• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (31): Mending Sakit Dikuris daripada Wajah Berod

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (31): Mending Sakit Dikuris daripada Wajah Berod

Saya harus menjadi Ketua Murid pemberani. Tidak menangis, apalagi kabur dari ruang kelas. Saya berjalan tegap ke depan kelas, menyerahkan lengan kiri untuk dikuris.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Potret vaksinasi seorang anak di Jawa oleh mandor kepala Talib pada tahun 1910. Di Priangan, vaksinasi dikenal dengan istilah dikuris, dan diketahui bisa meninggalkan keloid seperti angka 11 jika terjadi infeksi. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

3 November 2021


BandungBergerak.id - Bangunan sekolah kami di Pameungpeuk, Garut, tinggi sekali. Langit-langitnya tinggi. Apalagi atapnya mencuat ke langit. Pintunya dari kayu, lebar dan tinggi pula. Bagian bawahnya dibuat dengan gaya jalusi. Bilah-bilah kayu selebar 5 sentimeter, dipasang miring berderet ke atas.

Setiap kelas terdiri dari dua pintu. Halamannya luas, dialasi dengan batu-batu sebesar telur ayam, yang banyak ditemukan di pinggir Ci Palebuh. Ruang kelasnya memanjang, dindingnya dari anyaman bambu, yang di daerah kami disebut bilik. Lantainya dari batu alam berbentuk persegi, ukurannya 40x40 sentimeter. Setiap pagi, yang bertugas piket akan membersihkan kelas dengan sapu padi. Kelas kami setiap hari selalu bersih.

Dalam upacara hari Senin, berpidatolah kepala sekolah. Pak Andan, namanya, yang postur tubuhnya tinggi sekali di mata kami, dengan rambut yang selalu rapih disisir ke belakang. Katanya, jurig kuris itu tidak ada. Yang ada bukan jurig kuris, tapi penyakitnya, virusnya. Itulah yang menyebab anak-anak bisa terkena penyakit cacar. Oleh karena itu, anak-anak harus dikuris, agar tidak terkena penyakit cacar.

Upacara hari Senin berakhir. Teman-teman dari kelas kami segera berlarian ke depan kelas untuk berbaris, berjajar ke belakang satu-satu. Bu Ika sudah berdiri di dekat pintu. Anak-anak memperlihatkan kuku jari tangan. Kalau terlihat masih ada yang hitam, mereka akan diperingatkan: besok kukunya sudah bersih!

Serangan Cacar

Menjelang magrib, di halaman masjid terdengar obrolan para orang tua. Katanya sudah ada anak di beberapa daerah yang berbatasan dengan kampung kami yang terserang penyakit cacar. Agar tidak terserang penyakit cacar, kata bapak yang lainnya, anak-anak harus dikuris.

Dalam perbincangan itu tidak disebutkan dikuris itu bagaimana, dan akan dilakukan di mana. Hanya saja disebutkan anak-anak yang sudah terserang penyakit cacar di desa yang jauh dari desa kami, katanya, setelah sembuh, kulit wajahnya menjadi berod, menjadi cekung-cekung seujung kuku anak-anak. Takut juga terserang penyakit cacar dan meninggalkan bekas menjadi berod di wajah.

Sampailah pada suatu siang, ada rombongan mantri kesehatan yang berpakaian putih-putih, orangnya sudah kami kenal, bergegas berjalan di halaman sekolah. Setelah bertemu dengan kepala sekolah dan para guru, petugas itu membawa lampu berapi biru, diikuti dua orang lainnya.

Anak-anak berlarian masuk kelas dengan penuh ketegangan. Ada teman yang kelihatan pucat dan ketakutan. Ia segera ngumpet di bawah meja-kursi yang bersatu, yang dibuat dari kayu jati yang kokoh. Ada juga yang menjebol dinding kelas bagian belakang yang terbuat dari bilik, anyaman bambu halus yang selalu dilabur kapur putih. Ia berlari menerobos pagar kawat berduri di belakang sekolah. Ia berlari cepat sambil berteriak dan menangis ketakutan, menuju rumahnya di utara alun-alun.

Sebagai Ketua Murid (KM), saya harus menunjukkan sikap tidak takut saat mendapat antrean pertama untuk dikuris. Saya sendiri tidak tahu dikuris itu bagaimana. Ada perasaan ngeri juga, takut terkena penyakit cacar, seperti yang diceritakan para orang tua di depan masjid menjelang magrib kemarin. Terkena cacar karena belum sempat dikuris. Setelah sembuh, wajah anak itu menjadi berod.

Saya harus menjadi KM pemberani. Tidak menangis, apalagi kabur dari ruang kelas. Saya langsung berjalan tegap ke depan kelas menyerahkan lengan kiri.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (30): Saya Sakit, Ema Memotong Ayam
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (29): Pesan yang Dibawa Irama Bedug
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (28): Rasa Makanan yang Lekat dalam Ingatan

Tiga Cara Dikuris

Akhirnya kami mengalami dikuris dengan beberapa cara, yang berselang berapa bulan. Setidaknya, anak-anak SD di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, mengalami tiga kali dikuris dengan tiga cara yang berbeda.

Pertama, mantri kesehatan dari rumah sakit Pameungpeuk, seperti Pak Mantri Mulyadi, akan menggoreskan sejenis kalam yang telah dibakar dan dicelupkan ke cairan sebanyak dua kali goresan di lengan atas sebelah kiri. Kata orang-orang tua kemarin di depan masjid itu, namanya dikuris.

Cara menguris yang pertama membuat banyak anak ketakutan. Kalau sedang sekolah, ada yang langsung kabur, atau segera berlari dan bersembunyi di alun-alun. Memang, dikuris dengan alat seperti kalam itu terasa menakutkan. Dengan cara ini, banyak anak sekolah yang terkena infeksi setelah dikuris, sehingga akan bertambah sakit di lengan atas, dan menjadi sakit panas. Mungkin saat itulah ada istilah "Jurig Kuris", setan kuris, yang membuat anak-anak menjadi tambah ketakutan. Setelah infeksinya sembuh, bekasnya mengeras, dan timbul sebesar kelingking, persis seperti angka sebelas, atau seperti angka satu bila yang infeksinya hanya satu goresan.

Cara yang kedua bukan dengan kalam yang digoreskan, tapi menggunakan jarum suntik yang ditusuk-tusukkan beberapa kali di tempat yang sama, yakni lengan atas sebelah kiri. Dengan cara ini jarang anak terkena infeksi setelah divaksin.

Dan, cara ketiga dilakukan dengan menyuntikkan langsung obatnya. Dengan cara ketiga pun, anak-anak masih banyak yang ketakutan. Mungkin masih terbayang dikuris dengan alat yang seperti kalam.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//