• Kolom
  • Juru Lelang George Loheyde

Juru Lelang George Loheyde

George Loheyde, satu lagi imigran dari Jerman yang mengadu peruntungan di Bandung. Selain menjalankan usaha toko dari 1862 hingga 1869, ia juga seorang juru lelang.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Pemberitahuan tentang George Loheyde yang akan melelang barang-barang milik F. W. Junghuhn. (Sumber: Java-bode, 30 Maret 1864)

25 April 2021


BandungBergerak.idSaya membuka-buka Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie untuk tahun 1865 hingga 1873. Pada halaman yang membahas “handelshuizen” alias perusahaan di Hindia Belanda, saya menemukan nama G. Loheijde atau G. Loheyde yang punya usaha di Bandong – ejaan lama sebelum diganti menjadi Bandoeng menjelang pergantian dari abad XIX ke abad XX. Saya sungguh jadi penasaran, siapakah Loheyde ini? Kapankah dia mulai berusaha di Bandung? Bisnis apakah gerangan yang diusahakannya?

Untuk memuaskan rasa penasaran, saya melakukan pencarian dari sana-sini, memaksimalkan penyelidikan dalam media daring. Pada pencarian pertama, saya kurang berhasil menggali identitasnya. Kali pertamanya saya hanya mendapatkan berbagai jejaknya di Tasikmalaya dan Bandung. Namun, pada pencarian kedua kali, dengan tetap berharap banyak, akhirnya saya memperoleh yang dicari-cari. Identitasnya dapat ditemukan, meski tidak lengkap. Oleh karena itu, baiklah saya akan uraikan temuan jejak usahanya dulu, lalu disusul identitasnya. 

Berita paling lama yang saya temukan berasal dari 1858. Dalam Java-bode (8 Desember 1858), ada kabar bahwa E. Loheyde yang semula menyandang nama keluarga Van Hulst melahirkan seorang anak laki-laki di Cigorowong pada 30 November 1858. Namun, yang menarik penulisan kata “Tjigrowong” diikuti dengan kata “(Bandong)”. Dengan demikian, ini tentu saja mengindikasikan bahwa Cigorowong berada di Bandung. Tetapi setelah saya melakukan pencarian, nama Cigorowong tidak ada di Kota Bandung, melainkan berada di Tasikmalaya. Memang terbukti bukan di Bandung, karena saya mendapatkan konfirmasinya pada pencarian kedua, bahwa istri G. Loheyde itu melahirkan di Cigorowong, Singaparna, Tasikmalaya. Meski tetap saja saya heran mengapa Cigorowong ditempatkan di Bandung.

Berita kedua langsung menyentak karena berisi tentang kematian seorang anak.  Dalam Bataviaasch Handelsblad (9 Desember 1863) disebutkan bahwa G. Loheijde dan E. Loheijde (van Hulst) berduka cita karena anaknya yang baru berusia 1 tahun 8 bulan, Maximiliaan Guido, meninggal dunia. Pengumuman tersebut dibuat oleh keduanya di Bandong, 5 Desember 1863. Pengumuman ini penting untuk mengonfirmasi bahwa E. Loheyde, dari berita tahun 1858, memang istri G. Loheijde.

Namun, apakah pencantuman “Bandong” itu artinya memang Bandung, bukan Cigorowong seperti pada berita pertama? Pertanyaan ini terjawab oleh sebuah informasi di tahun 1864.  Dalam Java-Bode (26 dan 30 Maret 1864) ada berita menarik tentang pelelangan barang-barang milik F. W. Junghuhn yang nantinya meninggal di Jayagiri, Lembang, pada 24 April 1864. Barang-barang tersebut berupa lemari kaca, meja, bangku, kursi, tempat tidur, lukisan, meja tulis, termasuk bekal sehari-hari di rumah dan kereta kuda untuk menempuh perjalanan. Pelelangannya akan diselenggarakan pada Jum’at dan Sabtu, 8-9 April 1864, di Bandung. Nah, juru lelangnya berkaitan dengan G. Loheyde. Karena di situ disebutkan bahwa “De Vendutie zal gehouden worden door den heer G. Loheijde, welke zich met Commissien belast” (pelelangan diselenggarakan oleh Tuan G. Loheijde atas nama komisi).

Sepeninggal anaknya Maximiliaan, istri Loheyde melahirkan lagi seorang anak perempuan di Bandung pada 4 Mei 1864 (Bataviaasch Handelsblad, 9 Mei 1864, dan Rotterdamsche Courant, 2 Juli 1864), kurang dari sebulan setelah dia melelang barang-barang milik Junghuhn.

Lelang dan Usaha Toko

Setelah itu, bertahun-tahun kemudian, antara 1865 hingga 1870, berita terkait Loheyde hampir bertautan dengan pelelangan. Pada awal 1865, tepatnya 31 Januari 1865, Loheyde melelang barang-barang milik Letnan Kolonel R. T. de Steijff, antara lain berupa barang-barang mebel, sadel kereta, dan kereta kuda (Bataviaasch Handelsblad, 21 Januari 1865). Pada Senin dan Selasa, 5-6 Juni 1865, Loheyde terlibat dalam pelelangan barang-barang yang tidak dibawa serta oleh W. J. Pahud saat diangkat menjadi asisten residen di Ponorogo, Jawa Timur (Java-bode, 31 Mei 1865). Barang yang dijualnya rata-rata sama dengan yang sebelumnya, berupa perkakas rumah tangga.

Namun, dari berita 1867, dapat disebutkan bahwa Loheyde juga membuka usaha toko di Bandung. Ini terbaca dari Java-Bode (21 Desember 1867) yang menyatakan ia menagih orang-orang yang berutang kepadanya, seraya akan menjual stok barang-barangnya dengan murah. Pengumuman tersebut dibuat oleh Loheyde di Bandung pada 15 Desember 1867. Informasi tentang Loheyde yang membuka toko ini diperkuat oleh berita dari tahun 1869.

Dalam Java-bode edisi 19 Mei 1869 diwartakan bahwa karena sejak 13 April 1869 usaha toko yang diurusi oleh G. Loheyde di Bandung, dari 13 April 1862 hingga Januari 1869 (“der toko-zaak door den Heer G. Loheyde te Bandong, vanaf 13 Junij 1862 t/m ultimo Januarij 1869”), dibubarkan atau dilikuidasi, maka orang-orang yang berutang kepadanya harus segera melunasi. Bila tidak segera dilakukan, maka tindakan hukum akan diberlakukan. Untuk keperluan tersebut, Loheyde memberi kuasa kepada notaris hukum sipil E. Langeveld di Bandung.

Dari berita tersebut, paling tidak saya jadi mendapatkan titik terang awal mula Loheyde berusaha di Bandung. Ia memulainya pada 1862 dan mengalami masalah pada 1869. Oleh karena itu, dari uraian sebelumnya, terutama berita mengenai kelahiran anaknya di Cigorowong pada 1858, saya cenderung menganggap fase antara 1858 hingga 1861 atau awal 1862, Loheyde bersama keluarganya masih berada di Tasikmalaya.

Selanjutnya dari data 1873, Loheyde diketahui meninggal dunia. Ini antara lain diwartakan dalam De Locomotief (11 September 1873) dan Java-bode (5 November 1873). Dari koran pertama diketahui bahwa E. Loheyde, janda Loheyde, menjadi pelaksana wasiat (“executrice testamentair”) bagi warisan suaminya, paling tidak hingga akhir September 1873. Sementara dari koran kedua, disebutkan bahwa mendiang G. Loheyde adalah saudagar atau pedagang di Bandung (“in leven koopman te Bandong”). Dengan kematian suaminya, E. Loheyde yang menjadi pelaksana wasiat meminta para pihak yang terkait dengan bisnis suaminya untuk datang ke rumahnya pada 1 Desember 1873, pukul satu siang. Pengumuman tersebut dibuat oleh E. Loheyde di Bandung pada 1 November 1873.

Lebih dari setahun kemudian, tepatnya pada 25 Juni 1875, ternyata F. Thiem diberi kuasa oleh E. Loheyde untuk mengurus bisnis mendiang suaminya. Dalam pengumuman tersebut, Thiem menyatakan bahwa semua utang bagi usaha G. Loheyde yang mengalami kebangkrutan, bila tidak terlunasi pada akhir Juli 1875, akan dipulihkan oleh pengadilan (Java-Bode, 2 Juli 1875). Berita ini sangat menarik karena melibatkan tokoh Thiem yang sebelumnya sudah saya tulis.

Mungkinkah ini adalah awal dari bisnis Thiem di Bandung dan mungkinkan ia menempati bekas usaha Loheyde? Kemungkinan tersebut saya pikir sangat beralasan karena dalam tulisan kenangan tentang Bandung pada 1870-an yang dimuat dalam Bredasche courant (1 April 1938), disebutkan saat itu di Bandung ada dua toko, yakni milik Loheyde yang menempati lahan yang dijadikan Hotel Preanger dan toko-hotel Thiem, ditambah toko pembuat roti milik Oey Bouw Hoen. Dari situ jelas sudah, lahan milik Loheyde memang akhirnya menjadi milik Thiem karena Hotel Preanger alias Hotel Thiem memang dikelola oleh F. Thiem.

Baca Juga: Presiden Pertama Societeit Concordia
Homann di Balik Hotel

Keluarga Loheyde

Nah, sekarang giliran mengungkap hasil pencarian saya yang kedua. Dari buku susunan Mr. P. C. Bloys van Treslong Prins (Genealogische en heraldische gedenkwaardigheden betreffende Europeanen op Java, deel IV, 1939: 79) ditambah dari sites.google.com serta genealogieonline.nl (diakses pada 13 April 2021), identitas G. Loheyde dan keluarganya makin tambah jelas.

Menurut Prins (1939: 79), nama lengkap Loheyde adalah George Loheyde. Ia lahir di Bünde, Prussia, pada 27 Juni 1821 dan meninggal di Bandung pada 27 Juni 1873. Sementara anaknya Maximiliaan Guido Loheyde lahir di Singaparna pada 23 Maret 1861 dan meninggal di Bandung pada 5 Desember 1863. Selain itu, ada nama Anna Loheyde yang lahir pada 10 Februari 1870 dan meninggal pada 19 April 1879 (Prins, 1939: 1). Dari buku tersebut, jelaslah Loheyde, seperti Junghuhn, Thiem, dan Homann, adalah imigran dari Jerman yang mengadu peruntungan di Bandung. Tempat kelahiran anaknya, Maximiliaan, juga membuktikan memang Loheyde pertama-pertama berdomisili di Cigorowong, Singaparna, Tasikmalaya, paling tidak hingga 1861, karena sejak 1862 ia sudah mulai membuka usaha di Bandung. Selain itu, Loheyde punya anak lainnya yakni Anna yang juga tidak berumur panjang.

Dari situs sites.google.com dan genealogieonline.nl, gambarannya jadi kian terang. George Loheyde menikahi Elizabeth van Hulst di Semarang pada 31 Maret 1854. Anak-anaknya, selain Maximiliaan Guido Loheyde (1861-1863), adalah seorang anak perempuan yang dilahirkan pada 1864, Anna Loheyde (1870-1878), Maria Antoinette Loheijde (1868-1939), serta Jeanne Pauline Loheijde (1871-1948). Jadi, pasangan tersebut sempat dikaruniai lima orang anak, tetapi yang berumur panjang hanya dua orang. Istri Loheyde, Elizabeth, meninggal pada usia 79 tahun pada 1914 sehingga dari situ dapat diperkirakan bahwa dia mungkin lahir pada 1835.

Alhasil, dengan dua kali pencarian tersebut, saya berhasil mendapatkan profil baru orang Eropa yang pernah bergiat di Parijs van Java. Dengan hasil ini pula, barangkali saya dapat menambah khazanah baru menyangkut pengetahuan kita tentang masa lalu Bandung.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//