• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (47): Doa dan Harapan Anak-anak saat Bermain dan Menjelang Tidur

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (47): Doa dan Harapan Anak-anak saat Bermain dan Menjelang Tidur

Kalau perut mulas pada malam hari, pergi ke sungai sangatlah menakutkan. Selain ular belang, ada kunti yang melayang-layang sambil cekikikan di atas sungai.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Kunti, sosok makhluk halus berwujud perempuan tua berambut panjang yang terbang di atas sungai sambil tertawa bercekikikan…. Hiii… hiii… hiii…. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

23 Februari 2022


BandungBergerak.id - Dari kejauhan sudah terdengar suara prak… prak… prak! Warga di sepanjang jalan itu sudah hafal betul, itulah suara tongkat panjang dari galah bambu yang membentur pagar bambu. Itulah Mang Nukri, seorang tua penyandang tunanetra yang tinggal di pinggir astana, kuburan di Cikoneng.

Setiap hari, dengan kantong kain yang diselempangkan menyamping, Mang Nukri berjalan dari rumahnya ke arah alun-alun. Cara mengayunkan tongkatnya yang dua meter panjangnya itu agak dibantingkan ke kiri dan ke kanan. Bila tongkatnya masih mengenai pagar bambu, yang dicirikan dengan suara prak, ia akan merasa aman, karena masih melintas di jalan yang seharusnya.

Bagi warga yang akan memberikan derma, bunyi prak itu menjadi penanda bahwa Mang Nukri sudah berada di depan rumah. Pemilik rumah yang akan memberikan derma segera ke luar. Derma dari warga sangat beragam jenisnya, sesuai dengan apa yang dimilikinya saat itu. Ada yang berderma dengan sebungkus nasi dan lauk-pauknya, ada yang berderma dengan secangkir beras, ada juga yang berderma dengan uang.

Bermain Layang-layang dan Sakit Perut

Bagi anak-anak, bunyi prak itu sebagai penanda bahwa hari mulai beranjak siang, matahari sudah mulai menyengat, tapi angin belum begitu bagus bertiup bagus untuk bermain layang-layang. Namun karena sudah ingin segera menerbangkan layang-layang, mereka tetap membawa layang-layang ke lapangan, ke lahan milik Pak Patih. Sambil digerak-gerakan, benangnya ditarik-tarik sambil diulur, berharap angin segera berembus.

Asep bersiul menirukan suara angin, diselingi dengan mengatakan hiuk… hiuk… hiuk…. Berharap agar angin segera bertiup. Di sisi yang lain, anak-anak memanjatkan harapan dengan dilagukan: Badéong… Badéong… Pangmukakeun lawang angin…. Badéong… Badéong… Tolong bukakan lawang angin… Terus berulang-ulang. Dan, angin pun mulai berembus, terlihat meniup daun kelapa.

Hanya dengan sekali tarikan, layangan menaik mayung di atas kepala. Benangnya diulur, kemudian ditarik kembali, dan layang-layang pun sudah lebih tinggi dari pohon kelapa. Ada yang berani untuk diadu, ada yang senang untuk bermain layang-layang saja. Apalagi diberi buntut dari kertas yang panjang, menandakan bahwa layangan itu hanya untuk kesenangan dan tidak boleh ada yang mengadu.

Sampai menjelang bedug zuhur, anak-anak masih bermain layang-layang. Kami baru berhenti kalau bedug sudah dibunyikan, dititirkeun, dipukul beruntun sebagai penanda waktu zuhur. Bila ada anak-anak yang membandel, masih bermain layang-layang pada saat matahari persis ada di atas ubun-ubun, biasanya selalu begitu, besoknya ia akan sakit mata. Matanya memerah dengan belek, tahi mata yang bertumpuk tebal. Kami selalu menjauhinya, takut tertular.

Terkadang, ketika kami sedang asyik-asyiknya bermain, perut terasa mulas ingin buang air besar. Saking tidak mau terganggu bermain, anak-anak berlari ke rumah, bukannya ke pancilingan, WC yang berada di atas kolam.

Anak-anak segera pergi ke dapur, di sana ada deretan botol yang berisi minyak tanah. Botol dimiringkan, minyak tanahnya mengalir ke telapak tangan yang dicekungkan. Lalu minyak tanah itu diusapkan ke perut di sekitar pusar. Bau minyak tanah tercium kuat. Lalu kami berlari kembali ke lapangan untuk bermain.

Bila perut masih terasa mulas, batu sebesar lereng dimasukkan ke saku celana. Tak ada cara lain, bila sudah benar-benar tidak kuat, perut melilit, kotoran di dalam perut minta dibuang, anak-anak akan segera berlari ke sungai atau ke pancilingan terdekat. Kebiasaan memasukkan batu kecil ke saku celana itu sering dilakukan juga ketika kami memasuki daerah baru, ke daerah yang memang belum pernah dimasuki. 

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (46): Mandi tanpa Sabun, Gosok Gigi dengan Pucuk Ilalang
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (45): Bakecrot, kalau Digigit, Gula di dalamnya Muncrat!
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (44): Tiga Jenis Binatang yang Dipercaya Anak-anak Sangat Berbahaya

Ular Belang dan Kunti

Pada tahun-tahun itu, umumnya rumah di kampung kami belum memiliki jamban sendiri. Kalau hendak buang hajat besar, orang harus pergi ke pancilingan terdekat, yang oleh anak-anak disebut juga helikopter, atau pergi ke sungai.

Bila rasa mulas itu terjadi pada malam hari, itu hal yang paling tidak diharapkan. Sebab, pergi ke sungai pada malam hari adalah hal yang sangat menakutkan. Bukan saja merasa seram karena banyak diceritakan tentang kunti, setan perempuan yang biasa melayang-layang di atas sungai, dengan rambutnya yang terjuntai panjang, tapi juga masih banyak oray welang, ular belang yang mematikan.

Perasaan takut itulah membuat doa harapan anak-anak menjadi benar-benar ampuh. Tidak pernah mules tengah malam, karena berganti kentut.

Cakakak di leuweung,

injuk talina.

Dihakan dibeuweung,

hitut jadina.

(Cakakak di hutan,

ijuk talinya.

Dikunyah dimakan,

kentut jadinya).

Ada satu lagi harapan yang lebih ampuh, maksudnya langsung disebutkan.

Pucang pecing

Beulah hoé

Ulah ngising tengah peuting

Engké waé tengah poé.

(Pucang pecing

Belah rotan

Jangan buang hajat tengah malam

Nanti saja tengah hari).

Itulah harapan kami saat akan tidur, dan pantun ini selalu saya ucapkan setelah doa tidur yang diajarkan di masjid Ajengan Idim. Pantun itu sudah menjadi mantra yang matih, yang ampuh bagi anak-anak agar tidak mulas pada malam hari.

Saat bermain atau ketika mengambil kayu bakar di kebun, karena terik matahari, anak-anak bekerja di bawah pohon. Tiupan angin merontokkan kalakay, daun kering, lalu jatuh menimpa badannya. Daun kering itu akan dipungut, lalu anak-anak meludah di atas daun, dan segera dibuang kembali, sambil mengucapkan, “Silahkan duluan saja!”

Dalam kepercayaan anak-anak, daun kering yang jatuh menimpa tubuhnya itu dimaknai sebagai ajakan untuk berpulang ke alam keabadian. Anak-anak takut untuk mati saat bermain, makanya mereka segera meludah di atas kalakay itu.

Ada juga yang percaya, daun kering itu mengabarkan akan adanya penyakit yang menimpanya. Oleh karena itu harus ditolak dengan meludah di atas daun kering itu.

Begitulah doa dan harapan anak-anak diucapkan agar waktu bermainnya tidak tersita. Juga agar terhindar dari rasa takut akan ular atau kunti yang terbang di atas sungai sambil tertawa cekikikan. Hiii … hiii… hiii….

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//