• Berita
  • Urban 20, Bandung Bukanlah Pajangan, Tapi Perlu Membangun Peta Jalan Ketahanan Pangan

Urban 20, Bandung Bukanlah Pajangan, Tapi Perlu Membangun Peta Jalan Ketahanan Pangan

Belum terlihat peta jalan ketahanan pangan Kota Bandung yang terjalin dengan masalah lingkungan. Peta ini perlu dibangun agar program Buruan SAE bisa konsisten.

Pembukaan Konferensi Internasional Ketahanan Pangan Urban 20, di Unpar, Bandung, Rabu (3/8/2022). Konferensi ini membahas isu ketahanan pangan berkelanjutan. (Sumber: Tangkapan Layar Youtube Unpar)

Penulis Iman Herdiana3 Agustus 2022


BandungBergerak.idKota Bandung menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Ketahanan Pangan Urban 20, 3-4 Agustus 2022. Isu-isu perkotaan dan ketahanan pangan menjadi bahasan utama konferensi Urban 20 yang dihadiri 20 wali kota dari berbagai belahan dunia.

Solusi yang akan dibahas Urban 20 yang dijadwalkan dihadiri oleh 250 peserta baik dari dalam negeri maupun mancanegara, adalah meningkatkan ketahanan pangan kota dan menciptakan lapangan kerja melalui perkebunan perkotaan (urban farming) berbasis budaya dan teknologi.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat menyatakan, Urban 20 menjadi momentum bagi Indonesia, khususnya Kota Bandung, agar segera menyusun peta jalan (road map) ketahanan pangan. Ketahanan Kota Bandung tak cukup mengandalkan perkebunan perkotaanBuruan SAE yang lingkupnya terbatas. Tanpa peta jalan, konsep Buruan SAE hanya akan menjadi pajangan (gimmick) dan tak berkelanjutan.

Salah satu tujuan Urban 20, seperti dikatakan Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, adalah menghadapi masalah ketidaksetaraan dalam mengakses pangan di masyarakat perkotaan. Menurutnya, masalah pangan terkait erat dengan kemiskinan dan kelaparan, dan ini menjadi masalah internasional.

Karena itu, kata Yana Mulyana, isu pangan bersifat lintas sektor dan lintas negara. Di mana kota-kota dituntut mampu melakukan pembangunan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Yana berharap Konferensi Urban 20 mampu menghasilkan inovasi dan berbagai solusi, “Untuk mengatasi masalah pangan yang kita hadapi dan menciptakan masa depan lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan,” kata Yana Mulyana, saat membuka Konferensi Internasional Ketahanan Pangan Urban 20, di Unpar, Bandung, Rabu (3/8/2022).

Peta Jalan Buruan SAE

Kota Bandung terpilih menjadi tuan rumah konferensi Urban 20 karena dianggap sukses membangun konsep ketahanan pangan mandiri melalui program Buruan SAE, demikian klaim Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, Gin Gin Ginanjar.

Gin Gin menyebut, Buruan SAE telah menjadi perhatian luar negeri sebagai konsep ketahanan pangan mandiri. Agenda berikutnya dari peserta konferensi Urban 20 adalah berkunjung ke beberapa Buruan SAE di Kota Bandung.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong, menyatakan konsep kebun kota seperti Buruan SAE memang bisa menjadi salah satu solusi dalam membangun ketahanan pangan. Meski demikian, Meiki tidak melihat adanya peta jalan dari Buruan SAE. Peta ini seharusnya disusun untuk menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan sebagaimana ditekankan Urban 20.

“Dari sesi program, [Buruan SAE] baik sebagai bentuk ketahanan pangan. Tapi tetap ada catatan jika program ini tidak dikawal dan dipersiapkan oleh peta jalannya. Yang kami lihat selama ini masih terkesan gimmcik, karena kalau mau kita diaudit bareng ada juga praktik Buruan SAE yang tidak jalan sebagaimana mestinya seperti yang diharapkan,” kata Meiki W Paendong, dihubungi BandungBergerak.id.

Program ketahanan pangan untuk kota sepadat Bandung dengan 2,5 juta jiwa penduduknya, memerlukan kajian ilmiah yang tepat dalam merumuskan peta jalan. Di dalam peta ini berisi sosialisasi, praktik, hingga tujuannya, yaitu ketahanan pangan yang konsisten dan berkelanjutan.

Road map Buruan SAE juga mencakup apakah hasil panennya untuk komersil atau untuk diberikan cuma-cuma. Jika ujungnya dikomersilkan, bagaimana mekanisme penjualannya, dan jika tidak dikomersilkan, juga mesti dirancang mekanismenya. Lalu, disusun juga dengan biaya pengadaan sarana prasarana, termasuk bibit.

Menurut Meiki, peta jalan tersebut diperlukan agar urban farming ala Buruan SAE bisa berjalan berkelanjutan. Walhi Jawa Barat sendiri mendapat laporan bahwa ada Buruan SAE yang tidak berjalan, salah satu masalahnya karena SDM. Pertama, tidak ada SDM yang mempraktikkan. Kedua, ada SDM, tapi karena konsep ketahanan pagannya kurang dimaknai membuat SDM tersebut tidak jalan.

“Jadi urban farming tidak hanya sekadar pajangan atau upaya yang sifatnya etalase, tapi harus dimaknai juga secara mendalam. Konteksnya untuk menjamin ketahanan pangan ke depan. Tidak hanya jika terjadi darurat seperti pandemi kemarin, tapi juga untuk membantu ketersediaan kebutuhan pangan warga walau tidak dalam kondisi darurat pandemi,” terangnya.

Baca Juga: Sawah di Rancasari Ditargetkan Bisa Panen 4 Kali dalam Setahun, Irigasinya dari Mana?
Nasib Petani dan Sawah yang Tersisa di Bandung Timur
Data Perkembangan Luas Wilayah Kota Bandung 1906-2020, Dua Kali Lipat Lebih Luas Berkat Bergabungnya Gedebage

Urban Farming dan Lingkungan

Perlu diingat, ketahanan pangan terkait erat dengan lingkungan. Kota Bandung memiliki masalah menipisnya ruang terbuka hijau (RTH) dan pengelolaan sampah. RTH Kota Bandung baru mencapai 12 persen, masih jauh dari batas minimal yang dimandatkan regulasi, yakni 30 persen dari luasan kota yang mencapai 16.731 hektare.  

Dari 12 persen RTH Kota Bandung, terdiri dari permakaman, taman kota, hutan kota, sempadan jalan yang tidak dibeton atau terbangun, dan lahan pertanian. Dalam konteks ketahanan pangan, perkebunan kota hanya salah satu dari solusi yang harus dijalankan. Solusi lainnya adalah mempertahankan lahan-lahan pertanian yang ada agar tidak beralih fungsi jadi bangunan.

Namun data yang ada, Bandung mengalami penyusutan luas lahan sawah yang sangat hebat. Pada tahun 2003, Kota Bandung masih memiliki 2.104 hektare lahan sawah. Tahun 2017, luasnya tersisa tinggal 725 hektare. Artinya, dalam kurun 14 tahun terjadi pengurangan luas lahan sawah sebanyak 1.379 hektare. Atau, 98,5 hektare setiap tahunnya.

Pemerintah Kota Bandung tercatat memiliki lahan sawah abadi di kawasan timur seluas 32,4 hektar. Hasil panen dari sawah abadi itu hanya sanggup mencukupi 5 persen dari total kebutuhan warga Kota Bandung sebanyak 600 ton beras per hari. Kebutuhan pangan Kota Bandung 96,47 persen berasal dari daerah lain di luar Bandung. Artinya, ketahanan pangan Kota Bandung menemukan tantangan realitas yang berat.

Di sisi lain, Meiki melihat sejauh ini belum ada upaya ketat yang dilakukan Pemkot Bandung dalam mengunci lahan-lahan pertanian dari alih fungsi lahan. Perlindungan lahan pertanian harus dalam bentuk regulasi, yaitu memasukkan lahan pertanian ke dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) bahwa lahan tersebut tidak bisa beralih fungsi selain pertanian.

“Lahan pertanian di Bandung kayaknya belum dikunci di RDTR. Tidak cukup ketahanan pangan mengandalkan urban farming, karena ada lahan pertanian yang berada di wilayah administrasi Kota Bandung. Itu harus dipertahankan, karena bisa menjadi andalan juga untuk memenuhi aspek ketahanan pangan,” katanya.

Tantangan lainnya, konsep urban farming harus terjalin dengan pengelolaan sampah. Sampah Kota Bandung yang per harinya mencapai 1.500 ton, bisa dikurangi dengan urban farming ini. Artinya, sampah-sampah pangan harus diolah menjadi pupuk dalam urban farming, sehingga sampah yang dibuang ke TPA akan berkurang.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//