• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (42): Kehebatan Upas Adi, dari Menangkap Pencuri hingga Menghalau Gerombolan

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (42): Kehebatan Upas Adi, dari Menangkap Pencuri hingga Menghalau Gerombolan

Kehebatan Upas Adi dalam menjaga keamanan kampung kami banyak diceritakan oleh orang tua. Mulai dari menangkap pencuri hingga menghalau gerombolan.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Peta lokasi Abah berjaga di Pos Tanjung untuk menghalau gerombolan di masa-masa penuh kekacauan di Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Di sana, ia biasanya bertugas selama tiga hari. (Peta: T. Bachtiar)

19 Januari 2022


BandungBergerak.id - Orang-orang tua di kampung kami menyebutnya Upas Adi. Kami pun mengikuti sebutan itu. Saat kami kecil, Upas Adi sudah pensiun. Namun, masyarakat sangat menghormatinya karena saat masih bertugas, Upas Adi dikagumi oleh masyarakat Pameungpeuk, Kabupaten Garut, dalam menjaga keamanan warga.

Dalam pandangan anak-anak, perawakan Upas Adi itu tinggi besar, dan sedikit gemuk. Kami melihat badannya saat pulang dari pancuran, pemandian umum.

Kehebatan Upas Adi sering diceritakan oleh orang-orang tua. Terutama bila di kampungnya ada yang kehilangan hewan ternak, seperti kerbau, tapi pencurinya tidak tertangkap.

“Tidak seperti zaman Upas Adi!” kata orang tua yang satu meyakinkan.

“Iya. Hanya dalam tempo satu hari, pencurinya sudah ditangkap!” tambah yang lain.

Ramailah pembicaraan tentang kehebatan Upas Adi saat menjalankan tugas. Tak ada pencuri yang bisa lolos. Tak ada gerombolan yang dapat menerobos kampung kami.  Salah satu kunci keberhasilannya, selain keberanian dan strateginya yang bagus, Upas Adi itu peta mentalnya sangat bagus. Ia sudah mengetahui medan kampung kami dan penyebaran kampung-kampung di sekitarnya. Ia tahu, jalan-jalan desa, jalan-jalan tanah, jalan-jalan setapak yang berasal dari kampung kami itu akan tersambung ke kampung mana, akan berlanjut ke kampung mana, dan akan ke luar di daerah mana.  

Dalam pikiran Upas Adi, sudah tergampar peta wilayah dengan rinci, juga wilayah di sekelilingnya. Mengetahui jalan setapak yang berseliweran itu akan berakhir di kampung mana. Dalam pikirannya sudah tergambar penyebaran pasar-pasar besar yang biasa menjual dan membeli hewan ternak.

Bila ada pencurian kerbau di Kampung A, Upas Adi akan segera menduga ke daerah mana atau ke pasar mana pencuri ternak besar itu akan berjalan. Ia akan menentukan beberapa kemungkinannya, dan satu kemungkinan besarnya, dengan pertimbangan dekat dengan pasar besar, misalnya, atau karena terdapat pasar desa yang menjual daging kerbau.

Upas Adi dan anggotanya tidak berusaha mengejar pencuri itu dari belakang, mengikuti jejak pencuri. Dengan perhitungan waktu yang cukup lama antara pencuri itu menggiring ternak dengan upaya pengejaran, maka pencuri tidak akan didapat karena sudah menjual kerbau curiannya. Oleh karena itu Upas Adi dan anggotanya hanya menunggu pencuri itu menuntun ternak curiannya di daerah-daerah yang sudah diperkirakan akan dituju. Tinggal menugaskan satu orang di jalan yang melewati kampung B, satu orang di jalan yang melewati Kampung D, dan dia sendiri akan berada di jalan yang melewati Kampung C, yang kuat dugaan, pencuri itu akan berjalan ke sana, dengan beberapa pertimbangan kemudahan dalam menjual ternaknya.

Dugaan Upas Adi umumnya tidak pernah meleset. Ia sudah berada di Kampung C sebelum pencuri itu datang. Ia hanya menanti saja di posisi itu. Dalam keremangan pagi, pencuri itu datang menuntun kerbaunya, setelah menempuh perjalanan jauhnya selama semalaman. Pencuri tak bisa berlari. Sudah terkepung. Dan senjata yang dibawa Upas Adi siap diletupkan bila pencuri itu mencoba melarikan diri. Tanpa ada perlawanan, pencuri langsung diborgol, dan dibawa ke Pameungpeuk untuk sidangkan, kemudian dibui.

Setelah berita acara ditandatangani, tambang kerbau berpindah tangan ke pemilik kerbau yang mengikuti upaya penyergapan ini. Kerbau tetap dituntun ke pasar ternak, karena untuk dibawa kembali ke kampung, pastilah sangat susah pada masa itu.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (41): Nyaba ke Bandung, Jam Enam Pagi Sudah Jajan Es Serut Tape Singkong
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (40): Membuat Pisau dari Paku Besar
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (39): Suasana Kelas Saat Pak Guru Sakit

Menghalau Gerombolan

Keberanian Upas Adi lainnya yang sering diceritakan adalah pada saat gerombolan berkecamuk di tetangga kampung kami. Rumah-rumah dibakar tanpa menyisakan sedikit pun harta-benda. Bahkan banyak nyawa warga desa yang melayang digorok golok.

Kata para orang tua, Upas Adi selalu berada paing depan. Ia mengintai pergerakan gerombolan yang sedang berjalan ke kampung-kampung yang ada di seputar kampung kami. Upas Adi akan segera mengabarkan, gerombolan sudah sampai di kampung anu, dan memberikan pesan, tindakan apa yang harus dilakukan, atau cukup berdiam saja di dalam rumah, karena satu dua orang OKD (Organisasi Kemanan Desa) sudah berjaga di luar kampung, di tempat arah kedatangan gerombolan itu.

Begitulah kampung kami relatif aman dari gerombolan, walaupun masih ada warga kampung yang dihilangkan tak diketahui mayatnya pada saat yang bersangkutan sedang berada di kebun atau sedang menjala ikan di sungai.

Diceritakan oleh para orangtua, untuk membatasi ruang gerak gerombolan, tentara bersama OKD dan masyarakat mewajibkan semua laki-laki dewasa untuk ikut serta dalam pagerbetis, pagar betis. Peralatan yang harus dibawa meliputi alat-alat masak, beras, lauk-pauk, tempat minum, kentongan, dan pakaian selama penugasan.

Abah mendapatkan tugas untuk berada di pos di daerah Tanjung selama tiga hari, untuk kemudian diganti oleh yang berjaga berikutnya. Beruntung Abah tidak kebagian tempat jaga yang jauh. Dari rumah berjalan ke arah barat, ke arah Cikoneng, terus berbelok ke arah Pangbarakan. Di pintu irigasi Cikoneng, ada jalan kontrol di pinggir irigasi ke arah barat. Satu kilometer dari pintu irigasi itulah Abah bertugas.

Suara tembakan atau jilatan api seringkali membuat ingatan para orang tua tertoreh lagi, teringat kesedihan saat peristiwa pembakaran kampung, saat ada saudara yang meninggal, atau saat perampokan. Itulah yang membuat mereka merasa lemas. Ketika anak-anak mulai bermain bedil-bedilan, perang-perangan dengan memegang senjata dari kas, papan bekas peti yang diminta dari Si Otong, banyak ibu-ibu yang merasa cemas.

“Sudah ada tanda-tandanya… semoga tidak terjadi perang…” kata ibu dari saung lisung mulai khawatir.

“Sudahlah barudak, anak-anak, jangan main bedil-bedilan…. Jangan main perang-perangan,” ibu yang lain melarang dengan nada khawatir.

Tetap saja perang-perangan terus berlangsung seharian.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//