• Nusantara
  • Indonesia Perlu Sistem Peringatan Tsunami Berbasis Komunitas

Indonesia Perlu Sistem Peringatan Tsunami Berbasis Komunitas

Peringatan dini tsunami di Indonesia tidak cukup bagi warga menyelamatkan diri. Dua alat tsunami dipasang di pantai selatan Jabar.

Semeidi Husrin dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, pada acara Clubinar Bandung Mitigasi Hub, Kamis (29/4/2021). (Youtube dkhairat tv)

Penulis Iman Herdiana29 April 2021


BandungBergerak.idKarakter tsunami di Indonesia berjarak pendek. Sehingga peringatan dini tsunami seringkali tidak cukup bagi warga di pesisir untuk menyelamatkan diri. Perlu dibangun sistem peringatan dini yang melibatkan komunitas atau masyarakat.

Dua peristiwa tsunami jarak pendek misalnya terjadi pada 2018, yakni tsunami Palu pada September, dan empat bulan kemudian terjadi tsunami Selat Sunda yang disebabkan letusan Gunung Anak Krakatau. Kedua tsunami ini menelan ribuan korban jiwa.

Pakar gempa bumi ITB Irwan Meilano mengatakan, pengamatan tsunami di Indonesia didukung oleh sarana prasaran seismik yang dibantu teknologi GPS. Dengan sarana canggih ini, potensi tsunami bisa diperkirakan lebih baik.

Akan tetapi, ketersediaan alat saja belum cukup. Terlebih karakter tsunami di Indonesia rata-rata berjarak pendek. Berdasarkan peristiwa tsunami jarak pendek di Palu maupun Selat Sunda, ternyata sistem peringatan dini yang ada tidak cukup untuk menyelamatkan diri.

“Saya khawatir di beberapa lokasi, dengan mekanisme early warning yang sekarang kita miliki mungkin tak sepenuhnya bisa menjadi dasar untuk evakuasi,” kata Irwan Meilano, dalam Podcast 1 - Diskusi mengenai Gempa dengan Dekan FITB-ITB (Dr. Irwan Meilano) di kanal resmi Youtube ITB, dikutip Rabu (28/4/2021).

Pendeknya waktu peringatan dini dengan datangnya tsunami, memerlukan strategi tambahan dalam mitigasi bencana. Irwan menyarankan perlunya dibangun sistem peringatan dini yang berbasiskan komunitas.

Selama ini peringatan dini tsunami di Indonesia lebih fokus pada alat, bukan pada pembangunan sistemnya. Bicara sistem, artinya ada banyak komponen yang dilibatkan, di mana komponen utamanya manusia. Irwan melihat ada jurang pemisah antara peringatan dini dan masyarakat.

“Selama ini peringatan dini dengan manusianya terlihat terpisah.  Misalnya, memasang sistem peringatan dini di kampung masyarkaat pesisir. Diperlukan pendekatan agar sistem tersebut dianggap penting oleh masyarakat pesisir. Sistem peringatan dini harus dikembangkan berdasarkan persepsi mereka,” paparnya.

Namun membangun persepsi memerlukan prose pembelajaran yang panjang. “Itu tantangan kita ke depan. Diperlukan sistem peringatan dini yang melibatkan masyarakat,” tandasnya.

Baca Juga: Dampak Badai Seroja, Odette, dan Pancaroba pada Cuaca di Bandung
Upaya Mengurangi Risiko Bencana Geologi dengan SMS

2 Alat Dipasang di Pantai Selatan Jabar

Semeidi Husrin dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, sepakat bahwa pemasangan alat peringatan dini memang memerlukan keterlibatan masyarakat lokal.

Saat ini pihaknya sudah memasang Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL), perangkat untuk mengukur muka air laut yang bisa dikelola mandiri oleh masyarakat. IDSL merupakan alat berteknologi sederhana yang berfungsi mengirimkan peringatan dini tsunami dari BMKG kepada masyarakat pesisir.

Sejak dua tahun terakhir, baru 8 IDSL yang dipasang di perairan-perairan berpotensi tsunami di Indonesia, 2 di antaranya dipasang di pantai selatan Jawa Barat yang memiliki riwayat tsunami. Sedangkan sisanya dipasang di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Sumatera.

Pemasangan alat tersebut berkaca dari peristiwa gempa bumi dan tsunami Palu dan Selat Sunda 2018 yang membunuh ribuan nyawa. Bencana dahsyat tersebut menunjukkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam mitigasi bencana. “Maka deteksi tsunami dari masyarakat secara mandiri jadi penting untuk Indonesia,” kata Semeidi, pada acara Clubinar Bandung Mitigasi Hub, Kamis (29/4/2021.

IDSL dipasang di lepas pantai. Alat ini bertugas melaporkan data pengukuran muka air laut yang dilengkapi CCTV. Jika terjadi anomali penurunan air laut secara tiba-tiba, data akan diolah dengan algoritma, hasilnya berupa pesan yang dikirim ke ponsel masyarakat.

Alat ini bisa dipasang dan diperbaiki secara mandiri oleh masyarakat. Pemasangan alat juga melibatkan masyarakat. “Dengan adanya alat ini masyarakat menjadi semakin melek bahwa daerah tesebut rawan tsunami, tapi tentu mereka tidak boleh menyerah meski tinggal di daerah rawan,” katanya.

Menurutnya, pemasangan IDSL mendapat dukungan dari masyarakat setempat. “Kami saat pemasangan melakukan edukkasi, tak henti selalu berkomunikasi dengan masyarakat di sana, tentang pentingnya alat ini untuk masyarakat dan sekitar. Kami memanfaatkan chanel edukasi ke masjid dan ibu yang sangat power full membantu edukasi kami,” tuturnya.

Alat IDSL memerlukan biaya data per bulan Rp 68.000. Sedangkan seluruh perangkatnya Rp 25 juta. Perangkat ini terbuat dari frame anti-karat yang kuat agar tahan menerima hujan atau badai. IDSL banyak dipasang di negara-negara Mediterania seperti Eropa. Karakter tsunami di negara Mediterania sama dengan karakter tsunami di Indonesia yang berjarak dekat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//