PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #3: Perseteruan Persis dengan Perkumpulan Permufakatan Islam
Haji Zamzam dari Persis menyangkal tuduhan-tuduhan kepada Persis. Di antaranya soal penggunaan tasbih. Masalah ini dibahas dalam pertemuan di gedung bioskop.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
29 Mei 2022
BandungBergerak.id - Minggu 21 Maret 1926, Persatuan Islam menggelar pertemuan terbuka di gedung Bioskop Elita, Bandung. Pertemuan ini dihadiri sekitar 3.000 orang, termasuk banyak dari kalangan komunis yang hadir. Penjagaan ketat pun dilakukan oleh aparat polisi. Bahkan kegiatan ini bukan saja dihadiri oleh beberapa organisasi, namun juga oleh para pejabat seperti Komisaris Polisi Latour dan Stein, Kepala Camat Mahmud, serta beberapa pejabat pengawas dan mantri (De Sumatra post 25 Maret 1926).
Pukul 10 pertemuan dibuka, dengan dipimpin oleh Sabirin sebagai sekretaris Persis. Mula-mula Sabirin menjelaskan tentang gesekan yang terjadi di sebuah masjid di Bandung yang menyebabkan perseteruan antara pihak Persis dan Perkumpulan Permufakatan Islam (De Sumatra Post 25 Maret 1926).
Konon, gesekan itu dipicu setelah seseorang dari Perkumpulan Permufakatan Islam bernama Usman memberikan khutbah Jum’at terkait pandangannya yang dianggap ortodoks. Mendengar ceramah tersebut, laporan Bataviaasch Nieuwsblad 8 Maret 1926 mengklaim, bahwa beberapa orang anggota Persis telah menyerang anggota Perkumpulan Permufakatan Islam usai khutbah Jum’at berlangsung. Kejadian itu kemudian menimbulkan kericuhan yang tak bisa dihindarkan antara anggota Persis dan Permufakatan Islam. Tidak disebutkan siapa saja anggota Persis yang menjadi pelaku penyerangan itu. Namun peristiwa tersebut mengakibatkan satu orang dari warga lokal dan orang Arab mengalami luka ringan.
Perseteruan antara kelompok Persis dan Perkumpulan Permufakatan Islam tidak berhenti sampai di situ. Ketika polisi berdatangan ke lokasi kejadian, terdapat perintah untuk membuka sepatu dari pemimpin komplotan itu. Setelah perintah itu diberikan para pelaku berhasil melarikan diri. Sampai malam hari, aparat polisi masih terus berjaga. Bahkan menurut polisi, kericuhan itu bisa saja berbuntut panjang bukan saja terjadi pada hari itu (Bataviaasch Nieuwsblad 8 Maret 1926).
Berdasarkan laporan yang dimuat oleh De Nieuw Vorstenlanden 12 Mei 1926, salah seorang yang terluka itu bernama Ma’mur. Berita yang diambil dari pernyataan anggota Persis yang kemudian dilansir dari surat kabar AID Preangerbode ini mengabarkan, polisi sudah menangkap dua orang pelaku dengan inisial M dan A. Kedua orang itu konon bertempat tinggal di Jalan Pangeran Sumedang (kini Jalan Oto Iskandar Di Nata). Tidak jauh dari kantor pengurus Persatuan Islam saat itu.
Perkumpulan Permufakatan Islam
Organisasi keagamaan Perkumpulan Permufakatan Islam berdiri di Bandung pada tahun 1924. Hal ini sebagaimana diinformasikan dalam Algemeen Handelsblad voor Nedelandsch-Indie 22 November 1924. Media berbahasa Belanda itu melaporkan bahwa telah berdiri Perhimpunan Permufakatan Islam di Bandung dengan massa yang beranggotakan 57 orang. Adapun pengurus dari perkumpulan ini di antaranya, Haars sebagai ketua, Sulaiman sebagai sekretaris, Haji Dachlanrawi sebagai sekretaris dua dan beberapa komisioner yang terdiri dari 27 orang dari kaum tua dan 27 orang dari kaum modern.
Berbeda dari laporan Algemeen Handelsblad voor Nedelandsch-Indie, Federspiel mencatat bahwa perkumpulan ini lahir pada tahun 1926 akibat perpecahan di tubuh Persis. Dalam catatan kaki The Persatuan Islam, Federspiel mengambil rujukan pada sebuah dokumen Hindia Belanda (Indische Verslag) tahun 1930. Merujuk pada dokumen tersebut Federspiel menilai bahwa Perkumpulan Permufakatan Islam di tahun-tahun itu sudah tidak lagi berjalan. Kemungkinan semua anggota Permufakatan Islam yang sebelumnya aktif sudah bergabung ke dalam organisasi Nahdhatul Ulama yang didirikan tahun 1926. Melalui catatan kaki itu Federspiel menulis:
“Usual references on Muslim organizations existing at that time reveal no further information about the Permoefakatan Islam. It is likely that the organization either passed out of existence, or was absorbed into the Nahdlatul Ulama, founded in 1926 by several kaum tua leaders in Central Java” (Federspiel, 1966: 36).
Bukti lain yang menguatkan munculnya Perkumpulan Permufakatan Islam sebelum tahun 1926 yaitu, adanya rapat yang digelar di Gedung Bioskop Oriental, Bandung. Algemeen Handelsblad voor Nedelandsch-Indie 28 Januari 1925 memberitakan pertemuan Perkumpulan Permufakatan Islam yang berlangsung di Bioskop Oriental, Alun-alun pada tanggal 26 Januari. Selain itu media tersebut juga melaporkan kejadian yang melibatkan kelompok komunis dengan penjagaan ketat oleh aparat polisi.
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #1: Riwayat Kemunculannya di Bandung
PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #2: Serangan terhadap Persis
Soal Tasbih dan Slametan
Sementara itu, pada pertemuan yang bergulir di bioskop Elita pembahasan pun bergeser kepada prinsip-prinsip keislaman. Kali ini giliran Haji Zamzam menyampaikan pendapatnya. Selain itu, Haji Zamazam juga menyangkal tuduhan-tuduhan kepada rengrengan Persis yang dianggap mengharamkan keras penggunaan tasbih. Mula-mula Haji Zamzam mengungkapkan pentingnya memakai dalil Al-Qur’an dengan mengutip salah satu ayat dari surat Al-‘Ashr. Kemudian ia menyampaikan kritiknya kepada kaum tradisionalis, bahwa ajaran Islam tidak hanya untuk menyanyi dan memakan makanan enak seperti menyembelih kambing dan domba. Bukan hanya itu. Kritik yang dilontarkan Haji Zamzam mengarah juga pada ritual slametan. Menurutnya ritual slametan untuk orang yang sudah meninggal, sebetulnya, harus dihapuskan dari kebiasaan umat Islam. Pada aspek ini ia berpendapat bahwa orang yang sudah meninggal tidak dapat hidup lagi, meski diadakan pesta besar-besaran (De Sumatra Post 25 Maret 1926).
Terkait pelarangan menggunakan tasbih yang datang dari Persis, Haji Zamzam jelas menyangkal bila tuduhan itu tidaklah benar. Menurutnya Persis tidak melarang menggunakan tasbih dalam berzikir. Tapi Haji Zamzam menganggap penggunaan tasbih dalam berzikir dianggap sebagai pekerjaan yang konyol. Ia bahkan memberikan cara yang mudah untuk menghitung bacaan zikir. Yakni dengan menggunakan seluruh jari tangan yang sama keguanaannya dengan menggunakan sampoa. Konon pada masa itu mayoritas muslim nampak segan melihat orang yang berjalan dengan tasbih di tangannya. Padahal, menurut Haji Zamzam, tasbih berasal dari tradisi Yahudi yang belakangan digunakan oleh kalangan kiai di Jawa (De Sumatra Post 25 Maret 1926).
Usai menjelaskan tentang ajaran Islam tradisional, Haji Zamzam lalu memprotes kericuhan akibat ceramah yang dilakukan oleh seorang anggota Permufakatan Islam. Ia meminta kepada seluruh umat muslim kala itu, bahwa masjid tidak boleh digunakan untuk khutbah yang menimbulkan kontroversi. Apalagi materi-materi kontroversial seperti yang dilakukan oleh Usman sebelumnya, lebih baik disampaikan sesudah ibadah salat Jum’at agar dapat berlangsung secara dialog (diskusi) (De Sumatra Post 25 Maret 1926).
Pertemuan yang berlangsung dengan memadati ruangan gedung bioskop ini tidak memunculkan perdebatan yang sengit sedikit pun. Akhirnya, tepat pada pukul 12 siang, Sabirin menutup pertemuan terbuka itu.