NGULIK BANDUNG: Mobil-Mobil di antara Bandoeng-Batavia
Persentuhan Jawa dengan mobil berawal di penghujung abad ke-19. Mobil dipergunakan menjajal jarak dan menantang waktu.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
10 Juni 2022
BandungBergerak.id—Namanya Mr. Jones. Pemimpin redaksi majalah otomotif di Baltimore, Amerika. Dia menceritakan pengalamannya dalam beberapa hari menjelajahi Bandung dengan menumpang mobil sewaan dari Batavia pada koran Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode yang terbit tanggal 1 April 1931.
Ini adalah perjalanan ketiganya berlibur dengan kapal pesiar melintasi Jawa menuju Bali. Kali ini dia kembali dengan menumpang “Sunland”, kapal pesiar yang mengangkut ratusan turis Amerika dalam perjalanan tetirah mengunjungi sejumlah negara. Kapalnya tengah singgah di Pelabuhan Tandjong Priok, yang berarti waktunya pelesir.
Lima tahun lalu Mr. Jones menghabiskan waktu pelesirnya dengan menjelajahi Batavia. Kali ini dia berniat menjelajah lebih dalam lagi dengan mengunjungi Bandoeng.
Dia menyewa mobil Buick bermesin 8 silinder untuk menghabiskan berhari-hari waktu pelesirnya dengan berkendara menjelajahi Bandoeng. Kota di pedalaman Jawa yang diketahuinya dari brosur perjalanan wisata sudah memikatnya.
Di pintu keluar pelabuhan Mr. Jones meminta supir membelok ke kompleks bangunan dengan tulisan besar N. V. General Motors Java. Nama bangunan yang dituliskan dengan huruf putih besar itu sudah mencuri perhatiannya sejak hari pertama kapalnya merapat di Tandjong Priok. Kompleks bangunan pabrik mobil asal Amerika terlihat mencolok dari atas kapal.
Mr. Jones takjub. Di pabrik itu dia melihat pekerja pribumi tengah membangun Chevrolet produksi terbaru. Di sana dia melihat langsung bagaimana mobil dibangun di Jawa.
Dia makin takjub saat meninggalkan pabrik melanjutkan perjalanan menuju Bandoeng. Di sepanjang jalan dia melihat mobil dan truk yang lalu-lalang. Hampir semua merek kendaraan yang diketahuinya ditemukan di sepanjang jalan. Chevrolet, Pontiac, Buick melesat melewatinya.
Jejaring jalan raya yang dilewatinya terpelihara dengan baik. Di Bandoeng, Mr Jones benar-benar menjelajah. Dia menghabiskan hari-harinya dengan berkendara ke sejumlah tempat. Dia menyambangi Lembang, Kawah Ratoe, Kawah Oepas, menjelajah Tjiwidej, Kawah Putih, Patoeha, hingga Tjihoeni. Perjalanan yang memuaskannya.
Mr. Jones kembali ke Batavia. Perjalanan pulang ditempuhnya dalam gelap malam. Di tengah jalan dia was-was. Dari deru suara mesin, dia tahu mobil yang disewanya bermasalah. Supirnya tahu, tapi masih tenang-tenang saja.
Di Soekabumi mobilnya berbelok ke depan sebuah toko dengan papan nama “General Motors Service”. Mobil Buick 8 Silinder yang ditumpanginya diperiksa di sana. Ternyata busi mobil kotor, dan ada yang harus diganti. Tak butuh waktu lama, perbaikan tuntas. Mobil pun melaju menuju Batavia dengan kecepatan tinggi.
Menjajal Mobil di Jalan Raya
Mobil pertama di perkenalkan di Jawa di penghujung abad ke-19. Koran De Preanger-bode tanggal 8 Februari 1899 memberitakan seorang tuan tanah di Jawa yakni Tuan Stoop terhitung yang pertama mendatangkan mobil untuk menggantikan kuda pekerja. Koran De Preanger-bode tanggal 21 April 1899 menyebutkan dr. Hijmans van Anrooij menjadi yang pertama memperkenalkan mobil di Semarang.
Tak butuh waktu lama, kehadiran kendaraan roda empat berpenggerak mesin tersebut mewabah di Jawa. Jalan-jalan pun dibenahi. Mobil pelan-pelan menjadi alat transportasi utama untuk mengangkut barang dan manusia.
Di awal kehadirannya, belum semua kota tersambung jalan raya yang bisa dilalui mobil. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 4 November 1901 menceritakan perjalanan Tuan S yang menjajal berkendara dari Batavia menuju Djogdja.
Tidak disebutkan merek mobil bermesin bensin yang dipergunakan Tuan S. Dia membutuhkan waktu tiga hari untuk menuju Djogdja. Tuan S berkendara santai. Dia memacu mobilnya dalam kecepatan 45 kilometer per jam.
Satu hari dihabiskan menuju Bandung. Esoknya diteruskan menuju Banjar. Dari Banjar, mobilnya menumpang kereta api menuju Maos. Lalu kembali berkendara menuju Djogjda. Semua penasaran dengan berapa banyak bensin yang dihabiskan dalam perjalanan tersebut.
Mobil menjadi alat manusia untuk menantang jarak dan waktu. Di zaman itu jarak Bandoeng-Batavia yang terhitung paling banyak dijajal.
Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 18 April 1901 menceritakan perjalanan yang dilakukan dua pria dari Batavia menuju Bandoeng yang menantang. Butuh satu hari untuk menempuh jarak dari Batavia menuju Soekabumi gara-gara dihadang tanah longsor. Jarak Batavia-Soekabumi yang normalnya ditempuh dalam 4 jam harus menambah waktu hingga 3,5 jam. Baru besoknya perjalanan dilanjutkan menuju Bandoeng dengan waktu tempuh empat jam.
Perjalanan dengan berkendara mobil juga bisa mengancam nyawa. Koran Bataviaasch nieuwsblad Tanggal 22 Desember 1903 bercerita perjalanan beberapa anak muda yang melancong ke Buitenzorg dihadang rampok. Sekelompok anak muda tersebut dikerubut rampok saat tengah berteguh menunggu hujan deras. Rampok yang mengaku dari komplotan Gantang yang hendak merebut mobil akhirnya kabur setelah anak muda tersebut mengeluarkan revolver yang dibekalnya.
Kunjungan kerja pejabat pemerintah Hindia Belanda pun dilakukan dengan berkendara. Kunjungan Gubernur Jenderal Hindia Belanda menuju Bandoeng lewat Tjipanas dilakukan dengan menggunakan mobil (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 31 Juli 1917).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Dua Legenda Gunung Tangkuban Parahu
NGULIK BANDUNG: Lebaran di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Puasa dan Libur Lebaran Zaman Kolonial
Aturan Berkendara
Sensasi berkendara dengan kecepatan tinggi tak jarang merugikan. Petugas keamanan sering menerima pengaduan karena ulah pengemudi mobil. Di Batavia misalnya pengadilan memproses laporan warga akibat ulah pengemudi yang menabrak rumah warga (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 1-04-1901).
Pemerintah Hindia Belanda sudah mengambil langkah dengan menerbitkan aturan babon yang menjadi panduan penggunaan mobil di jalan umum sejak hadirnya mobil di nusantara. Pemerintah kolonial menerbitkan Staatsblad nomor 361 tahun 1899 tentang peraturan umum penggunaan kendaraan bermotor (het algemeen reglement op het gebruik van automobielen).
Setiap kota besar yang mulai bersentuhan dengan keberadaan mobil membuat aturan ketat. Tidak sembarang yang mendapat izin untuk mengendara kendaraan di jalan umum. Gara-gara soal mengurus izin ini Mr. John C. Potter menjadi terkenal karena menjadi satu-satunya yang niat mengurus perizinan berkendara hampir di semua kota besar Jawa dan Madura (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1902).
Aturan tinggal aturan, kebut-kebutan di jalan yang makin mulus justru makin membahayakan.
Menjajal Mobil Menantang Waktu
Bermacam-macam pelanggar kecepatan. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 22 November 1929 melaporkan pengaduan warga atas ulah pengemudi mobil jenazah yang ugal-ugalan. Mobil yang sedang mengangkut jenazah dari Batavia menuju Bandoeng digeber dengan kecepatan tinggi hingga 70 kilometer per jam.
Kisah lainnya, seorang pembalap terkenal dari Batavia yakni Mr. Jachja A harus berurusan dengan hakim pengadilan karena urusan kebut-kebutan. Dalam berita acara kasus yang menjeratnya tersebut Mr. A dilaporkan menggeber mobil Morris 4 menempuh rute Batavia menuju Bandoeng hanya dalam dua jam 32 menit pada tanggal 31 Agustus 1937 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 6 Januari 1938).
Mr. A di depan hakim pengadilan di Batavia membantah polahnya tersebut demi memecahkan rekor waktu tempuh perjalanan dari Batavia menuju Bandoeng. Jika memang berniat memecahkan rekor waktu tempuh, dia tidak akan menggunakan mobili Morris 4 yang hanya memiliki kecepatan maksimum 90-95 kilometer per jam tapi akan menggunakan mobil lain dengan dapur pacu lebih besar yang bisa dikebut hingga kecepatan 140 kilometer per jam.
Dalam berita acara yang dibuat di depan notaris, Mr. A berangkat dari Batavia pukul dua sore dan tiba di Bandoeng sekitar setengah lima sore. Dia melibas 176 kilometer jarak dua kota tersebut dengan perkiraan kecepatan rata-rata 70 kilometer per jam. Dia melakukannya di hari libur saat lalu lintas jalan cenderung ramai.
“Dia mengakui bahwa dia memang mengemudi dengan kecepatan penuh di jalan pedesaan yang sepi, tetapi tidak di jalan di kota-kota,” tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 6 Januari 1938.
Hakim pengadilan curiga dengan klaim kecepatan rata-rata 70 kilometer per jam yang menjadi klaim Mr. A. Perhitungan hakim mobil tersebut dalam waktunya dikebut hingga mencapai kecepatan 100-115 kilometer per jam. Mr. A membantahnya. Dia beralasan Morris memiliki karakter cenderung berbelok saat kecepatannya sudah melewati 60 kilometer per jam yang membuatnya tidak stabil.
“Saya mengemudi dengan cepat, tetapi saya yakin saya mengemudi dengan aman,” kata Mr. A.
Hakim memutuskan Mr. A bersalah karena berkendara dengan kecepatan tinggi dan menjatuhkan hukuman denda 25 Gulden. Mr A meminta maaf karena salah memahami aturan berkendara.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman