• Opini
  • Dampak Pernikahan Dini dan Ketentuannya dalam UU Perkawinan

Dampak Pernikahan Dini dan Ketentuannya dalam UU Perkawinan

Dampak dari pernikahan dini bermacam-macam, mulai putus sekolah hingga menyebabkan tingkat perceraian yang tinggi.

Vanya Azwaa Edel Gunawan

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Ketentuan pernikahan dalam UU Perkawinan. Pernikahan dinia masih marak di masyarakat, meskipun telah dilarang undang-undang. (Ilustrasi: Vanya Azwaa Edel Gunawan/mahasiswi Unpar)

21 Juni 2022


BandungBergerak.id - Peraturan negara merupakan sekumpulan peraturan yang memuat norma hukum yang berlaku pada suatu negara dan harus ditaati oleh seluruh warga negaranya. Begitu juga soal perkawinan.

Sumber peraturan negara Indonesia yang tertulis dan sah adalah Undang-Undang Dasar 1945, tertulis pada Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai harus sudah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan bahwa usia untuk menikah bagi seorang laki-laki dan perempuan adalah 19 (sembilan belas) tahun.

Pernikahan tidak dapat dilangsungkan jika kedua atau salah satu calon mempelainya belum mencapai umur yang telah ditentukan oleh peraturan kecuali kedua calon mempelai mendapat izin dari kedua orang tua masing-masing. Jika pernikahan dini tetap dilakukan maka kemungkinan besar akan menyebabkan beberapa dampak atau resiko yang tidak diinginkan.

Pada peraturan yang berlaku saat ini atau dapat dibilang sebagai hukum positif negara Indonesia, pernikahan tidak dapat dilakukan jika tidak ada persetujuan dari pihak kedua calon mempelai dan jika salah satu atau kedua calon mempelai masih di bawah umur, maka kedua calon mempelai harus mendapat izin dari kedua orang tua pihak masing-masing.

Hal tersebut ada pada peraturan yang berlaku dan diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan itu dapat dilakukan dengan beberapa syarat, yaitu harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai dan untuk calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin dari orang tua pihak perempuan dan laki-laki.

Adapun pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa usia untuk melangsungkan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 (sembilan belas) tahun, maka sudah jelas pernikahan di bawah umur (pernikahan dini) itu melanggar hukum positif Indonesia, dengan kata lain pernikahan dini itu melanggar pasal yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Akan tetapi, pada kehidupan nyata pernikahan dini masih tetap terjadi dan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sampai saat ini di Indonesia dan bahkan angkanya kemungkinan besar akan terus meningkat karena beberapa masyarakat Indonesia yang masih kental akan adat istiadat. Jadi meskipun ada peraturan Undang-Undang tentang perkawinan masyarakat adat tetap melangsungkan pernikahan di bawah umur karena ketentuan dan isi dari peraturan Undang-Undang Perkawinan berbeda dengan adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat adat.

Baca Juga: AJI Bandung Mengecam Kekerasan terhadap Jurnalis di Kabupaten Sukabumi
Janji dan Pengkhianatan dalam Lakon Sokasrana
Jabang Tutuka dalam Balutan Wayang Wong di ISBI Bandung

Kejadian di Masyarakat

Kejadian nyata pernikahan dini yang terjadi di Indonesia ada di Kelurahan Wiring Plannae, Kecamatan Temoe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pasangan dari pernikahan dini tersebut masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dengan pihak perempuan yang masih berusia 16 tahun dan pihak laki-laki yang masih berusia 15 tahun.

Pernikahan dini ini terjadi karena adanya perjodohan oleh kedua pihak keluarga dari mempelai perempuan dan laki-laki. Jadi dapat dikatakan bahwa pada saat pernikahan dini tersebut akan dilangsungkan belum tentu dan belum pasti ada persetujuan dari kedua mempelai, maka pernikahan dini yang dilakukan ini melanggar ketentuan peraturan UU Perkawinan Pasal 6 ayat (1).

Adapun pihak yang pro dan kontra pada kalangan masyarakat Indonesia terhadap pernikahan dini, karena Indonesia itu dikenal dengan negara yang beragam jadi pastinya setiap masyarakat Indonesia memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda-beda terhadap pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini.

Untuk masyarakat yang pro terhadap pernikahan dini biasanya dikarenakan adanya sangkut paut dengan adat istiadat, adanya paksaan dari pihak keluarga yang memiliki tujuan untuk menjodohkan atau ingin menghindari hal-hal yang tidak diinginkan misalnya seperti seks bebas, dan pola pikir masyarakat adat yang dapat dibilang masih kuno karena memandang derajat seorang wanita hanya sebagai ibu rumah tangga saja sehingga wanita lebih baik menikah dari pada mengejar ilmu setinggi mungkin.

Sedangkan, untuk masyarakat yang kontra terhadap pernikahan dini disebabkan beberapa hal, yaitu karena pernikahan dini merupakan perilaku yang melanggar Undang-Undang Perkawinan dan adanya kecemasan pada masyarakat terhadap dampak yang tidak diinginkan dari pernikahan dini.

Dampak dari pernikahan dini tentunya bermacam-macam, seperti putus sekolah, masalah pada kesehatan reproduksi wanita yang bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap ibu dan bayinya, masalah ekonomi karena kemungkinan besar pihak laki-laki belum siap untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perilaku remaja yang dapat dibilang belum stabil atau dewasa, dan akan menyebabkan tingkat perceraian yang tinggi.

Dapat disimpulkan bahwa sudah jelas sekali pernikahan dini melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan bahkan dapat menimbulkan dampak-dampak atau resiko terhadap pasangan serta anak-anaknya. Maka upaya untuk mengurangi dan menghindari dampak-dampak yang tidak diinginkan dari pernikahan dini adalah lebih baik masyarakat Indonesia taat pada peraturan yang sudah ada dalam ketentuan Undang-Undang Perkawinan.

Di sisi lain, pemerintahan harus lebih tegas terhadap kasus-kasus pernikahan dini, agar generasi muda yang nantinya akan memimpin negara Indonesia tetap bisa menjalankan pendidikannya tanpa ada gangguan dan menjadi sejahtera.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//