• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (32): Gigi Emas dari Kertas Pembungkus Rokok

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (32): Gigi Emas dari Kertas Pembungkus Rokok

Kertas itu disobek dengan ukuran lebih besar dari gigi, lalu ditempelkan ke gigi dengan rapi. Ketika teman-teman tertawa, giginya berkilau seperti gigi emas.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Tembakau, yang dijual oleh para tukang bako, sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari warga Pameungpeuk tempo dulu. Tukang bako langganan Abah adalah Bah Elum, yang berjualan di seberang gerbang pasar. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

10 November 2021


BandungBergerak.id - Ketika saya kecil, Abah dan Ema adalah perokok berat. Abah merokok menggunakan padud, cangklong. Ema melinting daun kawung yang sudah diserut dan dihaluskan, banyak dijual di warung, baik yang sudah dipotongi maupun yang masih berupa lembaran panjang.

Keluarga Ema itu keluarga perokok berat. Kakak dan adiknya, perempuan semua. Saat itu, perempuan merokok sangat biasa. Saat berangkat ke sawah atau ke ladang subuh-subuh, mereka berjalan beriringan sambil merokok.

Namun, Abah dan Ema melarang saya untuk merokok. “Jangan merokok”, katanya. “Nanti bodoh!”

Wah, takut sekali menjadi orang bodoh. Tapi pernah merokok sekali saat diajak oleh Den Endang ketika akan pergi ke rumah teman sekelas di selatan Alun-alun Pameungpeuk, Garut. Rokok filter merek Comodor. “Ayo merokok, biar gaya!” katanya.

Pulang ke rumah, saya pusing sekali. Serasa berputar-putar. Sejak merasakan pusingnya merokok, tak pernah saya mencobanya lagi. Lagipula, saya takut bodoh!

Karena pergeseran tata nilai, mulai tahun 1970-an awal, Ema mulai beralih ke ngalemar, nyirih. Tak seperti yang lain, Ema nyirih memakai “bumbu-bumbu”. Dalam satu lembar daun sirih yang tulang daunnya warna merah, dimasukkan jambe kering yang sudah dikacip tipis-tipis, kapur bakar basah, kapol, daun saga kering, dan cengkih. Tembakau terbaik yang ada di kampung kami, bako tampang, tembakau yang warnanya kehitaman dan padat, sehingga tipis, menjadi tembakau untuk nyusur, tembakau yang menjadi bagian saat nyirih.

Sampai akhir hayatnya, Ema tak lepas dari ngalemar. Saat kami menghadiri undangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta tahun 1985 pun, Ema nyaman-nyaman saja ngalemar, dan memasukkan luah, air merahnya ke tampolong, tempat luah yang dibawanya dari rumah.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (31): Mending Sakit Dikuris daripada Wajah Berod
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (30): Saya Sakit, Ema Memotong Ayam
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (29): Pesan yang Dibawa Irama Bedug

Tukang Bako

Di kampung kami di Pameungpeuk, ada tiga orang tukang bako, yaitu Mang Udin, Mang Entar, dan Bah Elum. Satu di antaranya berjualan di seberang gerbang pasar, dipisahkan oleh jalan raya, di bawah pohon cemaralaut. Ema sudah hafal betul tembakau yang Abah sukai, yaitu tembakau yang banget, yang “keras dan berat”.

Terkadang Ema memesan tembakau buatan pabrik dari Garut, yang tidak dijual di kampung kami. Tembakau itu hanya dijual di Kota Garut. Tembakau Cap Warning. Tembakau itu dibungkus dengan kertas agak tebal warna hitam, ukurannya kira-kira lebar 3 jari, tebal 2,5 jari, dan tingginya 5 jari orang dewasa. Di bagian lebarnya ada tulisan yang menonjol: WARNING dan tulisan sangat kecil di bawahnya yang tidak pernah saya baca. Masyarakat Pameungpeuk saat itu, termasuk Abah, mengira WARNING itu cap atau merek tembakau. Kalau Abah sedang menghisap bako WARNING, wanginya menyebar ke mana-mana.

Karena tembakau cap Warning harus dipesan, Abah lebih sering memilih mengisap tembakau yang dijajakan di seberang gerbang pasar, di bawah pohon cemaralaut itu.

Tembakau yang berlempeng-lempeng itu disimpan dalam wadah yang terbuat dari bambu, seperti besek empat persegi panjang berukuran besar dan kuat. Pembeli akan menunjuk lempengan tembakau yang disimpan berjajar di atas bangku, lalu menanyakan tingkatan kualitas dan harganya. Pembeli lalu menyebutkan sejumlah uang. Tukang bako akan membuka lempengan tembakau yang ditunjuk pembeli, lalu mengguntingnya dengan gunting besar yang tajam. Tembakaunya dibungkus dengan gebog pisang yang sudah dikeringkan, kulit batang pisang bagian dalam, yang bagian luarnya sudah dikelupas, dan dikeringkan.

Gaya berpakaian Bah Elum itu paling khas. Memakai celana pangsi hitam yang gombrang, celana pemain pencak silat, berkaus putih cap cabe yang dimasukkan ke dalam celana pangsi, lalu diikat dengan sabuk hijau selebar telapak tangan orang dewasa. Kaos putih tadi menjadi kaos dalam. Baju luarnya adalah kampret, sekarang dikenal dengan sebutan koko warna hitam yang tidak pernah dikancingkan. Tentu, ia memakai iket kepala dari kain batik warna gading kecoklatan. Dari rumahnya di Manisi, setiap pagi dan sore Bah Elum berjalan melewati jalan di depan rumah sambil menanggung dua wadah persegi panjang dari bambu halus berisi tembakau.

Selain penjual tembakau, ada juga toko yang menjual rokok buatan pabrik, seperti Djarum, Bentul, Galan, Ganam, Comodore, Kansas, Mascot, Galan, dan Ganam.

Bungkus-bungkus rokok pabrikan inilah yang banyak kami temukan berserakan di alun-alun sehabis pertunjukan. Kami memungutinya, lalu mengeluarkan bagian dalamnya. Kertas warna perak dan warna emas yang mudah sobek. Kertas itu disobek dengan ukuran lebih besar dari gigi, lalu ditempelkan ke gigi dengan rapi. Ketika teman-teman tertawa, giginya berkilau seperti gigi emas atau gigi perak.

Berderai-derailah kami tertawa. Saking keras terawanya, terkadang lapisan kertas perak atau emasnya langsung lepas. Aroma dan rasa pedas tembakau terus menempel di lidah. Kalau masih terasa agak hangat dan berbau tembakau, lidah langsung digosok-gosokkan ke lengan baju.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//