SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (16): Stasiun Cicalengka
Stasiun Cicalengka beroperasi sejak jalur kereta api angkutan barang dan penumpang antara Bandung-Cicalengka diresmikan pada 10 September 1884. Perannya penting.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
21 November 2021
BandungBergerak.id - Salah satu cita-cita saya adalah menyusun buku sejarah Cicalengka. Sayang, hingga sekarang belum terwujud. Padahal sebagian kawan ada yang bertanya dan bertanya lagi kapan saya akan menuliskannya karena dalam beberapa kesempatan, sejak dulu-dulu, memang saya sempat bilang kepada mereka akan menuliskannya. Barangkali menjadi semacam janji, paling tidak di hati saya.
Cita-cita hendak menyusun buku sejarah Cicalengka berangkat dari remah-remah fakta penting yang berhasil saya gali dari dokumen lawas. Dari situ, saya jadi tahu bahwa di masa lalu, Cicalengka merupakan daerah yang cakupannya cukup luas. Wilayahnya bukan hanya seperti sekarang yang berupa Kecamatan Cicalengka dan meliputi beberapa desa, melainkan mencakup juga beberapa kecamatan yang sekarang masuk ke wilayah administrative Kabupaten Garut.
Dengan cakupan wilayahnya yang luas itu, dapat dimengerti bila sejak paruh kedua abad ke-19, Cicalengka punya peran penting dalam sejarah Keresidenan Priangan, khususnya Kabupaten Bandung. Sejak 1872, Cicalengka ditetapkan sebagai salah satu tempat bermukimnya orang Tionghoa di Priangan (“Aanwijzing van plaatsen voor wijken der oostersche vreemdelingen”), di samping Garut (Limbangan), Sumedang, Manonjaya (Sukapura), Mangunreja (Sukapura-kolot), Tasikmalaya, dan Sukabumi (Staatsblad No. 9, 22 Januari 1872).
Sejak saat itu, di Cicalengka banyak pihak swasta yang mendirikan perkebunan kopi, teh, kina, juga tembakau. Itulah dampak dari dihapuskannya sistem tanam paksa pada 1870, pemberlakuan Undang-undang Agraria pada 1870, dan Reorganisasi Priangan pada 1871.
Oleh karena itu, tidak heran ketika wacana pembangunan jalur kereta api di Priangan mengemuka, Cicalengka termasuk daerah yang sangat diperhitungkan. Pembangunan jalur kereta api ke arah Cicalengka ini didasarkan pada Undang-undang 6 Juni 1878 yang tertuang dalam Staatsblad Nomor 201, dengan petak jalan yang meliputi Bogor-Cicurug, Cicurug-Sukabumi, Sukabumi-Cianjur, Cianjur-Bandung, dan Bandung-Cicalengka.
Dalam tulisan kali ini, selain membahas peresmian jalur kereta api ke Cicalengka serta perkembangannya, saya akan memperkaya uraian dengan sejarah perkembangan wilayahnya, para pejabatnya, dan hal-hal lainnya.
Dulu Suatu Afdeling
Sejak 1862, Cicalengka berstatus sebagai ibu kota Afdeling Bandung Selatan (Zuid Bandoeng). Pada tahun itu, wilayah Kabupaten Bandung dibagi menjadi dua afdeling, yaitu Afdeling Bandung Utara yang berpusat di Kota Bandung dan Afdeling Bandung Selatan yang beribukota di Cicalengka (A. Sobana Hardjasaputra, Perubahan Sosial Kota Bandung, 1810-1906, 2002).
Pada 1864, yang termasuk Afdeling Bandung Utara ada 13 distrik, yakni Kota (Bandung), Ujungberung Kulon, Ujungberung Wetan, Majalaya, Cipeujeuh, Banjaran, Kopo, Cisondari, Rongga, Cilokotot, Rajamandala, Cihea dan Gandasoli. Sementara pada 1867 terdiri atas sepuluh distrik, minus Ujungberung Wetan, Majalaya, dan Cipeujeuh.
Sedangkan Afdeling Bandung Selatan pada 1864 terdiri atas empat distrik, yaitu Timbanganten, Cikembulan, Cicalengka, dan Balubur Limbangan. Tetapi pada 1867, afdeling ini mendapat tambahan tiga distrik dari Afdeling Bandung Utara, yaitu Ujungberung Wetan, Majalaya, dan Cipeujeuh, sehingga jumlahnya menjadi tujuh distrik.
Pemerintahan di setiap afdeling dijalankan oleh asisten residen yang berbangsa Eropa dan patih pribumi yang setara dengan bupati (“zelfstandige patih”). Sejatinya asisten residen berkedudukan di pusat kabupaten, tetapi setelah adanya afdeling mereka juga berkedudukan di pusatnya untuk mendampingi patih. Saat itu, bupati dan “zelfstandige patih” dianggap sebagai “saudara muda” asisten residen, sehingga kedudukannya menjadi setara. Tugas asisten residen adalah mengawasi kinerja bupati.
Dengan adanya kebijakan Reorganisasi Priangan yang mulai diberlakukan pada 1 Juni 1871, Afdeling Bandung Utara diubah menjadi Afdeling Bandung, mencakup sepuluh distrik, diperintah langsung oleh residen. Sementara Afdeling Bandung Selatan diubah menjadi Afdeling Cicalengka, membawahi enam distrik, yakni Cicalengka, Timbanganten, Cikembulan, Balubur-Limbangan, Majalaya, dan Cipeujeuh (Staatsblad No. 121, l0 September 1870).
Keenam distrik itu terbagi menjadi beberapa kecamatan. Di Distrik Cicalengka yang beribukota Cicalengka ada Kecamatan Cigentur dan Narawita; Timbanganten yang beribukota Tarogong ada Kecamatan Bojongsalam, Cisurupan, dan Samarang; Cikembulan yang berpusat di Leles ada Kecamatan Kadungora dan Cikendal; Balubur-Limbangan beribukota di Balubur-Limbangan dengan Cianten dan Cigagade; Distrik Majalaya beribukota di Majalaya dengan Bojong dan Talun; dan di Distrik Cipeujeuh yang beribukota Ciparay ada Kecamatan Wangisagara dan Manggahang.
Dalam perkembangannya, pada 1887, Afdeling Cicalengka dibagi menjadi dua controle-afdelingen, yaitu Cicalengka yang membawahi Distrik Cicalengka, Majalaya, Majalaya dan Cipeujeuh; dan Tarogong yang membawahi Distrik Timbanganten, Cikembulan, dan Balubur-Limbangan. Dengan demikian, hingga 1887, Cicalengka berstatus sebagai afdeling merangkap controle-afdelingen, distrik, dan kecamatan atau onderdistrik.
Setelah terjadi lagi reorganisasi di Priangan (Staatsblad No. 327, l September 1901), sejak 1 November 1901 Cicalengka diturunkan kedudukannya hanya sebagai controle-afdelingen yang membawahi tiga distrik, yaitu Cicalengka (yang terdiri atas Onderdistrik Cicalengka, Cigentur, dan Narawita), Cipeujeuh (Ciparay, Pacet, Manggahang, Majalaya, dan Talun), dan Ujungberung-wetan (Ujungberung, Cibiru, Cibeunying, Buahbatu).
Lalu siapakah para pejabat di Cicalengka pada masa lalu? Saya mendapatkan jawabannya dari Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie untuk 1872 hingga 1940-an. Dari pustaka itu, saya jadi tahu asisten residen Cicalengka adalah W.A. de Kock van Leeuwen (sejak 1 Juni 1871), P.H.J. Varkisser (22 Maret 1879), J.C. Castens (18 Maret 1881), Ch. Beijnon (10 Juli 1889), dan S. Van Hamel (8 April 1897). Sementara yang pernah menjadi patih Cicalengka hanya dua orang, yaitu Demang Wira di Koesoema (sejak 1 Juni 1871) dan Raden Rangga Soeria Karta Adi Ningrat (27 Oktober 1874 hingga 1900).
Pejabat lainnya di Cicalengka ada penghulu kepala yaitu Raden Hadji Moehammad Jaelani (1 Juni 1871) dan Raden Moehammad Hamin (5 Januari 1873) dan jaksa antara lain Mas Djaja di Sastra (14 Februari 1872), Mas Kartawiredja (26 November 1878), Mas Wiria Sastra (12 Juli 1887), Raden Soeradiradja (28 Januari 1891), dan Raden Karta Madenda (25 Mei 1900).
Para pejabat yang sempat menjabat wedana atau kepala Distrik Cicalengka adalah Mas Soeria di Troena (8 Oktober 1880), Raden Wira di Koesoema (30 Juni 1894), Raden Soerjatanoeningrat (27 Agustus 1907), Raden Kandoeroean Wiradikoesoemah (4 November 1910), Raden Prawirakoesoema (24 Maret 1920), Raden Sadeli (26 Maret 1927), Raden Wiramihardja (4 November 1936), dan Mas Irlan Sastradidjaja (23 Januari 1941).
Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (15): Stasiun Haurpugur
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (14): Stasiun Rancaekek
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (13): Stasiun Cimekar
Perkebunan Swasta
Dengan wilayah luas, antara 1871-1900, Cicalengka melingkupi banyak gunung dan hutan. Dalam Regeerings Almanak 1872 dan 1883, disebutkan titik triangulasi di wilayah Cicalengka ditempatkan di Gunung Nini dan Gunung Malabar (Distrik Cipeujeuh), Sanggar (Distrik Majalaya), Loa dan Kaledong (Distrik Cicalengka), Bagendit dan Haruman (Distrik Cikembulan), Calancang atau Cimulu dan Galeuh-pakuan (Distrik Balubur-Limbangan), Gunung Papandayan, Kendang, Pasir Nanggerang, Gunung Gajah, dan Gunung Masigit (Distrik Timbanganten).
Adapun hutan-hutan di sekitar Cicalengka disebutkan, antara lain, dalam Staatsblad No. 115 tahun 1890. Di situ ada hutan Windu-wetan, Guha, Rakutak, Japura, Pulus (Distrik Majalaya), Bedil-wetan, Gunung Halimun, Paseban, Harendong, Cisangkuy, Tukung, Gambung, Sedatapa, Munding, Malabar-wetan (Distrik Cipeujeuh), Papandayan, Puntang, Jaya, Kendang-wetan, Guntur, Puncakjamuju (Timbanganten), Mandalawangi-kidul dan Agung (Distrik Cikembulan), Mandalawangi-kaler (Distrik Cicalengka) dan Harendong-kidul (Distrik Balubur-Limbangan).
Di sekitar hutan-hutan itu banyak sekali lahan yang difungsikan sebagai perkebunan kopi milik pemerintah (Gouvernements koffietuinen) dan persil-persil perkebunan yang diusahakan oleh pihak swasta. Menurut data yang saya baca dari Regeerings Almanak 1880 dan 1883, di sekitar Afdeling Cicalengka hingga akhir 1882 ada 13 lahan perkebunan swasta.
Pengusaha paling awal di Cicalengka adalah J. Sas dan kawan-kawan yang membuka perkebunan kopi Sitiradja (Distrik Cikembulan-Distrik Cicalengka) pada 6 Desember 1873. Selanjutnya E.K.G. Rose membuka perkebunan kopi dan kina di Sindangwangi, Tegalmawuk dan Cideres (Distrik Cicalengka) antara 22 Juni 1875 hingga 22 Mei 1882. K.F. Holle membuka perkebunan Daoelat (Distrik Balubur-Limbangan-Distrik Timbanganten) untuk budidaya kopi, tembakau, dan kina pada 30 Desember 1876. Hal yang sama dilakukan Mr. W.A. Baron Baud di Cibulu (Distrik Cicalengka) pada 27 Desember 1882.
Peresmian Jalur Bandung-Cicalengka
Dengan adanya berbagai potensi di atas, jalur kereta api yang melayani angkutan barang dan penumpang antara Bandung-Cicalengka diresmikan pada 10 September 1884.
Salah satu berita paling awal yang mengabarkan rencana pembukaan jalur itu berikut dampaknya adalah Bataviaasch Handelsblad (BH) edisi 23 Juni 1884. Di situ dikatakan, segera setelah jalur Bandung-Cicalengka dibuka transportasi kopi dan garam dari sana ke Batavia akan menggunakan kereta api dan posisi gudang kopi dan garam di Karangsambung akan dihapus. Minggu pertama Juli 1884 disebut-sebut kereta api pertama kali mencapai Cicalengka (BH, 8 Juli 1884).
Pada akhir Agustus 1884, diumumkan bahwa tangga 10 September 1884 dipilih sebagai titimangsa pembukaan jalur Bandung-Cicalengka (Soerabaijasch Handelsblad, 29 Agustus 1884). Hanya saja, seminggu kemudian tersiar kabar peresmiannya tidak akan dibarengi dengan pesta (De Locomotief, DL, 6 September 1884).
DL edisi 10 September 1884 secara singkat memberi kabar bahwa hari ini terjadi pembukaan jalur Bandung-Cicalengka. Residen Priangan dan warga Bandung lainnya naik kereta perayaan dari Bandung ke Cicalengka, dan di sana mereka akan dihibur aneka permainan pribumi. Sementara pihak berwenang dari jawatan kereta api tidak hadir dalam peresmian itu.
Bagaimana rincian peristiwanya? Kita dapat menyimaknya dari pemberitaan DL edisi 16 September 1884. Di situ antara lain terbaca meski tanpa parade, pesta kembang api, atau makan malam yang riuh-rendah, peristiwa pembukaan jalur itu tetap meriah. Sekitar pukul 07.30, tuan dan puan meriung di peron Stasiun Bandung, mereka nanti naik kereta pesta ke Cicalengka. Dalam jangka waktu tidak lama, tibalah di tujuan.
Setiba di Cicalengka, mereka turun dan mengagumi stasiun yang meski bangunannya kecil tetapi semuanya terhiasi karangan buka dan bendera. Musisi Italia yang turut hadir menghibur para tamu dan warga dengan gesekan biola sangat merdu. Residen Priangan yang turut dalam kereta beserta keluarganya memberikan sambutan. Setelah itu sampanye diedarkan. Semuanya minum untuk menyambut kebahagiaan atas usainya proyek itu, dan terutama memberi selamat kepada orang yang mengorbankan waktu dan pikirannya demi selesainya jalur tersebut.
Di sisi lain, warga pribumi menggelar daun pisang dan menaruh nasi serta lauk pauk di atasnya. Lalu penghulu berdoa agar memperoleh keberkahan. Setelah semua orang merasa puas, sebagian di antaranya ada yang penasaran hendak melihat tempat dikumpulkannya balas. Lalu berangkatlah kereta pasir dan uap menuju Cibodas, sedikit di sebelah barat Stasiun Cicalengka.
Sehabis ekskursi ke Cibodas, hadirin bersama-sama menuju tempat tinggal asisten residen Cicalengka, yang ternyata tidak ada di rumahnya. Karena itu ada salah seorang yang iseng corat-coret menggambar Bachus modern di dinding. Tentu saja, hadirin menjadi bergairah dan tertawa-tawa. Mereka lalu bersama-sama menuju alun-alun Cicalengka, ke panggung rendah dari bambu yang tempat duduknya terasa sejuk. Terdengar sayup-sayup suara musik yang merdu.
Tiba-tiba kontrolir Tarogong berseru kepada hadirin, menyambut. Insinyur Delprat juga memberi tanggapan. Dia berterimakasih kepada hadirin, yang menunjukkan perhatian, sekaligus berpamitan kepada kawan-kawannya, karena dia akan dipindah-tugaskan ke Jawa Tengah. Saat itu, sampanye kembali diedarkan.
Permainan rakyat kemudian dimulai. Bukan hanya orang Eropa, tapi para penonton pribumi yang kaya pun menikmati balap karung, balap makan, dan lain-lain. Namun yang paling menyita perhatian adalah adu babi hutan dengan anjing yang sangat berdarah-darah. Salah satu babi hutan yang nyalang memukul mundur musuhnya, sekitar 20-an anjing yang marah, hingga tinggal satu saja yang berani bertarung. Karena melihat orang Eropa merasa terganggu, penjaga adu menyembelih babi hutan gemuk itu.
Penumpang dan Layanan Kereta Api
Berapa banyak jumlah penumpang yang menggunakan Stasiun Cicalengka pada 1884? Menurut data dari Verslag van den Dienst der Staatsspoorwegen op Java over het Jaar 1884 (1885, dalam Hardjasaputra, 2002), orang yang berangkat dari Bandung ke Stasiun Cicalengka sebanyak 4.636 orang.
Jumlah orang sebanyak itu sudah barang tentu yang menggunakan kereta api lokal Bandung-Cicalengka yang melayani rute Cicalengka, Rancaekek, Gedebage dan Bandung atau sebaliknya. Kereta api lokal itu melayani dua kali keberangkatan dari Cicalengka, yaitu pada pukul 08.53 dan 14.18. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada tambahan orang dari yang menggunakan kereta api Cianjur-Bandung yang ternyata juga berakhir di Cicalengka. Kereta antarkabupaten itu juga dua kali berangkat dari Cianjur, yaitu pada pukul 06.30 dan 12.45, lalu tiba Cicalengka pada pukul 09.55 dan 15.55 (BH dan Java-bode, 10 Mei 1884).
Empat tahun setelah diresmikan, Stasiun Cicalengka dilewati dan menjadi tempat berhenti kereta api jurusan Garut-Bogor atau sebaliknya yang antara lain melalui Stasiun Garut, Halte Cimurah, Wanaraja, Pasir Jengkol, Leuwigoong, Leles, Nagreg. Juga kereta api jurusan Bandung-Garut (Staatsspoorwegen op Java, Westerlijnen. Tijdtafels van den loop der Treinen, 10 Juli 1889 dan Officieele Reisgids der Staatsspoorwegen op Java, en van de Partikuliere Spoor en Tramwegen, 15 Desember 1890). Dua tahun kemudian bahkan ditambah dengan jurusan Garut-Cicalengka dan Bandung-Cibatu (Tijdtafels van den loop der Treinen, 1 Agustus 1891).
Tahun 1893, Stasiun Cicalengka dilalui kereta api jurusan Bandung-Tasikmalaya (Tijdtafels van den loop der Treinen, 16 September 1893). Selanjutnya, dalam Van Dorp's Officieele Reisgids voor Spoor- en Tramwegen op Java (1898 dan 1900), Cicalengka menjadi salah satu tempat berhenti kereta api jurusan Bandung-Maos, Weltevreden-Surabaya, serta Weltevreden-Semarang.
Lalu, berapa jumlah penumpang yang berangkat dan datang dari dan ke Stasiun Cicalengka setelah penambahan layanan kereta api itu? Menurut data dariVerslag betreffende het spoor- en tramwegwezen in Nederlandsch-Indie selama 1923, Stasiun Cicalengka digunakan oleh 430.000 orang penumpang. Rinciannya 221.472 orang yang berangkat dan 208.528 yang datang. Bila dibandingkan dengan tahun 1884, maka penumpang pada 1923 meningkat seratus kali lipat. Sangat dahsyat, kan!
Demikianlah, dalam tempo sekitar empat dasawarsa, kehadiran kereta api tampak memberi dampak signifikan bagi Cicalengka. Bukan saja demi kepentingan ekonomi karena menjadi alat angkut hasil bumi, kereta api telah menjadi sarana yang membuat orang-orang banyak berlalu-lintas dari dan ke Cicalengka, dengan berbagai tujuan: kepentingan bisnis, silaturahmi, juga rekreasi. Barangkali seperti saya saat ini yang mulai kerap lalu-lalang lagi antara Cicalengka-Bandung, seraya tetap memendam hasrat untuk menyusun buku sejarah Cicalengka.