah dianyam rapi. Ada satu jendela 40 cm x 60 cm, yang setiap siang dibuka agar di dalam rumah tidak terlalu gelap. Karena dindingnya dari bilik dan lantainya dari palupuh, bambu besar yang dijadikan lantai, sehingga perputaran udara dapat bergerak leluasa, masuk dari samping dan dari bawah, sehingga udara di dalam rumah tidak pengap, walau tanpa jendela sekali pun.
Entah siapa yang mempunyai gagasan untuk memperbaiki rumah Nini Katir. Masih pagi, di sekeliling rumahnya sudah berkumpul para pria yang menyelempangkan golok panjang. Melihat kerumunan itu, anak-anak pun tiba-tiba sudah berada di sana. Mengamati dan mendengarkan apa yang menjadi perbincangan para bapak itu. Katanya, mereka akan memperbaiki rumah Nini Katir.
Lima atau enam orang terlihat sudah beriringan ke arah Cikoneng, terus menuju perbukitan. Di sana banyak talun bambu. Mereka sudah meminta izin kepada pemiliknya untuk menebang beberapa batang untuk tiang, palang-palang, usuk, dan reng. Beberapa orang lainnya bertugas untuk membongkar rumah. Hanya dalam waktu singkat, genting sudah diturunkan dan empat dindingnya sudah dirobohkan.
Barang-barang milik nini sudah dikeluarkan, bertumpuk tak jauh dari bekas rumahnya. Pakaiannya dibuntel dengan samping kebat, kain batik panjang. Perlengkapan dapurnya ada kastrol untuk menanak nasi liwet, katel kecil, dan teko untuk memasak air.
Bentuk rumahnya persegi empat, ukuran rumah 3x4 meter. Batu-batu tatapakan, batu penyangga masih berada pada tempatnya, untuk memudahkan mereka mendirikan rumahnya nanti. Satu orang membawa bilik empat lembar, yang dibawa dengan cara melengkungkan lembaran bilik itu hingga menyerupai terowongan, lalu diikat dengan tali bambu, menarik tepi bilik di bagian bawah yang terbuka. Di tengah “terowongan” bilik itu ada palang bambu 60 sentimeter yang memudahkan orang memikulnya. Tapi, arah pandangannya hanya ke depan, tak bisa melihat situasi di kiri kanannya. Inilah yang sering menjadi teriakan-teriakan nakal anak-anak kalau melihat ada tukang bilik lewat.
“Mang, bilik!”
Mendengar suara itu, tukang bilik berhenti dan ke luar, melihat-lihat, meyakinkan arah datangnya suara. Siapa tahu ada yang akan membeli.
Yang lainnya ada yang membawa tali bambu dan paku-paku bekas berbagai ukuran yang sudah diluruskan kembali, sehingga masih dapat dimanfaatkan.
Gotong-royong
Pada saat kerja bakti seperti ini, semua warga mempunyai perannya masing-masing. Melihat ada yang sedang bergotong-royong, tiba-tiba ada ibu yang mengantarkan satu teko, satu cerek teh panas dengan beberapa cangkir yang digantungkan di leher teko. Ada yang mengantarkan sepiring gula merah yang sudah dopotong-potong seukuran satu ruas ibu jari. Yang mempunyai tape dari gaplek atau tape singkong yang dibungkus daun waru, segera diantar ke tempat gotong-royong.
Tak ada yang meminta, siapa harus membawa apa, namun pada waktu istirahat siang, ada saja yang membawa nasi satu bakul penuh, yang lain ada yang membawa satu panci sayur lodeh wangi kecombrang dengan santan yang kental. Ada yang membawa sambal terasi pedas satu coet penuh dan kerupuk. Ibu lainnya ada yang membawa goreng ikan asin sepat kecil-kecil yang rangu, kering, sehingga dapat dimakan dengan duri-durinya. Tak ada yang tersisa.
Ketika yang memotong bambu sudah datang, makan siang bersama menjadi kegembiraan. Makanan yang serba panas dan pedas. Keringatnya mengucur melebihi saat memotong bambu.
Kegiatan berhenti menjelang bedug lohor, sekitar jam 12 siang, ketika bedug di masjid berbunyi. Semua bahan sudah terkumpul dan mencukupi, tapi pekerjaan akan dimulai lagi nanti selepas istirahat siang. Tak akan sampai magrib, rumah Nini Katir dipastikan sudah selesai.
Bentuk rumah itu persegi empat. Tak ada pembagian ruang secara khusus dalam rumah ini. Ada dapur yang tak disekat, ada hawu, tungku dari tanah sebagai penanda bahwa itu adalah dapur.
Di bilik, di dinding dapur, ada bagian yang dipotong sebesar jendela untuk dipasangi kisi-kisi. Selain agar asap dari tungku dapat dengan segera ke luar rumah, juga berfungsi agar Hansip, petugas keamanan, sesekali dapat mengitip api di tungku dari luar, apakah terjaga atau membahayakan. Juga sebagai kontrol, bila pagi itu tak terlihat asap mengepul dari sela-sela genting, akan segera mengintip keadaan tungku di dalam. Keadaan itu akan segera dilaporkan kepada ketua RT untuk segera melihat keadaan yang punya rumah, apakah sedang sakit, atau sudah tidak mempunyai beras dan bahan makanan sehingga ia tidak masak.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (32): Gigi Emas dari Kertas Pembungkus Rokok
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (31): Mending Sakit Dikuris daripada Wajah Berod
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (30): Saya Sakit, Ema Memotong Ayam
Memperbaiki Jembatan Bambu
Untuk menghubungkan kampung kami dengan Ci Palebuh, tempat sebagian besar warga mandi dan mencuci, ada jembatan bambu selebar satu meter di atas sungai yang sejajar dengan sungai induknya yang besar. Di sekitar Batu Pameungpeuk, persis di depan pos ronda dekat rumah Mok Maah, sejak lama ada sasak, jembatan kecil dari bambu, yang rutin diperbaiki bila anyaman bambunya sudah banyak yang rusak, patah, atau berjatuhan ke sungai, sehingga berlubang jarang.
Selalu ada insiatif dari salah seorang warga yang mengajak warga lain untuk memperbaikinya. Warga berombongan pergi ke kebun-kebun yang mempunyai rumpun bambu, lalu menebangnya beberapa batang yang sudah diperkirakan kebutuhannya. Berapa batang bambu untuk alasnya, dan berpa batang untuk anyaman jembatannya. Bambu gombong yang besar, panjang, dan kuat dijadikan palang alas yang menghubungkan kedua tepi sungai. Bambu seukuran lengan menjadi bagian yang membatasi antar anyaman setiap satu meter. Bambu sebesar betis dibelah-belah selebar 3 jari, panjangnya satu meter, setelah diserut bagian pinggirnya yang tajam, lalu dianyam di tiga bilah bambu yang lebih panjang dari lebar sungai.
Anak-anak ikut meramaikan suasana. Selalu ada yang bisa dibuat mainan. Sisa bahan jembatan, misalnya, dibuat untuk bermain gatrik, atau dibuat mainan yang dipukul, sisimeutan, belalang terbang, namanya. Dalam situasi apapun, anak-anak dapat menjadikan apa yang ada menjadi permainan yang menggembirakan. Tentu, anak-anak juga diam-diam mengambil potongan gula merah dalam piring seng itu, saat para bapak sibuk bekerja.