• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (45): Bakecrot, kalau Digigit, Gula di dalamnya Muncrat!

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (45): Bakecrot, kalau Digigit, Gula di dalamnya Muncrat!

Bagi anak-anak di kampung, tidak ada kegiatan selain bermain. Entah pagi hari sebelum kelas atau di siang terik. Yang bisa menghentikan hanyalah makanan buatan Ema.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Bakecrot, camilan tengah hari yang dapat menghentikan saya bermain tanpa disuruh. (Foto: Jujun Dimyati)

9 Februari 2022


BandungBergerak.id - Tidak ada kegiatan selain bermain. Dari hari ke hari, begitu berulang. Pada saat sekolah pun, sebelum lonceng sekolah berbunyi tanda pelajaran akan dimulai, waktu menanti itu diisi dengan bemain di halaman sekolah yang sangat luas bagi anak-anak. Kucing-kucingan, menerbangkan kapal-kapalan dari kertas, bermain ayam dan musang, galah, loncat tinggi, atau loncat jauh.

Kami masuk ke dalam kelas selalu dalam keadaan berkeringat. Keringat disusut dengan lengan yang berdebu, sehingga di wajah anak-anak terlihat jejak lengan, yang di pinggirnya menempel debu basah yang kemudian mengering.  

Pelajarannya tidak banyak. Ada berhitung. Selain belajar penjumlahan, pengurangan, kami juga belajar perkalian dan pembagian. Bu Guru menerangkan perkalian itu dengan batu-batu kerikil sebesar kelereng yang banyak terdapat di Ci Palebuh. Berulang-ulang Bu Guru menjelaskan daengan berbagai contoh, yang hasilnya semakin banyak.

Batu-batu kerikil berserakan di atas meja Bu Guru. Satu dua orang dipanggil ke depan, lalu Bu Guru menyebutkan 5 x 6 = … dan 7 x 4 = …. Anak perempuan memeragakan dengan kerikil di atas meja Bu Guru. Anak laki-laki memeragakannya di lantai batu.

Setelah itu anak-anak dianggap dapat mengerjakan soal perkalian, dan tiga hari lagi akan ditanya satu-satu, atau disuruh ke depan untuk menyebutkan perkalian. Bu Guru akan menentukan, siapa yang kebagian perkalian 4, 5, 6, 7, 8, atau 9.

Akhirnya anak-anak membuat daftar perkalian sesuai yang diminta Bu Guru. Anak-anak belajar kali-kalian dengan cara menghafal. Anak-anak menghafal dengan cara diucapkan keras-keras, agar pada saat diminta untuk menjawab, dapat menjawabnya dengan benar. Suatu hari akan ditanya satu per satu di depan kelas.

Satu kali lima lima

dua kali lima sepuluh

tiga kali lima limabelas

dan seterusnya.

Anak yang lain melakukan hal yang sama.

Satu kali tujuh tujuh

dua kali tujuh empatbelas

tiga kali tujuh dua puluh satu

dan seterusnya.

Begitu semua anak-anak setengah berteriak menghapalkan kali-kalian. Kelas benar-benar bising!

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (44): Tiga Jenis Binatang yang Dipercaya Anak-anak Sangat Berbahaya
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (43): Mang Sahri bagai Tupai, Berpindah dari Satu Pelepah Kelapa ke Pelepah Kelapa Lain
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (42): Kehebatan Upas Adi, dari Menangkap Pencuri hingga Menghalau Gerombolan

Cerita dan Olahraga

Setelah pelajaran berhitung, anak-anak belajar membaca ceritera dari buku yang dibagikan Bu Guru. Ceritanya beragam. Ada cerita tentang gempa bumi. Dalam gambarnya ada kura-kura yang di atasnya berdiri seekor lembu jantan yang gagah. Lembu inilah yang menyangga bumi. Bila kura-kura itu bergerak, maka sapi akan bergerak, sehingga tempat manusia hidup dan berkehidupan akan bergoyang. Masih ada banyak cerita lainnya yang terhimpun dalam buku yang dibagikan seminggu sekali.

Ada juga pelajaran olahraga, seperti bermain kasti, bolabakar, yang diadakan di alun-alun. Sementara itu, pelajaran loncat tinggi atau loncat jauh dilaksanakan di halaman sekolah, di sisi barat yang berbatasan dengan gang.

Hari Sabtu semua anak-anak wajib korve, beres-beres, bersih-bersih sekolah. Baik di dalam kelas maupun di halaman sekolah. Kalau korve dapat dilaksanakan dengan cepat, sebelum pulang, anak-anak disuruh menuliskan pengalamannya yang paling menarik selama seminggu ke belakang. Menulis dengan topik bebas, yang berbeda antara satu pelajar dengan pelajar lainnya.

Bila minggu lalu belajar menulis, maka minggu ini satu per satu anak-anak dipanggil ke dapan kelas untuk berceritera. Ceritanya pun apa saja yang dialami anak-anak dalam seminggu ke belakang. Ada anak yang berani ke depan, tapi sekadar berdiri sambil kakinya digerak-gerakkan, senyum-senyum sendiri sambil menunduk. Bu Guru memanggil yang lain, sementara anak itu dibiarkan berdiri beberapa saat sampai ia mau bercerita.

Bagi anak-anak, pulang ke rumah hanya untuk menyimpan buku. Setelah itu kami berlari kembali ke lapangan milik Pak Patih. Di sana anak-anak bermain bola. Ada pemain yang sudah besar sedikit, dan jago dalam menggiring bola, seperti Ade Emul, Ade Uyut, dan Ade Bakrik. Banyak nama Ade di kampung kami. Itulah sebabnya setiap nama Ade selalu diakhiri dengan nama tambahan pemberian kawan-kawannya. Seperti Ade Bakrik.

Bakrik itu sebatang bambu yang yang bagian akarnya sengaja tidak dipotong, tapi dibiarkan melengkung. Bakrik sangat diperlukan, karena pada saat itu rumah-rumah di kampung kami lebih dari 90 persen masih berdinding bilik, anyaman bambu halus, sehingga mudah terbakar. Dengan bakrik yang berujung melengkung itulah, rumah yang terbakar dapat dengan mudah dikait, lalu dirobohkan, sehingga api tidak membakar rumah di sebelahnya.

Rupanya bakrik yang berfungsi sebagai pengait itulah ditambahkan untuk Ade, yang, maaf, sejak kecil terkena penyakit polio, sehingga kaki kanannya mengecil, keras, tidak tumbuh dengan baik. Namun ia biasa saja dengan nama tambahan itu. Mulai diberi nama itu pada saat bermain bola. Ia mampu berlari dengan cepat, dan jago mengambil bola yang sedang digiring oleh pemain lawan. Karena kaki bawahnya yang keras suka mengait kaki lawan, seperti kegunaan bakrik, maka di belakang namanya ditambahkan bakrik. Ade Bakrik. Tambahan nama itu hanya untuk membedakan dengan nama Ade yang lain. Ade Bakrik pun biasa saja, karena dalam pergaulan, dan permainan bola, itu dianggap biasa saja. Ia tidak dibeda-bedakan.

Gegetuk, Bakecrot, dan Babantal

Sehabis capai bermain, sesekali saya melihat apa yang dibuat Ema di dapur. Kalau tengah hari Ema membuat makanan, permainan apapun saya hentikan. Makanan penyelang yang sering dibuat Ema adalah: singkong diiris-iris kecil, sebesar jari, lalu dikukus sampai matang. Bila sudah matang, dicampur dengan parudan kelapa dan diberi sedikit garam. Ema menyebutnya urab sampeu. Sekali waktu, singkong kukus itu setelah dicampur dengan parudan kelapa, lalu ditumbuk, sedikit dihaluskan, namun teksturnya masih terasa. Ema menyebutnya gegetuk, getuk singkong.

Masih dari bahan singkong. Singkong diparud, lalu diaduk dengan parudan kelapa. Sekitar dua sendok dimasukkan ke dalam daun pisang yang sudah dibentuk kerucut. Gula merah yang sudah dipotong-potong dadu sebesar ruas jari, lalu ditutup dengan dua sendok parudan singkong tadi. Daun yang masih tersisa ditutupkan dengan bentuk persegi. Dimasukkan ke dalam dandang dengan bagian persegi menjadi bagian di bawah, dan ujung kerucut ada di bagian atas. Dikukus sampai matang.

Gula yang semua potongan berbentuk dadu, setelah matang menjadi cair, tapi tidak meleleh ke luar. Itulah yang menyebabkan, kalau memakan camilan ini tidak hati-hati, digigit secara sembarang, gulanya akan muncrat ke mana-mana. Rupanya inilah yang menyebabkan camilan ini dinamai bakecrot.

Ada juga camilan lain dengan bahan yang persis sama. Bedanya gula merahnya dihaluskan dan diaduk dengan parudan singkong dan kelapa. Bentuk bungkusnya juga berbeda. Bentuknya memanjang. Camilan ini dinamai babantal, karena mirip seperti bantal yang panjang.

Itulah makanan tengah hari yang menjadi daya tarik bagi saya. Ema tak perlu memanggil berkali-kali agar jangan main tengah hari, pada saat panas terik sedang berada di puncaknya. Saya akan berhenti sendiri, dan duduk bersila menanti makanan itu matang.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//