• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (36): Gembira Bermain Sarung

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (36): Gembira Bermain Sarung

Bagi anak-anak di kampung, sarung bisa jadi alat bermain, dari ninja sarung, buntut monyet, drum sarung, balon sarung, hingga bebek sarung. Semua menggembirakan!

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Bila sedang mandi di Leuwi Kuning, Ci Palebuh, sarung menjadi mainan anak-anak, dijadikan balon sarung dan eentogan atau bebek sarung. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

8 Desember 2021


BandungBergerak.id - Keseharian anak-anak di kampung kami, di Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, nyaris tidak pernah lepas dari sarung. Ketika angin malam berembus di musim kemarau, seperti saat menonton wayang, atau film koboi, reog, calung, drama, dan mendengarkan tablig akbar di alun-alun, kegunaan sarung menjadi sangat penting. Setelah asar, sarung sudah tak lepas lagi badannya, bersambung ke magrib dan isa, dan menjadi selimut ketika tidur di masjid Ajengan Idim.

Sarung pun menjadi alat untuk bermain yang menggembirakan, seperti bermain kuda-kudaan, main lempar drum sarung, atau buntut monyet. Kalau sedang mandi di Leuwi Kuning, Ci Palebuh, sarung menjadi balon dan pelampung atau eentogan, bebek-bebekan.

Membuat ninja sarung, sudah sangat biasa bagi anak-anak. Agar dapat dengan leluasa bergerak, tapi masih hangat karena badan sampai kepala tertutup, sarung dibuat menjadi ninja sarung. Caranya, kedua sisi atas sarung dirapatkan, lalu kedua ujungnya diikatkan di kepala bagian belakang. Kedua sisi sarung bagian bawah ditarik ke atas, dibuka, yang semula bagian dalam sarung menjadi bagian luar. Lalu ditarik kedua sisi sarung yang menjadi bagian belakang dan bagian depan, sampai di bagian kepala menjadi membulat kencang tertutup sarung. Di bagian wajah hanya menyisakan garis lurus selebar mata, sehingga kita masih dapat melihat dengan leluasa. Bila sarung menjadi melonggar, entah melorot sendiri atau sengaja ditarik ke bawah, bagian muka dari alis hingga ke dagu menjadi terbuka.

Sarung pun bisa dibentuk menjadi buntut monyet. Untuk membuatnya perlu bantuan orang lain. Cukup berdua, lalu berganti peran ketika membuat buntut monyet ini. Sarung dimasukkan ke tubuh orang yang pertama akan membuat buntut monyet. Yang satu berperan menarik sisi atas sarung ke belakang sampai tertarik kencang. Yang di depan bertugas menggulung-gulung kain sarung dengan rapat dan rapih menempel di bagian perut.

Yang di belakang terus menarik kencang sarung dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya mengusap-usap sarung agar terlipat, terlilit rapi, sambil mengucapkan mantra, “palesang-lesang minyak…. palesang-lesang minyak….   palesang-lesang minyak….” Semoga sarung yang dibentuk ekor itu menjadi licin laksana minyak, sehingga bentuknya menjadi bagus. Mantra itu terus diucapkan sampai akhir, ketika lingkaran gulungan sarung di perut sudah terasa kencang, tidak akan melorot, dan bentuk ekor sudah terwujud.

Kini anak yang sudah mempunyai ekor bergiliran menjadi yang menarik sarung dari belakang. Bila sudah selesai, dengan diterangi bulan purnama, anak-anak “monyet” ini berlarian, berloncatan, bergembira dikeremangan cahaya bulan.      

Bosan dengan permainan sarung yang satu, tak terasa anak-anak sudah berganti dengan permainan sarung yang lain. Kini anak-anak membuka sarungnya, lalu disusun dengan rapi menjadi gulungan yang membulat, dimasukan ke lengan, dan tertahan oleh pundak sebelah kanan. Tangan kanan memegang gulungan sarung bagian depan, lalu diayun-ayunkan beberapa kali ke belakang dan ke depan. Tangan dihentakan, gulungan sarung dilepas ke atas. Sarung beterbangan di udara, membentuk selinder seperti drum terbang. Siapa yang sarungnya terbang di udara membentuk selinder paling sempurna dan lebih lama melayang dibandingkan yang lain, maka ialah yang paling jagoan dalam menerbangkan drum sarung.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (35): Membuat Benang Gelasan ketika Musim Layang-layang Tiba
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (34): Barter Gulali dengan Rongsokan Panci
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (33): Bedah Rumah dan Jembatan Bambu

Ketika Mandi di Leuwi Kuning, Ci Palebuh

Balon sarung dibuat kalau anak-anak sedang mandi di Leuwi Kuning, Ci Palebuh. Di sana ada lubuk, bagian sungai yang dalam tapi arusnya tidak begitu deras, sehingga balon sarung dapat mengambang dengan baik. Anak-anak sudah terampil membuatnya. Untuk talinya, anak-anak menyobek sedikit kulit batang pisang bagian pinggirnya yang sudah sedikit kering. Satu ujung sarung dirapatkan menjadi sebesar pergelangan tangan, lalu diikat sampai kuat, agar tidak ada udara yang bocor.

Sarung dicelupkan ke air sungai sampai semuanya basah. Bagian sarung yang tidak diikat direntangkan dengan kedua tangan, membentuk lubang sarung yang terbuka, lalu anak-anak berlari hingga bagian sarung itu menggembung membentuk tabung tertutup. Bagian yang terbuka dirungkupkan ke atas air, dan sebagian sisinya segera ditarik ke dalam air sedalam telapak tangan agar tak ada udara yang bocor ke luar.

Balon sarung berbentuk selinder yang tertutup bagian atasnya, mengambang di air, dan pilotnya berada di dalam balon sarung itu terapung-apung mengembang dengan sempurna. Agar lebih nyaman, kedua kaki diangkat, sementara telapak kaki belakang disangkutkan di tepi sarung yang terendam air.

Bosan berada di dalam balon sarung, anak-anak ke luar, lalu beralih ke permainan eentogan atau bebek sarung. Sarung yang sudah basah dibentangkan, sisi sarung dirapatkan, lalu dibelitkan di perut, dan kedua ujungnya diikatkan dengan kuat di pinggang bagian belakang. Sisi sarung yang menjadi bagian bawah yang masih terbuka, dipegang di sisi kiri dan sisi kanannya, lalu dikembungkan hingga membulat, lalu dirungkupkan ke air.

Di dalam air, seluruh ujung sarung harus segera disatukan dan dipegang dengan rapat dan kuat agar udaranya tidak bocor. Bila gembung sarung sudah baik, badan bagian depan ditumpangkan di atas sarung yang gembung, membentuk pelampung yang besar. Kedua tangan berada di depan, memegang ujung sarung, dan sisi kiri dan kanan sarung menggembung. Agar dapat bergerak ke berbagai arah, kedua kaki digerak-gerakan hingga memuncratkan air.

Sore hari selepas asar, ketika cuaca cerah tapi tidak terik, dengan angin yang bertiup menyegarkan, tiga empat anak perempuan sudah berkumpul di tanah lapang milik Pak Patih. Mereka membawa samping kebat, kain panjang. Kedua ujung di satu sisi lebar kain diikatkan di pinggang bagian belakang. Kedua ujung di sisi lebar lainnya, dipegang dengan kedua tangan yang diangkat ke atas. Kain panjang yang tertiup angin menggembung ke belakang. Karena permainan dengan kain panjang itu untuk anak perempuan, tak ada anak laki-laki yang berani mencobanya, kecuali berani disoraki sebagai anak perempuan.

Masih ada beberapa permain dari sarung yang nanti akan diceritakan pada malam purnama berikutnya. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//