Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (39): Suasana Kelas Saat Pak Guru Sakit
Tak disangka, di akhir pelajaran, Bapak Kepala Sekolah datang kembali ke kelas kami, menanyakan jawaban dari lima soal yang diberikannya tadi.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
29 Desember 2021
BandungBergerak.id - Pagi itu, guru kelas lima tidak masuk. Sedang sakit, katanya. Suasana kelas menjadi ramai. Ada anak-anak yang berlarian di antara meja. Ada yang menerbangkan kapal-kapalan yang dibuat dari kertas yang disobek dari buku tulis.
Ada juga yang iseng membuat kumis-kumisan. Pensil digosok-gosokkan ke lantai sekolah yang dibuat dari batu persegi empat ukuran 30x30 sentimeter. Setelah cukup, serbuk itulah yang digosokkan pada cetakan kumis yang dibuat dari kertas buku. Beberapa anak menjadi berkumis tebal.
Tiba-tiba pintu ada yang membuka. Anak-anak segera duduk di bangkunya masing-masing dengan tertib. Yang masuk adalah Bapak Kepala Sekolah yang sangat kami segani. Namanya Pak Andan. Perawakannya tinggi. Rambutnya selalu disisir rapi. Tak ada anak yang berani bersuara.
“Pada hari kemarin (kalian) sudah belajar apa?” suara pak Andan memecahkan kebekuan.
“Berhitung, Pak,” serempak anak-anak menjawab.
“Belajar luas lingkaran,” ada anak yang menimpali.
Pak Andan langsung mengambil kapur tulis dan menggambar seekor kambing.
“Ini gambar apa?” tanya Pak Kepala Sekolah.
“Kambing, Pak,” keras sekali suara anak-anak menjawab pertanyaan itu.
Pak Andan menarik garis panjang dari leher kambing, lalu mengikatkan tambang itu pada patok bambu. Sambil menunjukkan gambar kambing yang ditambatkan itu, Pak Andan berkata: “Panjang tambang ini 7 meter.”
Anak-anak mulai bertanya-tanya, apa maksud dari gambar itu.
“Sekarang jawab, berapa panjang garis tengahnya?” Pak Andan menutup gambarnya dengan pertanyaan.
“Sudah terjawab?” tanyanya kembali. “Kalau sudah terjawab, lanjutkan, berapa luas tempat yang dijelajahi oleh kambing itu.”
Anak-anak saling pandang. Tak mengerti soal yang diberikan oleh kepala sekolah.
Kemarin kami memang belajar tentang lingkaran, tapi Pak Guru menerangkan dengan memakai jangka besar yang dibuat dari kayu. Di satu ujung jangkanya tertancap paku yang tajam, dan satu ujung jangka lainnya berupa pipa sepanjang 2 sentimeter yang cukup memuat kapur tulis. Ketika paku tajam itu ditancapkan, jangka kayu dibuka, lalu digerakan berputar membentuk lingkaran kapur putih. Lalu Pak Guru menerangkan apa yang dimaksud dengan jari-jari, apa yang dimaksud garis tengah, dan bagaimana mencari luas lingkaran.
Anak-anak diam.
“Katanya sudah belajar tentang lingkaran?” Pak Andan mempertanyakan hasil belajar kami.
Anak-anak masih tak bisa menjawab soal yang diberikan oleh kepala sekolahnya. Pak Andan membuka lemari, lalu mengambil jangka yang dipakai oleh pak guru hari kemarin. Persis seperti pak guru memakainya. Pak Andan menancapkan paku jangka di dasar patok tempat mengikatkan kambing, lalu membuka jangkanya agar lingkarannya sampai di ujung tambang di leher kambing sepanjang 7 meter.
“Saya bisa, Pak!” anak perempuan yang duduk paling depan itu mengacungkan tangan.
“Boleh. Silakan ke depan! Tuliskan jawabannya dengan bagus sesuai rumus!”
“Luas lingkaran: 22/7 x jari-jari x jari-jari. 22/7 x 7 m x 7 m = 154 m2.”
“Betul. Mengerti, ya?”
“Kalau soalnya memakai jangka seperti itu kami mengerti,” anak-anak ramai kembali mengingat-ingat pelajaran kemarin.
Pak Andan menuliskan lima soal untuk kami. Ada yang diketahui luasnya, ada yang diketahui garis tengahnya, dan ada yang diketahui jari-jarinya. Lalu pak Andan ke luar kelas meninggalkan kami.
Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (38): Anak Ayam Hadiah dari Bi Oneng
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (37): Kere Ikan Mujair
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (36): Gembira Bermain Sarung
Papan Tulis, Lemari Kayu, dan Buku
Papan tulis di kelas kami berdiri di atas tiga kaki, dengan posisi sedikit miring ke belakang. Dua kaki di depan, kaki-kakinya dibuat dari papan setebal 3 sentimeter, lebarnya 10 sentimeter, dan tingginya 2 meter. Kaki belakang berguna sebagai penahan agar papan tulis itu dapat berdiri dengan sempurna.
Dua kaki yang depan diberi beberapa lubang sebesar telunjuk. Di lubang itulah dipasang pasak berbentuk selinder, panjangnya 10 sentimeter. Papan tulis didirikan, dan bagian bawahnya ditahan oleh dua pasak di kaki kiri dan di kaki kanannya. Ketinggian papan tulis itu dapat diatur, disesuaikan dengan tinggi yang akan menulisnya.
Di pasak itu bergantung penghapus papan tulis, hasil kerajinan yang dibuat oleh anak-anak. Kalau ada 24 pelajar di kelas itu, maka kelas itu mempunyai penghapus sebanyak 24 buah, sebagai cadangan untuk pembelajaran selama satu caturwulan.
Di depan kelas ada meja tulis dan kursi untuk Bu Guru. Menempel ke dinding, tak jauh dari meja bu guru, ada lemari kayu. Isinya buku-buku bacaan dan peraga pembelajaran, seperti jangka, penggaris sepanjang 100 sentimeter, penggaris segi tiga sama sisi, dan penggaris dengan satu sudutnya 90 derajat.
Ada dua cerita dari dua buku yang berbeda, yang sangat mengerikan bagi saya. Dari satu buku, dengan kertasnya yang bagus, mengkilap, ada gambar pemandangan alam, sawah, dan gunung. Di langit terbang balon udara. Entah karena sebab apa, tambang dari balok itu masih terjuntai ke bawah, dan jangkar balon udaranya mengait anak yang sedang berada di pematang sawah. Cerita kedua yang mengerikan bagi saya adalah saat seorang anak yang sakit bermimpi didatangi raja jangkrik, lalu diadu dengan raja jangkrik itu. Sungguh dua cerita yang mengerikan bagi saya saat itu.
Saya memang memelihara jangkrik. Demikian juga teman-teman yang lain. Tapi saya tidak mengadu jangkrik. Serangga itu dimasukan ke dalam kandang yang dibuat dari tanah liat yang diambil dari Tanjung. Kandang jangkrik berukuran panjang 10 sentimeter, lebar 8 sentimeter, dan tingginya 7 sentimeter. Bentuk kandangnya dibuat menyerupai radio dengan segala kelengkapannya. Kandangnya diberi jeruji yang rapat, sehingga jangrik tidak bisa ke luar, tapi udara dengan cukup dapat berganti. Di bagian atas dibuat lubang 2x2 sentimeter untuk memasukkan jangkriknya sekaligus untuk memasukkan rumput teki sebagai pakannya.
Di kelas kami hanya ada 12 bangku yang bersatu dengan mejanya. Bangku-bangku itu disusun 3 ke arah samping kelas, dan 4 bangku ke arah belakang kelas. Bangku itu berat sekali, dibuat dari bilah-bilah papan yang tebal dan kuat. Katanya dibuat dari papan jati. Setiap bangku diduduki oleh 2 orang pelajar. Di bawah mejanya ada tempat untuk menyimpan buku dan perlengkapan lainnya. Di samping jajaran bangku-bangku itu ke belakang, ada ruang kosong dengan lebar 50 sentimeter, berguna untuk pergerakan anak-anak, dan untuk berbaris kalau akan pulang.
Tak disangka, di akhir pelajaran, Bapak Kepala Sekolah datang kembali ke kelas kami, menanyakan jawaban dari lima soal yang diberikannya tadi. Anak-anak yang tidak mengerjakan, terlihat tegang sekali! Takut distap, berdiri di depan kelas, atau dipulangkan paling akhir.