Ramadan di Tahun Pagebluk (21): Sejumput Kisah Sepasang Pengumpul Sampah
Ane Nurhani (60) dan Ndin (64), sepasang suami istri, bertahan hidup dari hasil penjualan sampah terpilah. Bekerja di jalanan, mereka mengalami beberapa kecelakaan.
Penulis Emi La Palau10 Mei 2021
BandungBergerak.id - Di bawah terik matahari yang menyengat kulit, Ane Nurhani (60) cekatan memilah dan memisahkan sampah plastik dan kardus. Sampah-sampah yang bernilai jual ditumpuk rapi di dalam gerobak. Hasil penjualan sampah inilah yang jadi gantungan Ane bertahan hidup.
Ane tidak bekerja sendirian. Ada suaminya, Ndin (64), yang bersama-sama melakukan kerja yang menguras tenaga di tengah puasa. Sejak pukul lima pagi, usai sahur dan salat subuh, pasangan itu bergegas meninggalkan rumah di kawasan Jalan Cikutra menuju tempat kerja di kawasan pertokoan Jalan Ahmad Yani.
“Saya mah dapat (uang) dari orang yang kadang ngasih kardus untuk dijual, botol plastik untuk dijual. Itu juga kalau lagi ada rezekinya, sambil tetap ambil sampah,” ungkap Ane ketika berbincang dengan BandungBergerak.id, Jumat (7/5/2021).
Sudah sejak beberapa tahun terakhir Ane dan Ndin mengabdikan diri sebagai penyapu jalan dan pengumpul sampah di seputaran pelataran simpang Jalan Ahmad Yani dan Jalan Katapang serta seputaran Gedung Kesenian Rumentang Siang yang terletak beberapa meter saja dari Pasar Kosambi. Keduanya melakukan pekerjaan tersebut secara mandiri, tanpa memperoleh upah dari pemerintah.
Ndin merupakan bekas petugas penyapu jalan resmi yang dibayar Pemerintah Kota Bandung sejak 1974. Setelah 30 tahun bekerja, ia pensiun. Ane mengikuti jejak sang suami sejak tahun 1997.
Tak lagi menerima upah rutin, Ane dan Ndin mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka dari hasil penjualan sampah yang dihargai Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogramnya. Jika sedang bernasib baik, mereka bisa menimbang 10 kilogram sampah ke pusat pengepulan sampah di belakang Pasar Kosambi.
Selain memilah sampah, Ane juga sering membersihkan sampah atas permintaan dari pengelola toko-toko swalayan. Sebagian mereka akan membayarkan uang sampah kepadanya. Jika tidak, Ane tidak akan memintanya secara paksa. Dia menuntaskan saja tugas membersihkan sampah.
Meski tanpa upah rutin, jangan ragukan kedisiplinan Ane dan Ndin. Pantang bagi keduanya untuk teralmbat bekerja. Naik angkutan kota (angkot) dari rumah, Ane dan Ndin harus tiba di tempat kerja sedini mungkin agar tidak ketinggalan mobil pengangkut sampah.
“Jadi kadang-kadang kalau petugas kebersihannya gak ada, pengawasnya (dari Dinas) minta tolong ke saya untuk bersihin,” kata Ane. “Tapi gak dibayar.”
Ane dan Ndin tidak pernah punya hari libur. Mereka bekerja tujuh hari dalam sepekan, kecuali sakit. Namun di lebaran kali ini mereka berencana mengambil beberapa hari untuk istirahat.
Tentang apa yang mau dibeli atau dilakukan menjelang lebaran, Ade dan Ndin belum tahu. Keduanya masih mencurahkan waktu dan tenaga untuk tetap produktif di sepanjang bulan ramadan.
“Yang penting puasanya ihklas,” ucap Ane.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (20): Bekerja di SPBU demi Sang Ibu
Ramadan di Tahun Pagebluk (19): Layu (Penjual) Bunga di Jalan Braga
Ramadan di Tahun Pagebluk (18): Kesaksian Pendeta di Kampung Toleransi Jamika
Berkat Sampah
Berkat sampah, Ane Nurhani dan Ndin mampu melunasi pembelian rumah berukuran 26 meter persegi seharga Rp 5 juta pada tahun 2003. Rumah kecil di kawasan Jalan Babakan Cikutra itu, tepatnya di belakang Gedung Olahraga Citra, terus saja bocor atapnya setiap kali hujan deras turun.
Berkat sampah pula, Ane dan Ndin berhasil menyekolahkan keempat orang anak mereka. Tiga anak lulus sekolah menengah atas dan satu anak lulus perguruan tinggi. Dua dari keempat anak mereka telah hidup mandiri.
Saat ini Ane dan Ndin masih menanggung dua orang anak yang tinggal bersama mereka. Juga ada satu orang cucu. Pandemi memaksa sang anak berhenti bekerja dan hingga sekarang masih sulit mendapatkan pekerjaan baru.
“Saya akan tetap nyapu, diridho saja karena Allah Taala. Jadi mau hujan atau apa pun tetap kerja, terkecuali sakit. Tapi alhamdulillah sehat terus. Ada Allah yang menyaksikan,” tutur Ndin.
Sebelum menetap di kawasan Kosambi, Ndin sudah menjelajahi berbagai kawasan dalam penugasannya sebagai petugas penyapu jalan Dinas Kebersihan. Ia di antaranya pernah bertugas di kawasan Cihapit selama 10 tahun dan di kawasan Cicadas selama 4 tahun.
Tidak mudah bagi Ndin, yang tidak lulus sekolah dasar (SD), memperoleh surat keputusan (SK) penetapan pegawai. Setelah bekerja selama 20 tahun, baru ia diangkat secara resmi menjadi petugas penyapu jalan. Salah satu syarat yang harus ia penuhi ketika itu adalah lulus ujian penyetaraan SD.
Ane menjadi seorang penyapu jalan dengan niat awal untuk membantu sang suami. Jika dilakukan berdua, pekerjaan tentu akan lebih cepat selesai. Ane memutuskan untuk ikut turun ke jalan setelah keempat anaknya sudah cukup besar.
“Lebih senang bekerja begini dibanding harus diam di rumah,” kata Ane yang terlihat masih bugar di usianya yang sudah lanjut.
Bekerja sebagai penyapu jalan dan pengumpul sampah adalah pekerjaan berisiko. Bukan hanya sekali Ane mengalami kecelakaan. Dua kali tangannya patah akibat jatuh tertindih bakul sampah yang terbuat dari anyaman bambu. Beberapa kali juga dia menjadi korban tabrak lari oleh pengguna jalan.
Bandung, kota yang ditinggali sekitar 2,6 juta penduduk, menghasilkan sampah tidak kurang dari 1.500 ton setiap harinya. Itulah kue raksasa yang remah-remahnya menjadi sandaran hidup para pengumpul sampah seperti Ane dan Ndin.