• Kolom
  • Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (51): Berharap Kaya dengan Mengabdi Siluman Anjing, Siluman Bagong, Siluman Ular, Buta Ijo, atau Kesrek Seumur Hidup

Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (51): Berharap Kaya dengan Mengabdi Siluman Anjing, Siluman Bagong, Siluman Ular, Buta Ijo, atau Kesrek Seumur Hidup

Agar jadi kaya raya, ada saja orang yang mengambil jalan pintas menjadi pengabdi siluman. Di kampung, anak-anak mendengar banyak cerita menakutkan seperti ini.

T. Bachtiar

Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)

Cerita tentang siluman bagong sering didengar oleh anak-anak di kampung kami di Pameungpeuk, Garut. Pesan seorang ibu, bila melihat bagong di perkampungan, kami harus melemparkan samping atau sarung. (Ilustrasi: T. Bachtiar)

23 Maret 2022


BandungBergerak.id - Petang, lewat asar, tiba-tiba ada yang bercerita tentang kedatangan seorang bapak di luar kampang kami yang memohon bantuan. Kata lelaki itu, bila ada seekor anjing yang mencurigakan, berperilaku kebingungan dan sedih seperti manusia, warga diminta melemparkan samping, kain, atau sarung. Anjing itu dia sebut sebagai anaknya.

Anak-anak seolah tak berkedip mendengarkan cerita yang menyebar begitu cepat itu. Ternyata di pos ronda dekat rumah Mok Maah pun ada kerumunan yang sedang menceritakan hal yang sama. Ada imbalan bila ada yang mendapatkannya.

Anak-anak tertarik dengan imbalannya, dan merasa kasihan kepada anak yang berubah menjadi anjing. Setiap anjing yang melintas, termasuk anjing yang sudah sangat kami kenali sebagai anjing milik Mang Inén, jagoan berburu di kampung kami, tak luput dari perhatian. Pokoknya semua anjing yang melintas di dekat anak-anak, menjadi perhatian.

Di pos ronda itu, seorang bapak bercerita berdasarkan penuturan dari bapak yang sedang kesusahan mencari anaknya yang berubah wujud menjadi anjing. Dikisahkan, pada suatu siang sang anak membuka-buka lemari baju orangtuanya tanpa sepengetahuan orangtuanya yang sedang berada jauh di luar rumah. Anak itu tertarik dengan baju yang tergantung paling ujung, baju yang menyerupai kulit anjing.

Penasaran dengan baju itu, lalu dicobanya, dan ternyata pas dengan ukuran tubuhnya. Selesai merapikan bajunya, sang anak tiba-tiba sudah berubah wujud menjadi anjing yang menyalak dan meloncat ke luar rumah, lalu berlari menghilang di kejauhan.

Selama dua hingga tiga hari, di setiap ada kerumunan, tak terkecuali saat anak-anak berenang di Leuwi Kuning, belum hilang demam menceritakan anak yang menghilang menjadi anjing. Namun, karena tak kunjung ada yang melihat apa yang menjadi ciri-ciri yang diceritakan, lama-lama cerita itu menghilang.

Berharap Kaya

Setiap saat, sering kami mendengar cerita-cerita tentang orang-orang yang ingin kaya-raya dengan cara-cara yang tidak lazim. Kadang menyeramkan juga mendengarkan cerita-cerita itu, dan menakutkan. Namun cerita seperti itu begitu dekat dengan anak-anak.

Suatu malam, tiba-tiba ada yang mengatakan sambil gemetar, bahwa dia melihat bagong, babi hutan, di belakang rumah seseorang. Ketika akan ditangkap beramai-ramai, tiba-tiba bagong itu menghilang seketika tak diketahui arahnya. Ributlah cerita tentang nyegik, cara mendapatkan uang dengan cara berganti wujud menjadi bagong.

Pernah juga kami mendengar cerita yang mirip dengan anak yang memakai baju anjing. Kali ini yang datang adalah seorang ibu yang memohon bantuan, bila warga melihat bagong di perkampungan yang memperlihatkan perilaku seperti manusia, seperti terlihat sedih dan bingung, mereka diminta melemparkan samping, kain, atau sarung.

Cerita-cerita seperti ini tak bertepi, dan bisa melebar ke berbagai arah. Bahkan ada yang menceritakan tentang orang yang munjung, orang yang menjadi kaya-raya, tapi jauh sebelum kematiannya, ia harus mengabdi pada Buta Ijo dan bersedia menjadi apa saja di perkampungan Buta Ijo itu.

Konon, ada tiga orang yang pergi ke suatu tempat dengan niat sudah bulat ingin kaya-raya dengan cara-cara yang tak lazim. Dalam cerita-cerita di kampung kami, ada banyak cara dan kepada siapa nanti sebelum ajal menjemput, harus berbakti terlebih dahulu, sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Misalnya menjadi kaya raya, tapi nanti harus terlebih dahulu mengabdi pada siluman Buta Ijo, mengabdi pada siluman anjing, siluman ular (ngipri), siluman monyet (nyupang, ngetek), tuyul (ngecit, kecit), dan ngopet. Orang menjadi kaya raya, tapi setiap waktu harus ada yang dikorbankan.

Sebelum ajal yang sesungguhnya menjemput, para pengabdi siluman itu harus mau dijemput paksa menuju perkampungan siluman, dan akan dibuat berbagai perlengkapan yang ada di perkampungan siluman.

Pada suatu malam, di rumah kuncen, juru kunci, mereka yang sudah mempunyai keputusan untuk menjadi kaya-raya dengan cara menagbdi setan itu dipersilakan menginap. Selain mereka, sudah ada tamu lain yang datang dari berbagai tempat yang jauh. Karena lelah, semua segera tertidur dengan nyenyak.

Menjelang pukul tiga dini hari, ada satu orang terbangun, ingin ke belakang. Di ruang tengahnya yang besar memanjang, terlihat ada seekor anjing yang tinggi besar berbulu coklat. Di atas tikar pandan yang rapi, berjajar piring dan mangkuk. Anjing tinggi besar itu berjalan pelan, lalu muntah ke dalam piring dan mangkuk, sampai semua piring dan mangkuk itu penuh terisi. Ada bubur yang mengepul, dan beragam makanan untuk sarapan nanti.

Tamu yang terbangun tadi malam menahan mual, lalu pura-pura tertidur sampai pagi. Saat tamu-tamu sudah berjajar mengelilingi ruangan besar itu, dan menikmati hidangan sarapan lagi, orang yang bangun malam-malam, tak kuasa melanjutkan niatnya. Kuncen sudah mengerti dengan keadaan itu, dan mempersilakannya untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang itu ia melihat berbagai pemandangan yang tak lazim. Beberapa orang dilihatnya menjadi pijakan tempat mandi di atas kolam, yang lain menjadi dindingnya, atapnya, dan menjadi saluran air. Ada yang menjadi pagar, yang menjadi sasak, jembatan kecil, dan menjadi pijakan penahan tangga yang menuju rumah kuncen.

Baca Juga: Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (50): Ragam Makanan Berbahan Dasar Beras Ketan, dari Opak, Bugis, hingga Calangaren
Ingatan Masa Kecil 1965-1970 (49): Ketika Anak-anak Sekampung Keranjingan Mendorong Pelek Sepeda

Korban Para Pengabdi Siluman

Di antara banyak orang itu, ada satu dua orang yang ia kenali rupanya, yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia terus berjalan tanpa ragu. Ia harus pulang, ingin kembali pada kehidupan yang biasa, dengan cara-cara yang biasa.

Terkadang, ada orang kaya yang dibicarakan banyak orang. Dipercayai, sudah tiba waktunya untuk mengorbankan seorang manusia. Kabar itu segera tersebar. “Tahun lalu ada anaknya meninggal. Persis setahun, malam ini hajatan. Jangan-jangan…” bisik orang-orang itu.

Kalau tidak ada orang lain yang menjadi korban, anaknya yang akan dijemput paksa untuk dikorbankan. Atau bahkan dirinya sendiri. Ketika orang itu menyunatkan anaknya, lalu pada malamnya diadakan pertunjukan wayang semalam suntuk, anak-anak tak berani menonton sampai malam apalagi sampai subuh. Khawatir ada kecelakaan yang memakan korban.

Cerita-cerita tentang orang yang dijemput siluman sering diceritakan malam menjelang tidur, sehingga suasananya berubah menjadi menakutkan. Anak-anak tak berani memisahkan diri, takut akan ada yang menjemput dan berkata: “Tuh ambil yang di sudut depan sendirian!”

Ketika terjadi hujan besar siang-malam selama seminggu, yang berbarengan dengan orang kaya yang meninggal, cerita tentang bumi yang tak mau menerima kepulangan orang itu begitu cepat tersebar. Konon, mayat itu harus digulung dengan palupuh, lantai rumah dari bambu, lalu dihanyutkan di sungai yang sedang banjir bandang.

Bahkan ada cerita tentang mayat yang belum sampai di astana, permakaman, ketika mayat itu masih digotong dalam keranda, tiba-tiba ada yang meloncat dari dalam keranda itu ke atas dahan pohon, lalu menghilang. Konon, ketika kain kafan itu dibuka, isinya hanyalah batang pohon pisang.

Ada juga cerita tentang orang yang menjadi orang kaya, tapi menjadi seumur hidupnya menederita penyakit kulit, gatal, kering, seperti bersisik, yang tak sembuh-sembuh.

Cerita tentang kehidupan dan kematian para pengabdi siluman menjadi cerita keseharian yang didengar anak-anak dalam berbagai kesempatan.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//