• Kolom
  • PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #1: Riwayat Kemunculannya di Bandung

PERSATUAN ISLAM DI MASA HINDIA BELANDA #1: Riwayat Kemunculannya di Bandung

Persatuan Islam lahir di sebuah gang di Bandung. Pendirinya dua orang haji, Zamzam dan Muhammad Yunus.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Foto pengurus Persatuan Islam di Bandung. (Reproduksi dari buku M. Natsir: Sebuah Biografi karya Ajip Rosidi)

15 Mei 2022


BandungBergerak.idHadirnya Persatuan Islam (Persis) di masa Hindia Belanda berdampingan dengan kuatnya arus pergerakan kaum pribumi ketika itu. Di masa-masa itu, organ pergerakan massa seperti Sarekat Islam (SI) Merah sangat getol melancarkan serangan terhadap Pemerintah Kolonial, terutama di Bandung sebagai pusat aktivitas Persatuan Islam.

Dalam kemunculannya para penulis sejarah sepakat, bahwa Persatuan Islam lahir di Bandung pada tahun 1920-an. Salah satu sumber komprehensif yang sering digunakan, yaitu, penelitian Howard M. Federspiel berjudul The Persatuan Islam, yang menggambarkan kiprah Persis sejak tahun 1920-an hingga masa setelah kemerdekaan. Penelitian tersebut merupakan disertasi Federspiel pada Institute of Islamic Studies di Universitas McGhill Montreal. Dalam catatan Federspiel, Persis muncul pada tahun 1923, tepatnya tanggal 12 September oleh dua orang terkemuka dari kalangan saudagar yang bertitel haji (Federspiel, 1966: 16-17).

Dua orang tersebut yakni, Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang menggelar kajian rutinan di sebuah gang kecil bernama Gang Belakang Pakgade di Bandung (Ajip Rosidi, 1990: 15). Dari kegiatan rutin ini terbersit niatan untuk mengukuhkan studieclub sebagai organisasi keislaman. Maka lahirlah nama “Persatoean Islam” dengan hanya beranggotakan beberapa orang saja.

Deliar Noer mencatat, bahwa kelahiran Persis tidak dapat dilupakan dari sekumpulan orang Palembang yang berpindah menuju Bandung. Hal ini berlaku juga pada nama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Konon gagasan untuk mendirikan organisasi ini berawal dari acara slametan di sebuah rumah orang Palembang itu. Sejak abad ke-18 orang-orang Palembang tersebut telah menetap di Bandung. Kemudian secara turun-temurun mereka melakukan saling-silang perkawinan, hingga banyak di antara mereka menjalankan usahanya dengan cara berniaga (Noer,1994: 95-96).

Sedari awal rengrengan Persis tidak menaruh perhatian dalam memperbanyak anggotanya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Deliar Noer terkait perkembangan kelompok Persatuan Islam sejak didirikannya pada masa Hindia Belanda. Menurutnya Persis kurang memberikan titik tekan terhadap kegiatan organisasinya dan tidak berminat untuk mendirikan cabang-cabang maupun memperbanyak jumlah anggota. Pada permulaan kemunculannya tahun 1923, Persis hanya memiliki sekitar 12 anggota. Itu pun terlihat berdasarkan partisipasinya dalam salat Jum’at yang digelar oleh pengurus Persis di Bandung (Noer, 1994: 97). Meski begitu para pengurus Persis masih tetap diperhitungkan oleh organ yang lain terutama ihwal pergerakan keagamaan.  

Baca Juga: Tantangan Berat Sarekat Islam Majalaya
Algemeene Vergadering Sarekat Islam Bandung
Masalah di Balik Algemeene Vergadering Sarekat Islam Bandung

Dihadiri Perwakilan Komunis dan Muhammadiyah

Dua bulan setelah terbentuk di Gang Belakang Pakgade, Persis mengadakan pertemuan terbuka dengan mengundang orang-orang terkemuka dari lintas organisasi. Pertemuan itu digelar pada bulan November 1923 di gedung yang berhadapan dengan kantor pegadaian Bandung.

Laporan De Preangerbode 9 November 1923 menyebutkan bahwa pada tanggal 6 November 1923 Comite Persatoean Islam telah melangsungkan sebuah pertemuan penting. Pertemuan itu dipimpin langsung oleh Ketua Persis, Haji Zamzam, yang juga dihadiri oleh para pengurus Persis lainnya seperti Sabirin yang selanjutnya menjabat sebagai sekretaris. Bukan hanya itu. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa orang dari rengrengan komunis dan perwakilan dari Muhammadiyah Yogyakarta. Topik yang dibicarakan dalam pertemuan itu yakni seputar dibentuknya Persatuan Islam. Dengan tujuan untuk menyajikan pokok-pokok ajaran agama Islam melalui berbagai aktivitas dakwah. Selain itu dalam pidatonya Haji Zamzam berharap agar ke depannya Persis dapat mendirikan sekolah.

Mula-mula pertemuan yang digelar terbuka itu mendapat tanggapan miring karena berlangsung di gedung baru yang terlihat sempit. Tetapi Haji Zamzam menegaskan bahwa tempat tersebut menjadi penuh kendati dengan keterbatasan kursi (Kaom Moeda 7 November 1923).

Kehadiran utusan Muhammadiyah Yogyakarta dalam pertemuan itu turut memberikan gagasan signifikan terutama mengenai sekolah-sekolah yang telah dibangun. Utusan dari Muhammadiyah bernama Haji Bahroeding itu menjelaskan tentang pengalamannya mendirikan sekolah di Muhammadiyah. Selanjutnya ia menyampaikan keluhan ihwal kondisi umat Islam di Tanah Jawa. Haji Bahroeding sangat menyayangkan bahwa ketika itu kelompok-kelompok Islam militan sukar ditemukan di Jawa (De Preangerbode 9 November 1923).

Haji Bahroeding juga begitu mengapresiasi lahirnya kelompok Persatuan Islam di Bandung. Kemudian ia menyarankan agar Persis bisa mendirikan sekolah dan membangun langgar-langgar atau masjid di samping menggelar berbagai kajian rutin. Akan tetapi terjadi sebuah perdebatan yang semula muncul dari Soebakat, utusan dari kelompok komunis. Dalam perdebatan itu Soebakat menuding Muhammadiyah sebagai bagian dari PEB (Politiek Economie Bond) (De Preangerbode 9 November 1923), mengacu pada kasus sebelumnya yang menyeret nama Muhammadiyah. PEB sendiri merupakan agen pemerintah Hindia Belanda yang lahir pada tahun 1919 dan beroperasi sebagai mata-mata untuk menyerang kelompok-kelompok pribumi yang dianggap tidak pro.

Sementara itu, di samping Haji Badroeding, Haji Fachroedin yang juga merupakan utusan dari Muhammadiyah Yogyakarta menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan penting itu. Haji Fachroedin setuju dengan adanya Islam sejati (Kaoem Moeda 7 November 1923), yang menurut pandangan Persis ialah Islam yang merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Penjelasan Haji Fachroedin ini dikemas dengan jalan pikiran yang mudah diterima oleh para pendengarnya (Kaoem Moeda 7 November 1923). Sehingga para hadirin amat memperhatikan dengan saksama.

Selain perdebatan dan penyampaian dari Haji Fachroedin muncul pula pendapat agar Persis menggunakan semua ceramahnya menggunakan bahasa lokal. Di sela-sela pendapat itu ada juga yang menyampaikan suatu permasalahan untuk langsung dicermati. Masalah tersebut, antara lain, bahwa nama bupati sering disebut-sebut dalam salah satu khotbah yang diadakan di luar pengurus Persis. Dari kasus itu, timbul rasa heran dalam pikiran Sabirin, kenapa nama bupati mesti disebut-sebut dalam ritual dakwah ajaran Islam itu (Preangerbode 9 November 1923).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//