PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #2: Serangan terhadap Persis
Pada awal pendiriannya, Persatuan Islam (Persis) menuai gunjingan dan tuduhan. Koran Soerapati memberitakan prosesi kematian tokoh Persis yang tidak lazim.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
24 Mei 2022
BandungBergerak.id - Munculnya Persis di tengah masyarakat bumiputra menimbulkan reaksi yang beragam dari kaum tradisionalis Islam di Hindia Belanda. Tak terkecuali respons negatif terhadap seluruh anggota Persatuan Islam di Bandung. Sebagai pergerakan Islam modernis, rengrengan Persatuan Islam mempunyai fatwa sendiri dalam ritual beribadah. Hal ini merujuk kepada keyakinan bahwa semua aspek ajaran Islam harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Pada Soerapati 5 Desember 1925, Persis membuat pernyataan resmi terkait serangan-serangan yang tengah dihadapi. Dalam pernyataan itu terdapat poin yang menyebutkan bahwa Persis merupakan perkumpulan muslim dengan terus berupaya untuk mengembalikan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Namun, alih-alih ingin mengamalkan ajaran Islam secara murni, seluruh anggota Persis malah tidak luput dari serangan. Serangan-serangan tersebut mengarah pada tuduhan komunis dan dianggap melenceng dari ritual Islam yang sedang berkembang kala itu. Salah satu tuduhan itu termuat dalam surat kabar Soerapati 16 Agustus 1924. Seorang anggota Persis bernama Tuan Haji Doerachman dianggap komunis lantaran ia meninggal tidak dengan proses upacara Islam sebagaimana yang dilakukan mayoritas muslim tradisionalis pada masa itu. Setelah orang meninggal, lazimnya orang tersebut diberi doa salawatan atau dibisikan telinganya dengan doa-doa talqin. Kemudian setelah dikuburkan sanak-saudara mengadakan upacara tahlilan selama tujuh hari berturut-turut.
Tetapi apa yang dilakukan oleh keluarga Tuan Haji Doerachman konon, tidaklah demikian. Mereka mengubah semua kebiasaan mayoritas masyarakat muslim sebelumnya, yang memang kebanyakan dari kalangan tradisionalis. Itulah alasan Haji Doerachman dicap sebagai komunis. Karena telah menunjukkan praktik peribadatan yang jauh berbeda dari biasanya.
“Toean Hadji Doerachman (THD) kamari ijeu geus maot koelantaran THD teh lid Persatoean Islam, djadi tjara-tjarana teh noeroetkeun agama Islam toelen, njaeta ngarobah naon noe teu aja dina Qoer’an. Saperti teu make hadjat, teu make salawat, maitna teu diharewosan djeung lain-lain. Ajeuna djelema-djelema goejoer madjar maneh THD communist (Tuan Haji Doerachman kemarin meninggal dunia karena THD itu anggota Persatuan Islam, jadi tata caranya menggunakan upacara agama Islam tulen, yaitu mengubah apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Seperti tidak melakukan hajatan, tidak memakai salawat, jenazahnya tidak dibisikan dan lain-lain. Sekarang orang-orang gempar dikiranya Tuan Haji Doerachman itu komunis)” (Soerapati 16 Agustus 1924).
Tuduhan yang membuat gempar itu bukan hanya mencuat di kawasan kota, melainkan sudah menyebar ke desa-desa. Dengan judul yang agak provokatif, Soerapati edisi 21 November 1925 selanjutnya menulis, Persatoean Islam tjenah agama revolutionair, Naha enja? (Persatuan Islam katanya agama revolusioner, apakah betul?), yang di antaranya berisi kabar bahwa di desa-desa tersebar anggapan yang menyebut Persatuan Islam sebagai kelompok agama yang revolusioner. Seraya melaporkan fakta di lapangan, sang penulis juga menyertakan pengamatan terhadap prinsip Persis yang membuat gempar itu. Menurutnya perkumpulan Persis mempunyai tujuan untuk membasmi segala macam dalil plagiat, para kyai yang melakukan taqlid buta, serta semua ajaran yang tidak merujuk pada dalil Al-Qur’an maupun hadis. Termasuk hal-hal yang bersifat takhayul.
“Di lemboer-lemboer geus goejroed, di desa-desa geus ear, jen Persatoean Islam teh hidji perkoempoelan agama noe revolutionair. Enja kitoe? Ari koemalangkangna mah enja, sabab koe kapamanggih koering mah, eta perkoempoelan teh, rek ngabasmi sagala roepa dalil titiron, kijahi titiron, panjakit sadaja-daja noe tjenah aja dalilna, soemawona hal tachajoel mah (Di desa-desa sudah gempar, di desa-desa sudah heboh, bahwa Persatuan Islam itu suatu perkumpulan agama yang revolusioner. Apakah iya? Secara samar-samar iya, karena berdasarkan penemuan saya, perkumpulan itu, akan membasmi segala bentuk dalil plagiat, kyai plagiat, semua penyakit yang konon ada dalilnya, termasuk hal takhayul)” (Soerapati 21 November 1925).
Baca Juga: PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #1: Riwayat Kemunculannya di Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
Respons Persis
Sementara itu, surat kabar De locomotief 27 Januari 1925 mengabarkan bahwa pengurus Persatuan Islam telah mengadakan pertemuan terbuka di Gedung Bioskop Oriental pada hari Minggu 25 Januari. Pertemuan penting itu dipicu oleh suatu tuduhan bahwa Persis telah membuat agama baru oleh seseorang bernama Ali Taib. Ia menulis dalam salah satu koran Tionghoa yang mengklaim bahwa kelompok Persatuan Islam sudah menyebarkan ajaran baru yang dianggap melenceng dari praktik-praktik ajaran masyarakat muslim ketika itu. Konon dalam catatan Ali Taib disebutkan bahwa Persis telah meralang orang untuk melakukan slametan (tahlilan) untuk orang yang sudah meninggal. Bahkan dalam amatan Ali Taib, Persis telah mengubah bacaan salat serta mengubah ritual lainnya yang umum dilakukan masyarakat Islam di masa-masa itu.
Selain dituduh menyebarkan agama baru, kelompok keagamaan yang lahir di Bandung ini pun dicap sebagai komunis. Karena tuduhan ini serius, rengrengan Persatuan Islam sebelumnya telah mengundang Ali Taib yang sedang berada di Surabaya. Akan tetapi Ali Taib tidak mengindahkan undangan tersebut. Yang artinya ia enggan untuk hadir dalam pertemuan yang digelar oleh pengurus Persis. Dengan melancarkan tuduhan tersebut Sabirin menilai jika pernyataan Ali Taib itu dapat membahayakan persatuan agama serta menyebut Ali Taib telah memfitnah Persis sebagai pembuat agama baru (De locomotief 27 Januari 1925).
Dalam pertemuan itu Sabirin menjelaskan tentang tujuan organisasi Persatuan Islam. Ia menambahkan jika upacara slametan merupakan ritual yang bukan berasal dari ajaran Islam. Sabirin menceritakan asal-mula adanya ritual seperti itu. Dulu, pada masa kerajaan Blambangan, tepatnya sebelum Islam masuk ke Nusantara, seorang raja telah dikabarkan mati. Semua pelayannya dibunuh agar mereka dapat tetap mengabdi kepada tuannya di surga. Bukan hanya itu. Semua wanita dan para gundiknya juga dihukum mati agar bisa terus berada bersama-sama di surga dengan sang raja. Seiring berjalannya waktu pengorbanan manusia sudah tidak lagi dilakukan. Mereka menggantinya dengan binatang untuk dibunuh lalu bangkainya dibuang. Setelah diketahui bahwa bangkai hewan membahayakan kesehatan, maka dilakukanlah penyembelihan hewan supaya baik untuk dimakan (De locomotief 27 Januari 1925).
Konon ritual ini masih berlangsung dalam upacara slametan (tahlilan). Di mana kerabat terdekat diundang untuk makan bersama. Maka bersandar pada hadis Nabi, Sabirin menjelaskan jika praktik seperti itu haram untuk diamalkan. Karena tidak adanya rasa empati terhadap sanak-saudara yang ditinggalkan dalam keadaan berkabung (De locomotief 27 Januari 1925).