CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #1: Karakter Ahistoris Cicalengka
Perombakan bangunan-bangunan bersejarah di Cicalengka terus terjadi: Stasiun Cicalengka, Masjid Agung Cicalengka, dan Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi. Ahistoris.
Nurul Maria Sisilia
pegiat literasi di Rumah Baca Kali Atas yang tergabung dalam komunitas Lingkar Literasi Cicalengka, bisa dihubungi di [email protected]
17 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Menjelang hari kemerdekaan Indonesia, berbagai tempat di Tanah Air mulai bersolek. Jalan-jalan dihias dengan nuansa merah putih. Bendera, umbul-umbul, dan ornamen lainnya ditata meriah. Pemandangan serupa ditemui di jalan-jalan di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung.
Namun, ada yang menarik perhatian saya. Di sepanjang Jalan Dewi Sartika dan Jalan Cikopo, terdapat poster-poster bernada protes, seperti “Cicalengka Hilang Karakter” dan “Kembalikan Tradisi Tahunan Kami!”. Sebagai warga Cicalengka, saya bisa menduga bahwa poster itu adalah sebentuk protes beberapa pihak atas ketidakjelasan penyelenggaraan karnaval yang jadi agenda tahunan setiap bulan Agustus di Cicalengka.
Saya dibuat bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan “karakter” Cicalengka? Lalu, terkait kata “tradisi”, apakah karnaval adalah sebenar-benarnya tradisi Cicalengka? Demikianlah poster-poster di sepanjang jalan itu jadi pemantik untuk sedikitnya menggali dan mendefinisikan ulang karakter tanah lahir saya, Cicalengka.
Bukan Sekadar Angka
Sebenarnya saya masih menyimpan banyak pertanyaan di dalam benak. Namun, saya lebih menaruh perhatian pada pertanyaan pertama tentang karakter Cicalengka yang katanya “hilang”. Hilang? Memang pernah punya?
Karakter merupakan ciri khas individu yang ditunjukkan melalui cara bersikap, berperilaku, dan bertindak. Jika dikaitkan dengan suatu wilayah, karakter adalah pembeda atau kekhasan yang tampak menonjol di daerah tersebut. Bisa berupa nilai, norma, atau konsep bermasyarakat. Karakter ini lahir, salah satunya, dari adanya konsepsi diri terkait identitas dan jati diri daerah. Saat konsepsi diri terbentuk, daerah tersebut menjadi berkarakter.
Informasi mengenai identitas Cicalengka dengan mudah bisa ditemukan di situs pemerintahan Cicalengka. Informasi tersebut berisi data statistik potensi sumber daya alam yang subur lestari. Luas daerahnya 45,407 kilometer persegi, dengan 30 persen luas tanahnya berupa persawahan, perkebunan, dan hutan. Ini tentu potensi alam yang menjanjikan. Sumber daya manusia Cicalengka, menurut data, juga mumpuni. Tercatat ada 47,32 persen penduduk usia produktif 20-50 tahun.
Namun, serangkaian data ini masihlah berupa angka. Ibarat tubuh, jiwanya belum ada. Ini yang selanjutnya jadi pertanyaan fundamental. Apa yang yang menjadi jiwa Cicalengka?
Sejarah Cicalengka dan Jiwa Zaman
Sejarah mencatat Cicalengka sebagai wilayah yang punya pengaruh. Raden Dewi Sartika dan Ir. H. Djuanda adalah dua tokoh yang masa juangnya terpaut dengan Cicalengka. Bukan sekadar menjejak, keduanya memberikan pengaruh positif di Cicalengka. Irisan sejarah ini menjadi bukti bahwa Cicalengka tidak bisa sekadar didefinisikan dengan luas wilayah atau letak geografis. Ada nilai-nilai sejarah hidup di kawasan ini.
Selain Dewi Sartika dan Ir. H. Djuanda, terdapat beberapa fakta sejarah lain yang menjadi bagian dari pertumbuhan Cicalengka. Di antaranya Stasiun Cicalengka, Masjid Agung Cicalengka, dan Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi.
Stasiun Cicalengka merupakan salah satu stasiun penting di Priangan. Sejak paruh kedua abad ke-19 afdeling Cicalengka, yang luas wilayahnya meliputi beberapa daerah di Garut, tampil sangat menjanjikan. Dengan wilayah yang terbentang luas itu, banyak pihak swasta yang mendirikan perkebunan kopi, teh, kina, dan juga tembakau. Merujuk paparan Atep Kurnia dalam artikelnya di BandungBergerak.id (2021), jalur kereta api yang melayani angkutan barang dan penumpang antara Bandung-Cicalengka diresmikan pada 10 September 1884. Dalam perekembangannya, jalur kereta ini kemudian bermanfaat menyalurkan transportasi kopi dan garam ke Batavia.
Masjid Agung Cicalengka merupakan salah satu masjid tertua di Bandung Raya yang berdiri sekitar awal abad ke-19. Bentuk bangunannya khas Priangan, yakni atap berbentuk tumpang tiga tumpuk dengan bukaan di antaranya. Atap terlihat melandai pada bagian bawah tumpuk tengah dan tumpuk teratas.
Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi, atau yang lebih dikenal dengan nama Gedung Nasional (GDN), pernah dijadikan sebagai tempat melepas lelah para pejuang Indonesia pada tahun 1947. Menurut informasi yang dihimpun dari tokoh masyarakat, Agus Rama, sebagaimana dijelaskan oleh Atep Kurnia dalam artikelnya di AyoBandung.com (2022), GDN dibangun pada tahun 1965 atas inisiatif Batalyon 308, tokoh masyarakat, dan pengusaha Cicalengka saat itu.
Ketiga gedung bersejarah di Cicalengka ini bukan semata bangunan lawas. Dinamika yang bergulir pada masanya menandai semangat juang dan gerak sosial yang progresif. Stasiun Cicalengka semestinya bisa dibaca sebagai penanda modernitas dan keterbukaan. Masjid pada era kolonial tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga ruang juang masyarakat. Pun dengan Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi atau Gedung Nasional.
Ketiga bangunan bersejarah di Cicalengka adalah juga penanda zaman. Penanda jiwa atau semangat yang dikandung pada masa tersebut. Sama halnya dengan kehadiran dan kiprah Raden Dewi Sartika dan Ir. H. Djuanda yang seyogyanya dimaknai sebagai penanda semangat perubahan dan pergerakan ke kemajuan. Jika dikaitkan dengan identitas atau jati diri kedaerahan, jiwa-jiwa semacam inilah yang semestinya dikenali, dimiliki, dan terus diwariskan.
Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (16): Stasiun Cicalengka
Menghidupkan Budaya Literasi di Cicalengka
Gerilya Literasi di Pinggiran Kota
Ahistoris?
Saatnya kita bersama-sama menengok kondisi kekinian Cicalengka. Stasiun Cicalengka telah mengalami perbaikan yang mengharuskan salah satu bagian bersejarahnya dirombak. Seolah tak cukup, perombakan lain konon akan kembali dilakukan demi memuluskan proyek kereta cepat.
Masjid Agung Cicalengka dalam waktu dekat juga akan direnovasi. Berdasarkan gambaran visual pada baliho di area masjid, kita tahu bahwa masjid bersejarah ini akan dibangun kembali dengan bentuk yang benar-benar baru. Tidak ada unsur historis bangunan tersebut dipertahankan. Nasibnya menyusul Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi atau Gedung Nasional yang telah lebih dulu direnovasi menjadi mirip sebuah toko ritel dengan cat warna-warni mencolok.
Melihat apa yang terjadi di lapangan, saya jadi berpraduga, jangan-jangan karakter Cicalengka sebagai sebuah daerah yang sebenarnya adalah ahistoris. Ia buta sejarah atau bahkan tidak menghargai sejarahnya. Sekali lagi, ini sekadar praduga yang muncul dari amatan atas kurang seriusnya kebijakan dan aksi untuk melindungi dan melestarikan banyak nilai sejarah yang dimiliki Cicalengka.
Momen perayaan hari kemerdekaan kali ini kiranya tepat dijadikan momen refleksi. Momen untuk menjiwai betul-betul warisan sejarah kewilayahan, kemudian menjadikannya semangat kolektif. Bahkan lebih jauh, menjadikannya landasan identitas dan jati diri daerah.
Rasanya sayang jika kita hanya gemar merayakan ingar-bingar pesta, tanpa menghayati betul nilai-nilai lokal yang semestinya tumbuh dan mengakar. Sayang sekali rasanya jika semangat bergerak dan berjuang yang telah terbentuk bertahun-tahun itu lantas using, lalu hilang.
*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan komunitas Lingkar Literasi Cicalengka