• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (22): Cerita Fiona, Transpuan yang Sukarela Membantu Vaksinasi Covid-19

Ramadan di Tahun Pagebluk (22): Cerita Fiona, Transpuan yang Sukarela Membantu Vaksinasi Covid-19

Fiona (45), seorang transpuan, sejak Februari 2021 lalu secara sukarela membantu program vaksinasi Covid-19 di Bandung. Orang-orang menerimanya dengan baik.

Fiona (45), ditemui di Puskesmas Babatan, Kota Bandung, Jumat (7/5/2021) siang. Sejak Februari 2021 lalu, dia secara sukarela membantu program vaksinasi Covid-19. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau11 Mei 2021


BandungBergerak.idJumat (7/5/2021) siang itu bangku-bangku antrean di Puskesmas Babatan, Bandung, mulai kosong. Proses vaksinasi Covid-19 bagi 70 orang guru baru saja usai. Selesai sudah tugas Fiona (45) hari itu.

Vaksinasi di Puskesmas Babatan berlangsung sejak pagi. Fiona, seorang transpuan yang tidak berlatar belakang kesehatan, membantu urusan pendaftaran di meja nomor satu. Sesekali dia juga bertugas di meja empat untuk melakukan observasi pada mereka yang telah menerima suntikan vaksin.

Keterlibatan Fiona dalam program vaksinasi Covid-19 merupakan inisiatif yang datang dari dirinya sendiri. Sebelumnya, dia terlebih dahulu mengikuti penyuluhan yang dilakukan di Puskesmas. Di sana, Fiona belajar bagaimana cara mendata sasaran vaksin, melayani warga calon penerima vaksin, serta mengobservasi kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI).

“Tenaga dan SDM (Sumber Daya Manusia) puskesmas memang terbatas, jadi aku ingin membantu,” kata Fiona ketika berbincang dengan BandungBergerak.id. “(Aku) Ingin Indonesia cepat sehat, biar jangkauan vakasinasi bisa luas tidak hanya satu wilayah.”

Fiona aktif di organisasi transpuan Jawa Barat, Srikandi Pasundan. Sudah sejak 2014 dia bekerja sebagai tenaga penjangkau lapangan. Inilah betul-betul pekerjaan yang memberinya pendapatan yang dipakai untuk menyambung hidup.

Keputusan Fiona bertugas secara sukarela dalam program penanganan Covid-19 di puskesmas membuatnya harus pintar-pintar mengelola waktu. Pulang dari puskesmas pukul 3 sore, dia bersiap-siap memasak menu berbuka puasa. Pada malam harinya, setelah salat tarawih, Fiona mengunjungi sesama transpuan atau penderita HIV untuk mendata sekaligus memberikan penyuluhan. Tugas utamanya merujuk dan mendampingi mereka untuk melakukan tes konseling sukarela (VCT), berupa penyaringan awal untuk mengetahui seseorang apakah sudah terpapar HIV atau belum.

Kerja penjangkauan komunitas waria dan gay tidak jarang berlangsung hingga lewat tengah malam. Keesokan harinya, formulir data yang telah terisi harus disetorkan ke sekretariat Srikandi Pasundan. Jika diharuskan ada konsultasi lanjutan dengan pihak puskesmas terkait, Fiona pun harus segera ke puskesmas.

Rutinitas Fiona di ramadan kali ini bukan main padatnya. Namun toh dia menjalani semuanya dengan senang.

Jalan Panjang Menjadi Transpuan

Fiona dilahirkan pada Agustus 1979 di tengah keluarga keturunan Tionghoa di Bandung yang hidup serbaberkecukupan. Ayah dan ibunya telah memeluk Islam sejak awal pernikahan.

Lulus sekolah mengah atas (SMA) di Kediri, Fiona memutuskan untuk bekerja dengan menerima tawaran menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan. Kurang lebih dua tahun dia bekerja sebagai pramusaji.

Fiona kembali ke Tanah Air ketika kerusuhan meletus di mana-mana pada 1998. Di Jakarta, dia menyaksikan penjarahan di mal-mal. Beruntung dia selamat sampai ke Bandung.

Fiona memiliki banyak keahlian. Salah satunya memasak. Lulus kursus tata boga, Fiona bekerja sebagai kepala koki di sebuah restoran di Bandung dari tahun 2002 hingga 2007. Dari sana, dia kembali bekerja sebagai TKI di Arab Saudi selama dua tahun. Kali ini dia menjadi koki.  

Fiona adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Sejak kecil dia merasa dirinya berbeda dari lelaki kebanyakan. Dia merasa dirinya adalah perempuan. Kesadaran diri inilah yang menjadi salah satu pertimbangan bagi Fiona untuk tidak berkuliah dan memilih pergi bekerja ke luar negeri.

Fiona mulai berani mengubah penampilan, meski belum secara total, sejak bekerja di perusahaan rumah makan di Taiwan. Kembali ke Indonesia, dia benar-benar telah menjadi seorang transpuan dengan penampilan yang berubah sepenuhnya sejak 13 tahun lalu.

Keputusan Fiona menjadi transpuan sejak awal mendapat tentangan keras dari keluarga.  Mulanya, keluarga masih bisa memahami, namun setelah sang ayah meninggal dunia, benar-benar tidak ada tempat bagi Fiona. Dia terusir dari keluarganya sendiri.  

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (21): Kisah Sepasang Pengumpul Sampah
Ramadan di Tahun Pagebluk (20): Bekerja di SPBU demi Sang Ibu
Ramadan di Tahun Pagebluk (19): Layu (Penjual) Bunga di Jalan Braga

Mandiri

Di Bandung, Fiona tidak pernah mendapat perlakuan diskriminatif. Lingkungan puskesmas tempatnya bertugas secara sukarela menyambut kehadirannya dengan sangat baik. Dia selalu dipanggil “Cici”, panggilan akrab bagi kakak perempuan etnis Tionghoa.

Sikap ramah dan mudah bergaul membuat Fiona bisa diterima di lingkungannya. Dia seorang transpuan yang sangat mandiri. Ada beberapa usaha yang dia miliki, meski salonnya saat ini sepi pelanggan terdampak pagebluk.

Lima tahun lalu Fiona membeli sebidang tanah di Garut yang dimanfaatkan untuk bertani. Tumbuh di sana, beragam sayuran seperti kol, kentang, cabai, dan tomat. Fiona menyewa warga setempat untuk menggarap lahan itu. Dua minggu sekali, dia menengoknya.

Menjadi mandiri merupakan salah satu prinsip hidup Fiona. Dia tidak ingin menyulitkan orang lain. Sebisa mungkin dia mencukupi setiap keperluhannya sendiri. Dengan menjadi mandiri, seorang transpuan tidak akan rentan menerima perlakuan diskriminatif.

“Saya tidak macam-macam. Saya bekerja, tidak menyusahkan orang lain,” tuturnya. “Dari dulu (saya) bekerja dan bermasyarakat. Berbaur.”

Editor: Redaksi

COMMENTS

//