Membaca Perang Ideologi Emmanuel Macron dan Marine Le Pen di Pilpres Prancis
Hasil Pilpres Prancis akan menentukan peta politik negeri Ayam Jantan, termasuk soal invasi Rusia ke Ukraina.
Adrian Aulia Rahman
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)
24 April 2022
BandungBergerak.id - Perancis sebagai sebuah negara adalah suatu representasi dari tumbangnya absolutisme monarki dan berdirinya republik demokratis. Revolusi agung 1789 adalah sebuah revolusi liberal yang memiliki signifikansi pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika sosio-politik masyarakat, bukan hanya di Prancis, tetapi juga di seluruh dunia.
Monarkisme Prancis resmi dihapuskan pada 21 September 1792, setelah melalui perjuangan revolusioner yang berdarah dan memakan korban. Tenggelamlah monrakisme absolut yang syarat akan nilai-nilai feodal dan totalitarian, dan bergantilah menjadi Prancis yang menjungjung tinggi kebebasan dan kesetaraan manusia, sebagaimana selogan Revolusi Prancis yang terkenal itu, liberté (kebebasan) egalite (kesetaraan) dan fraternité (persaudaraan).
Penjelasan diatas merupakan sedikit pengantar dan pengingat bagaimana transformasi sistem pemerintahan di Perancis dari monarki menjadi republik. Walupun sempat terkungkung dalam kekuasaan diktator Napoleon Banoparte di abad ke-19, dan sempat melemah kekuatannya di saat perang dunia dua dengan invasi Nazi Jerman, Perancis adalah salah satu kekuatan dunia yang berkomitmen pada demokrasi, kebebasan dan kesetaraan.
Dalam tulisan opini saya kali ini, saya ingin sedikitnya mengulas dan tentu saja membubuhkan opini saya terkait dengan pesta demokrasi pemilihan presiden (pilpres) yang saat ini sedang dihelat di Perancis. Saya tertarik dengan pilpres Perancis, selain karena calon presidennya, juga karena implikasi yang akan timbul terkait siapa yang akan terpilih nanti sebagai Presiden Perancis di pilpres 2022 ini. Siapa yang akan terpilih nanti sebagai presiden pilihan rakyat Perancis, akan membawa dampak yang signifikan baik bagi politik domestik Perancis, politik regional Uni Eropa, dan politik internasional.
Baca Juga: Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme
Dampak Invasi Rusia ke Ukraina pada Perekonomian Indonesia
Sebagai Saudara Muda Rusia, Sudah Tepatkah Indonesia Menyetujui Resolusi PBB?
Macron vs Le Pen, Siapakah yang akan Menuju ke Élysé Palace?
Pemilihan presiden di Perancis pada putaran awal diikuti oleh 12 kandidat calon. Namun pada rabu 13 April yang lalu, dikutip dari iNews.com, Dewan Konstitusi Prancis mengumunkan Emmanuel Macron dan Marine Le Pen lolos untuk mengikuti pemilihan lanjutan di putaran kedua. Macron sebagai incumbent berasal dari partai La République En Marche (LaREM), dan lawannya Le Pen berasal dari partai Rassemblement National (Barisan Nasional). Emmanuel Macron memperoleh 9.783.058 suara (27,85 persen), sedangkan Le Pen memperoleh 8.133.838 suara (23,15 persen).
Presentase suara di putaran pertama memang menunjukan keunggulan Macron. Namun tentu saja kepastian pilpres ini belum terlihat dengan jelas. Suara dari 10 kanditat lainnya, yang gagal melenggang ke putaran kedua, akan menentukan siapakah yang akan memenangkan pemilihan dan melenggang ke Élysé Palace. Apabila dilihat, pertarungan antara Macron dan Le Pen memang sebagaimana lazimnya pemilihan presiden, sengit dan mempolarisasi rakyat. Dan saya melihat pertaruang dua tokoh ini adalh pertaruang ide antara liberalisme dan konservatisme.
Macron berasal dari partai yang berideologi liberalisme dan progresivisme, yang dalam spektrum ideologi politik cenderung tengah-kiri. Sedangakan lawannya, Le Pen berasal dari partai yang berideologi tengah-kanan yang kental akan konservatisme. Kedua kandidat ini merepresentasikan dua ideologi utama yaitu liberalisme dan konservatisme. Secara ideologi, Le Pen memang begitu kukuh mempertahankan konservatisme, dengn argument-argumennya yang antiimigran, anti-Islam, bahkan anti-Uni Eropa dan NATO.
Yang menarik adalah, dalam kampanyenya Le Pen berjanji akan melarang penggunaan hijab di Peracis sebagai wujud perlawannanya terhadapa islamisme. Pernyataan ini tentu saja adalah hal yang ‘berani’ dilonatarakan oleh seorang calon presiden. Namun juga saya tidak heran, karena ideologi konservatsime Barisan Nasional memang berkutat pada isu-isu semacan itu. Bahkan bukan hanya Islam, Le Pen dan partainya pun memiliki sikap politik yang anti-Yahudi dan antiimigran. Hal ini tentu akan berpengaruh pada perolehan suara Le Pen dalam pemilihan presiden melawan rivalnya Emmanuel Macron.
Pendapat saya, pernyataan dan sikap politik Le Pen secara langsung bertentangan dengan semangat Revolusi 1789. Revolusi yang dengan selogannya yang agung memperjuangkan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan akan ternodai dan dilanggar seandainya Le Pen terpilih menjadi Presiden Prancis. Perancis sebagai negara yang menjungjung tinggi kebebasan dan demokrasi politik, akan luntur sama sekali apabila terjadi diskriminasi terhadap beberapa entitas masyarakat termasuk muslim. Namun tentu saja, rakyat Prancislah yang akan memilih dan menentukan siapaa yang pantas menjadi presidennya.
Namun dari beberapa jajak pendapat, petahana Emmanuel Macron masih menunjukkan keunggulannya. Dan apabila Emmanuel Macron sebagai petahana mampu meraih kembali dukungan rakyat untuk melanjutkan jabatannya di periode kedua, maka ia menjadi presiden yang berhasil menjabat selama dua periode setelah Jacques Chirac pada tahun 2002. Namun sekali lagi, suara rakyatlah yang akan menentukan, rakyat adalah penentu pemilihan presiden ini dan sekaligus penentu masa depan Perancis.
Saya ingin sedikit menyinggung terkait dengan politik regional dan internasional, terutama yang berkaitan dengan pemilihan presiden Prancis. Sebagaimana kita ketahui, Eropa timur, tepatnya di Ukraina sedang terjadi konflik militer yang kini memaskuki bulan ketiga. Operasi Militer yang dilakukan Rusia telah membuat ketidakstabilan politik regional di Eropa dan dunia. Dan dalam kasus ini, Perancis tentu saja menjadi salah satu pihak yang tergabung dalam western allies (aliansi barat), yang keras mengecam Rusia.
Perancis di bawah presiden Macron menjadi negara yang turut menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Hal ini dikritik oleh Marine Le Pen yang berpendapat bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia, dikhawatirkan akan membuat Rusia jatuh ke pelukan China dan akan membawa dampak yang merugikan bagi Prancis dan Eropa. Keritikan Le Pen ini mengindikasikan bahwa Le Pen dalam politik luar negerinya cenderung pro-Rusia daripada menjadi buntut Amerika. Hal ini sebagaimana tuduhan Macron yang menyebut Le Pen sebagai antek Rusia, dan partai Barisan Nasional Le Pen pernah meminjam dana besar dari Rusia pada 2017.
Lebih jauh lagi Macron menuduh, jika Le Pen terpilih maka kebijaknnya akan membawa Perancis keluar dari persekutuan Eropa dan merapat ke Rusia. Walupun Le Pen membantah itu dengan menyebut bahwa dirinya adalah seorang yang merdeka dan tidak tunduk pada siapa pun. Dalam pernyataan-pernyataannya saya sudah bisa melihat ke arah mana kebijakan politik luar negeri dari kedua calon ini. Macron yang Eurosentris dan Le Pen yang cenderung lebih friendly kepada Rusia. Bukan tidak menutup kemungkinan apabila Le Pen terpilih, ia akan membawa Perancis keluar dari Uni Eropa sebagimana Brexit (British Exit), dan ini tentu akan sangat menggemparkan perpolitikan dunia.