• Opini
  • Wacana Jabatan Presiden 3 Periode Menghina Konstitusi!

Wacana Jabatan Presiden 3 Periode Menghina Konstitusi!

Jika 3 periode disetujui, maka 4 periode atau bahkan lebih mungkin akan disetujui. Hal ini berbahaya kekuasaan yang berlebihan cenderung korup.

Azriel Daffa Naufal Al Fuadi

Mahasiswa Fakultas Hukum Unpar.

Petugas KPU menempatkan kotak suara di area diorama Rumah Pintar Pemliu KPU Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu (8/6/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

21 Juni 2022


BandungBergerak.idDalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan secara eksplisit bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, ini artinya sebagai negara hukum, segala kegiatan dan tindakan yang dilakukan baik oleh masyarakat secara umum maupun pemerintah secara khusus haruslah sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum. Hukum tertinggi yang dijadikan sebagai dasar negara dituangkan dalam konstitusi atau yang biasa kita kenal dengan Undang-undang dasar 1945.

Konstitusi merupakan suatu produk yang dihasilkan sebagai salah satu perwujudan negara hukum. Konstitusi merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai hukum-hukum dasar suatu negara. Oleh karena itu, baik dalam susunan, jabatan, dan wewenangnya, pemerintah harus bertindak sesuai dengan konstitusi.

Akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan sebuah wacana yang menyatakan penambahan masa jabatan presiden dari 2 periode, menjadi 3 periode. Saya rasa wacana tersebut bukanlah sinyal yang baik.

Jika kita melihat kembali dalam sejarah. Pembatasan masa jabatan hanya menjadi 2 periode saja awalnya bermula dari kemarahan masyarakat terhadap sikap otoriter mantan Presiden pertama Indonesia, Sukarno, melalui Ketetapan MPRS No.III/MPRS/1963 yang mengizinkan pengangkatan kembali Sukarno menjadi presiden seumur hidup dan dilanjutkan juga dengan menjabatnya Suharto selama 32 tahun. Hal tersebut bisa terjadi karena pada saat itu dalam Pasal 7 UUD 1945 belum menyatakan dengan tegas sikapnya terhadap berapa lama masa kekuasaan Presiden.

Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.

Pasal 7 tersebut belumlah sempurna, karena seakan-akan tidak memberikan batasan terhadap berapa kali Presiden atau Wakil Presiden tersebut dapat dipilih kembali. Oleh karena itu, barulah pascagerakan reformasi, dilaksanakan beberapa amandemen konstitusi Indonesia sebagai bentuk pengakuan bahwa pemerintahan itu berada di tangan rakyat dan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat.

Salah satu di antara pasal-pasal yang diamandemen adalah Pasal 7 mengenai masa jabatan Presiden, setelah diamandemen masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menjadi terbatas, yaitu hanya sampai maksimal 2 kali masa jabatan saja. Pembatasan ini pada awalnya dimaksudkan untuk menghindari terpusatnya kekuasaan di tangan Presiden sebagai akibat dari terlalu lamanya seseorang memimpin.

Pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Lantas dengan adanya perubahan Pasal 7 hasil amandemen ini, apakah wacana jabatan Presiden 3 periode tersebut masih dimungkinkan?

Jelas-jelas Pasal 7 secara tegas menyatakan bahwa seorang Presiden dan Wakilnya hanya dapat menjabat paling banyak 2 kali masa periode. Sehingga wacana tersebut seharusnya tidak perlu untuk ditindaklanjuti. Karena dengan menindaklanjuti wacana tersebut sama saja dengan menghina konstitusi, karena jelas tindakan tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi atau sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Menurut Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI periode (2019-2024), masa jabatan Presiden 3 periode adalah inkonstitusional sehingga semua pihak yang mengajukan Presiden Jokowi untuk 3 periode adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Kemudian wacana 3 periode ini juga malah dapat membahayakan demokrasi. Menurut Akademisi Rocky Gerung, usulan ide itu dinilainya seperti tidak memahami konsep demokrasi. “Soal dia nggak ngerti ide demokrasi. Demokrasi artinya pembatasan kekuasaan. Supaya apa? Supaya terjadi sirkulasi elit. Tiga periode tidak membatasi kekuasaan.”

Rocky Gerung mengatakan tidak ada sirkulasi kepemimpinan jika presiden menjabat selama 3 periode atau 15 tahun, ia bahkan menyebut bahwa usulan tersebut adalah dungu.

Konsep demokrasi memang memberikan pemahaman kedaulatan rakyat, rakyatlah yang memegang kendali dan memutuskan segala sesuatu, rakyat harus terlibat langsung dalam setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah. Seperti sebuah ungkapan dari Abraham Lincoln dengan konsep demokrasinya yaitu “From The People, By The People, Of The People” yang berarti dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Namun, kita juga harus mengingat bahwa sejatinya konsep demokrasi hadir untuk membatasi kekuasaan pemerintah, sebab jika pemerintah tidak dibatasi, maka akan cenderung korup. Maka, jika masa jabatan presiden diperpanjang menjadi 3 periode, hal tersebut akan membahayakan konsep inti dari demokrasi, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah. Jika 3 periode disetujui dan terjadi, maka 4 periode, 5 periode, atau bahkan lebih pun mungkin saja akan kembali disetujui dan terjadi. Hal ini tentunya berbahaya karena pada akhirnya kekuasaan yang berlebihan hanya akan membuat kecenderungan untuk korup dan mementingkan kelompoknya saja.

Baca Juga: Belum Maksimalnya Perlindungan Hukum terhadap Korban Bullying
Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)
Memilih Broker Terpercaya untuk Investasi ataupun Trading

Mungkinkah Presiden 3 Periode?

Jikalau pun mereka tetap memaksakan untuk melanjutkan wacana masa jabatan Presiden 3 periode, kita harus melihat terlebih dahulu, apakah hal tersebut tetap dimungkinkan? Meskipun di atas telah dijelaskan bahwa hal tersebut adalah inkonstitusional dan berbahaya bagi demokrasi.

Jika kita merujuk ke dalam Pasal 37 UUD 1945, dinyatakan bahwa UUD 1945 masih dapat diamandemen kembali, dengan syarat jika usulan perubahan tersebut diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, kemudian MPR menggelar sidang untuk perubahan UUD 1945 tersebut dengan dihadiri dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan untuk memutuskan perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945 diperlukan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu suara dari jumlah anggota MPR.

Dari ketentuan Pasal 37 UUD 1945 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa wacana 3 periode bisa terus dilanjutkan, dengan cara mengamandemen UUD 1945 terlebih dahulu, terutama yang berkaitan dengan Pasal 7 tentang pembatasan masa jabatan seorang presiden. Hemat saya, mengamandemen UUD 1945 hanya demi membuat masa jabatan presiden 3 periode menjadi dimungkinkan adalah tidak bijak. Apa urgensi dari pengamandemenan tersebut?

Pandemi kini sudah kian mereda, perekonomian juga sudah mulai membaik, sehingga pemilu yang akan diadakan tahun 2024 seharusnya bukanlah menjadi sebuah alasan lagi untuk tidak dapat dilaksanakan. Kemudian apakah bijak apabila kita hanya mengamandemen satu atau beberapa pasal yang berkaitan dengan masa jabatan presiden dalam UUD 1945? Saya rasa tidak ada hal yang sepenting itu untuk mengamandemen UUD 1945.

Wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode tidak boleh ditindaklanjuti karena tidak sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Selain inkonstitusional, wacana 3 periode ini juga dapat membahayakan demokrasi karena dapat menimbulkan kekuatan yang lebih besar dan kuat lagi di tangan penguasa, padahal demokrasi dan konstitusi hadir agar dapat membatasi kekuasaan pemerintah, karena kekuasaan yang absolut pada akhirnya hanya akan menimbulkan kecenderungan untuk korup.

Jika tetap memaksakan untuk melanjutkan wacana 3 periode tersebut, maka satu-satunya jalan adalah dengan melakukan  pengamandemenan UUD 1945 terlebih dahulu, terutama pada Pasal 7 UUD 1945. Namun pengamandemenan UUD 1945 bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan mengingat halangan-halangan dan hambatan-hambatan untuk mengadakan pemilu di tahun 2024 seperti pandemi dan ekonomi sudah kian mereda dan membaik.

Hemat saya, sebagai negara hukum pemerintah seharusnya dapat tetap menjunjung tinggi konstitusi dan demokrasi. Pemilu harus tetap dilaksanakan seperti seharusnya, agar sirkulasi kekuasaan tetap berlangsung, sehingga dapat menghindari kekuasaan yang terlalu besar di tangan pemerintah.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//