• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (37): Kere Ikan Mujair

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (37): Kere Ikan Mujair

Nasi putih yang pulen, kere ikan mujair, dan sambal lalab membuat saya sampai nambah lagi, dengan porsi seperti Gunung Cikuray.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Ikan mujair di tanam di balong ukuran 10x15 meter tidak jauh dari rumah di Pameungpeuk, Garut. Kere ikan mujair adalah bekal favorit di kala bepergian. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

15 Desember 2021


BandungBergerak.id - Abah dan Ema mempunyai balong, kolam dan sawah di belakang rumah. Untuk menuju ke sana, saya tinggal berjalan di atas cukang, jembatan kecil dari dua batang bambu yang disatukan. Di balong Abah tidak ada pancilingan, toilet di atas kolam dengan tiang-tiang dari bambu setinggi 40-60 sentimeter dari atas permukaan air.

Di atas kolam milik tetangga, ada pancilingan. Di sanalah tempat untuk membuang hajat besar dan mandi. Ikan bibit, ikan mas sebesar betis, berloncatan bila ada kotoran yang mulai melayang lepas dari pemiliknya. Ikan-ikan pada salto berebut pakan yang masih hangat sebelum sampai menyentuh air.

Balong Abah itu hanya 25 meter saja jaraknya dari rumah. Sedangkan sawah, lebih ke utara 35 meter dari balong. Setelah melewati sungai dan dua tiga petak sawah milik yang lain, ada balong milik Abah. Ukuran balong-nya 10x15 meter. Di balong itu ditanam ikan mujair dan ikan mas. Tapi, kalau balong dibedahkeun, air kolamnya digelontorkan sampai habis, jenis ikannya pasti bertambah. Jadi ada ikan tawes dan lele. Mungkin ikan yang meloncat dari kolam yang lain pada saat hujan deras, sehingga air kolam nyaris penuh.

Balong sisi utara lebih dangkal. Lumpurnya lebih tebal. Di sana ditanam kangkung dan eceng. Sekalian ke balong, Ema suka memetik kangkung dan eceng. Setelah direbus, menjadi lalab untuk coel sambal yang digoreng terlebih dahulu. Di pematang kolam ditanami talas, dan di sudut selatan barat ditanam pandan wangi. Umbi talas diiris-iris, lalu dikukus. Setelah matang kemudian ditaburi kelapa parud. Pucuk dan batang talasnya pun enak untuk disayur. Kami menyebutnya angeun lompong. Ke dalam masakan itu Ema menambahkan tulang jambal roti yang masih sedikit berdaging.

Ikan mujair hanya sekali saja ditanam. Ikan ini cepat sekali bertambah banyak. Setiap hari selalu saja ada mujair yang sedang melatih anak-anakanya berenang. Ratusan bayi mujair dimasukkan ke dalam rongga mulut induknya, lalu disemburkan perlahan. Bayi mujair berenang, lalu disedot kembali ke arah mulutnya. Terus berulang begitu.

Setiap hari Ema selalu menaburkan dedak sebaskom. Akan terlihat ikan naik manyantap dedak. Ikan cepat besar dan gemuk. Ciri ikan yang terpelihara dengan baik, kepala ikannya menjadi kecil bila dibandingkan dengan tubuh ikannya yang besar.

Cara Membuat Kere Ikan Mujair

Ikan mujair seukuran 3-4 jari orang dewasa sudah memenuhi ayakan, wadah yang dibuat dari anyaman bambu. Ikan mujair dibelah terbuka dari arah perut. Insang dan ususnya dibersihkan. Setelah dicuci bersih, ikan disimpan di dalam ayakan besar agar airnya menetes.

Emak menggerus halus bumbu kere, dendeng, yang tediri dari: garam, asam, gula merah, dan ketumbar. Bumbu dimasukkan ke dalam baskom besar, lalu ikan tadi dimasukkan, diaduk-aduk sampai semua ikan terbumbui dengan rata. Baskom ditutup rapat, dibiarkan beberapa saat agar bumbunya meresap.

Ikan berbumbu itu dijajarkan di ayakan besar, dengan bagian dalam ikan menghadap ke arah matahari. Setelah semua ikan beres dijajarkan, ayakan digantungkan menggunakan salang, tali dari kulit waru yang telah dibuat tambang, dan sudah dibentuk sedemikian rupa agar mudah dan cepat memasangnya pada saat akan memikul barang. Menjemur kere ikan mujair itu sengaja digantung, agar binatang tak dapat menjangkaunya. Udara yang kering dan panas di kampung kami di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat, membuat kere ikan mujair menjadi cepat kering.

Setelah asar, Ema sudah menggoreng dendeng ikan untuk buka petang ini. Wangi ketumbar tercium kuat. Nasi putih yang pulen, kere ikan mujair, dan sambal lalab membuat saya sampai nambah lagi, dengan porsi seperti Gunung Cikuray.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (36): Gembira Bermain Sarung
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (35): Membuat Benang Gelasan ketika Musim Layang-layang Tiba
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (34): Barter Gulali dengan Rongsokan Panci

Bekal Bepergian

Kalau akan bepergian seperti ke Garut atau ke Bandung, goreng kere ikan mujair dan ulen, nasi ketan yang dipanggang dengan ukuran sebesar telapak tangan Abah, menjadi bagian yang wajib menjadi bekal.

Bus jurusan Pameungpeuk - Garut hanya berhenti di dekat pasar dan deretan toko di Cikajang. Saat berhenti itulah dijadikan waktu untuk memakan bekal. Menyantap ulen dengan kere ikan mujair yang rangu sampai ke durinya, hanya sekilat saja, tak terasa ulen sebesar telapak tangan orang dewasa itu sudah lenyap tak bersisa.

Bus yang berangkat subuh itu baru sampai di Cikajang tengah hari, tapi masih terasa dingin bagi orang Pameungpeuk. Terlihat gadis Cikajang saat itu dengan pipinya yang merah karena suhu udaranya yang dingin, menawarkan penganan di atas baki persegi empat yang dibuat dari bilah papan.

Di Cikajang, Ema membeli manisan buah kesemek. Kesemek yang sudah matang dikupas, lalu dijemur sampai berubah warna menjadi kecoklatan, bentuknya menjadi mampat, bulat gepeng. Enak sekali, kenyal-kenyal manis.

Di dekat pemberhentian bus itu ada pom bensin. Alat ukurnya berupa tabung yang dibuat dari kaca. Bila alatnya (éngkol) diputar, bensin akan naik mengisi tabung kaca sampai batas ukuran sesuai dengan uang yang dibayarkan. Bensin yang sudah tertampung di tabung kaca itu lalu dialirkan ke kendaraan menggunakan selang yang sudah terpasang.

Perjalanan ke Garut masih jauh, tapi jalanan terberat antara Cisompet sampai Cikajang sudah dilewati. Itulah jalan yang memualkan perut. Bus berjalan pelan di jalan yang berlubang, dengan belokan yang melingkar-lingkar. Baru saja berbelok ke kiri, sudah harus berputar lagi ke kanan. Begitu berulang kali. Di ruas jalan inilah sarapan ulen dan kere ikan mujair yang saya makan dengan lahap dan gembira karena akan nyaba ke Bandung, menyembur lagi ke luar tak bisa ditahan.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//