ITB Rekomendasikan Pemerintah Mengontrol Sumber Pencemaran Teluk Bima

Sumber pencemaran Teluk Bima perpaduan antara pencemar limbah domestic, pertanian, perikanan, dan pemanasan global.

Pencemaran Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, 24-30 April 2022. Kasus ini dalam kajian tim ITB. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman16 Juni 2022


BandungBergerak.id – Fenomena pencemaran laut yang terjadi di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 24-30 April 2022, menghebohkan jagat nusantara. Pencemaran air teluk ini berupa limbah buih dan busa berwarna coklat yang mengental seperti jelly setebal 10 cm. Hasil kajian Institut Teknologi Bandung (ITB), limbah ini berasal dari multisektor.

Kajian dilakukan tim yang terdiri dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, berkoordinasi dengan Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB (PSLH ITB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kemudian dibantu juga oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bima dan Perwakilan dari Pemerintah Kota Bima. Kajian dilakukan pada lima titik (tiga garis pantai dan dua sungai) di Teluk Bima.

“Fenomena tersebut merupakan fenomena yang disebabkan oleh multi sektoral. Fenomena itu terjadi juga di berbagai daerah dan memiliki lokalitas yang membedakan sumber pencemaran, sehingga memberikan efek yang berbeda,” tutur Dasrul, Direktur Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat konferensi pers di gedung STP Ganesha ITB, Selasa (6/14/2022).

Dalam konferensi pers tersebut hadir pula pakar dari Rekayasa Air dan Limbah Cair, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Prayatni Soewondo yang turut dalam penelitian pencemaran Teluk Bima.

Selama penelitian, tim melakukan pemantauan langsung lapangan dan juga pemantauan melalui satelit yang hasilnya menunjukkan bahwa puncak kemunculan buih pencemaran terjadi pada 27 April 2022, dan pada H+17 dari puncak kemunculan pencemaran sudah tidak terlihat lagi.

Karakteristik limbah di Teluk Bima memiliki bau, berupa busa dan buih yang mengental, memiliki ketebalan 10 cm, berwarna kecoklatan, menyebar lebih dari 10 hektare, tidak mengalami pembakaran, dan akibatnya biota laut mengalami kematian.

Mengenai sumber pencemaran, potensi/indikasi jenis pencemar limbah cair dapat berasal dari limbah domestik (N, P, organik, dan coliform), pertanian (ladang jagung) dan perikanan (tambak ikan, tambak udang , N dan P), dan logistik oil (TPH, toluene, serta oil and grease ).

Selain sumber pencemaran tersebut, fenomena ini bisa dipengaruhi oleh kondisi geografis Teluk Bima, pola aliran arus, pola aliran angin, dan global warming. Riset skala global mengenai pencemaran algae blooming di berbagai negara juga menunjukkan bahwa 76 persen dari kejadian algae blooming/seasnot terjadi di area semi laut yang setengah tertutup, sehingga Teluk Bima memang rentan berpotensi mengalami fenomena tersebut.

“Mengapa bisa terjadi, karena posisi Teluk Bima secara geografis itu setengah tertutup. Nah itu juga nanti yang perlu kita lihat lagi, bagaimana pola dari arusnya. Apa polutannya terus ada di situ atau dia berpotensi untuk keluar ke laut lepas, itu yang harus kita lihat lagi,” ucap Dasrul.

Baca Juga: Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan
Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba
Sampah Mikroplastik Mencemari Sungai di Jawa Barat

Konferensi pers Pencemaran Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, 24-30 April 2022, di ITB. Kasus ini dalam kajian tim gabungan ITB dan pemerintah. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Konferensi pers Pencemaran Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat, 24-30 April 2022, di ITB. Kasus ini dalam kajian tim gabungan ITB dan pemerintah. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Pengkajian Belum Usai

Masih banyak tugas dan pengkajian lebih lanjut yang perlu dilakukan untuk menjawab secara keseluruhan bagaimana fenomena bencana pencemaran di Teluk Bima dapat terjadi. Ke depan tim ITB akan lebih memperhatikan juga daerah yang memiliki bentuk geografisnya seperti Teluk Bima. Pemantau tersebut diharapkan akan menyebabkan potensi pencemaran yang terjadi bisa semakin ditekan.

Dasrul dan Prayatni tidak mengharapkan ke depannya kejadian bencana fenomena tersebut akan semakin memburuk. Oleh karenanya selagi mereka melakukan pengkajian lebih lanjut, mereka harap pemerintah setempat dan masyarakat dapat menjalankan solusi dan antisipasi yang mereka sarankan.

Solusinya tadi, yang berpotensi mencemari Teluk Bima itu akitivitasnya mesti dikontrol, karena itu tidak bisa dikurangi dan juga aktivitas ekonomi. Kemudian mungkin dengan rekayasa pengolahan limbahnya yang dihasilkan dari aktivitas tadi, sebelum ia masuk ke Teluk Bima ada penanganan. Sehingga potensi pencemaran yang terjadi di sana bisa ditekan,” ucap Dasrul.

Mereka juga berharap masyarakat tidak melakukan aktivitasnya ketika bencana pencemaran tersebut terjadi lagi. Mereka tidak ingin mendengar lagi ada warga jatuh sakit yang diduga karena keracunan setelah mengonsumsi ikan yang berserakan di pesisir.

Tim ITB memang sudah memiliki hasil kajian atas bencana pencemaran yang terjadi di Teluk Bima, namun hal tersebut masih diperlukan pengkajian lebih lanjut untuk menjawab semua pertanyaan asal-usul pencemaran. Terlebih ada kabar pada 26 Mei 2022 di sepanjang pantai wilayah Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, bencana pencemaran tersebut muncul kembali.

“Hasil penelitian menyebutkan ada toksisitas, kemudian terkonfirmasi ketika penduduk memakan ikan yang kemudian jatuh sakit. Jadi hasil riset dengan empiriknya saling berhubungan. Harusnya jangan dulu memakan apa pun dari sana, karena apa pun yang disebut nutrient tapi itu tetap saja makanan yang sudah busuk. Itu yang menyebabkan alga tumbuh menjadi banyak,” tutur Prayatni.

Fenomena Serupa dari Belahan Dunia Lain

Dasrul menyebutkan, fenomena bencana pencemaran yang terjadi di Teluk Bima setidaknya pernah menimpa tiga negara besar belakangan ini, yaitu di Washington pada 2020 (blender effect), Belanda pada 2020, dan Turki pada 2021 (sea snot).

Gelombang besar setinggi 25 kaki (hampir 8 meter) menghasilkan “blender effects” di Washington pada musim dingin tahun 2020, menghasilkan buih laut setinggi 3 kaki (hampir 1 meter).

Pada kasus lainnya, hal tersebut juga dapat membahayakan satwa liar. Investigasi terhadap kematian misterius burung laut di sepanjang pantai barat Amerika Serikat, misalnya, menemukan bahwa busa dari ganggang yang membusuk telah menghilangkan lapisan kedap air dari bulunya, sehingga menyulitkan burung untuk terbang dan menyebabkan hipotermia.

Sementara di Belanda, meskipun sangat jarang terjadi, namun sangat mungkin untuk tenggelam dalam buih laut. Misalnya, pada tahun 2020, lima orang meninggal di Belanda setelah terperangkap di bawah lapisan busa laut yang sangat besar saat berselancar.

Kemudian terakhir di Turki, lendir yang terbentuk secara alami pertama kali didokumentasikan di Turki pada 2007, namun fenomena yang terjadi di tahun 2021 merupakan fenomena terbesar. Para ahli mengindikasikan adanya kombinasi polusi dan pemanasan global yang mempercepat pertumbuhan alga yang membentuk lumpur berlendir. Ingus laut atau sea snot dihasilkan dari peristiwa kelebihan nutrisi untuk alga yang tumbuh cepat karena meghangatnya cuaca dan adanya polusi air.

Lendir yang mengelilingi garis pantai Turki berasal dari ganggang laut mikroskopis yang disebut fitoplankton yang tumbuh sangat cepat ketika mereka memiliki akses ke nutrisi berlebih seperti nitrogen dan fosfor. Nutrisi tersebut bisa berasal dari pupuk di limpasan pertanian atau dari limbah (manusia atau industri) yang tidak diolah yang bocor ke Laut Marmara. Suhu hangat yang disebabkan oleh perubahan iklim juga dapat mempercepat pertumbuhan fitoplankton.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//