• Kampus
  • Material Longsoran-Tsunami Gunung Anak Krakatau Cukup untuk Mengubur Kota London

Material Longsoran-Tsunami Gunung Anak Krakatau Cukup untuk Mengubur Kota London

Gunung Anak Krakatau pernah memicu tsunami senyap mematikan di laut Selat Sunda.

Para ilmuwan peneliti Gunung Anak Krakatau. Gunungapi ini memicu longsor dan tsunami besar pada 2018. (Dok ITB)

Penulis Iman Herdiana18 Mei 2021


BandungBergerak.idPada 22 Desember 2018, aktivitas gunungapi Gunung Anak Krakatau memicu tsunami senyap mematikan yang melanda pesisir selatan Sumatera dan Barat Jawa. Peristiwa yang dikenal sebagai tsunami Selat Sunda itu disebabkan longsor bawah laut akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

Sejumlah peneliti dari dalam dan luar negeri melakukan penelitian terhadap material longsoran gunungapi di Selat Sunda itu. Para peneliti menggunakan peralatan akustik modern. Penelitian ini menghasilkan survei lautan pertama sejak longsor-tsunami 22 Desember 2018.

"Pada Agustus 2019, tim multinasional lintas disiplin ini memetakan dasar laut di kaldera Krakatau. Survei menggunakan sonar untuk memetakan permukaan dasar laut, sedangkan metode refleksi seismik digunakan untuk melihat ke bawah dasar laut," ujar Mirzam Abdurrachman, volkanolog ITB yang mengikuti penelitian Anak Krakatau, mengutip siaran pers Humas ITB, Selasa (18/5/2021).

Dia menjelaskan, penelitian ini menunjukkan deposit bawah laut yang besar dari longsor Anak Krakatau 2018 dan struktur internalnya, serta menunjukkan ukuran utuh dan cara bagaimana deposit tersebut diendapkan di dasar laut. Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal prestisius Nature Communications  dalam sebuah paper berjudul: “Megablocks on the seafloor reveal that half of Anak Krakatau island collapsed into the sea to cause the 2018 Sunda Strait tsunami, Indonesia”.

Tim juga terlibat dalam menganalisis citra dan foto satelit untuk mempelajari peristiwa longsor di atas permukaan laut. Dengan menganalisis citra satelit (terutama dari COSMO-SkyMed) dan foto, para ilmuwan dapat menjelaskan tingkat keruntuhan subaerial secara menyeluruh.

Mirzam melanjutkan, tim menghitung bahwa separuh pulau runtuh, menunjukkan runtuhan yang jauh lebih luas atau besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Citra satelit juga menunjukkan pembebanan sisi barat daya Anak Krakatau dengan lava dan ejecta pada bulan-bulan sebelum longsor.

Pada saat yang sama deformasi, patahan dan ventilasi gas ditemukan telah terjadi di pulau tersebut dan menggambarkan perkiraan area yang akan runtuh. Proses-proses ini mungkin juga pada akhirnya berkontribusi pada keruntuhan bagian sayap pada tahap selanjutnya.

Peneliti juga menghitung besaran material yang sanggup membangkitkan gelombang tsunami besar yang sanggup menelan ribuan korban jiwa. "Berdasarkan kejadian ini, longsoran yang terjadi cukup besar (~0,214 km3) cukup untuk mengubur Kota London hingga setinggi Katedral St Paul. Blok-blok dari longsoran ini naik hingga 90 meter di atas dasar laut dan menempuh jarak 1.5 km dari Anak Krakatau," jelasnya.

Baca Juga: Indonesia Perlu Sistem Peringatan Tsunami Berbasis Komunitas
Tidak Mudik agar Terhindar dari Tsunami Covid-19 seperti di India

Temuan juga menunjukkan bahwa mega block hasil longsoran tersebut terkikis ke dasar laut dan menghasilkan aliran puing-puing tambahan yang mengalir ke cekungan yang lebih dalam. Namun, yang mengherankan aliran puing-puing dan bagian-bagian tanah longsor kini terkubur di bawah material letusan setinggi 18 meter.

Selain itu, tim menemukan bahwa letusan pasca-longsor menghasilkan material untuk membangun kembali tubuh kerucut gunungapinya dengan cepat, dan sebagian besar material yang dihasilkan Anak Krakatau tersebut sebenarnya kembali diendapkan di dasar laut. Hal ini mendukung perlunya survei longsoran 2018 sesegera mungkin sebelum terkubur oleh material letusan berikutnya atau pun akibat modifikasi lingkungan laut yang dinamis.

“Penelitian ini memungkinkan kami untuk menjelaskan ukuran dan mekanisme kegagalan longsor 2018 di Anak Krakatau. Ini adalah pertama kalinya studi longsor-tsunami pulau vulkanik menggabungkan citra satelit dan pemetaan dasar laut secara mendetail. Peristiwa serupa terakhir adalah bencana longsor-tsunami di Pulau Ritter yang terjadi pada tahun 1888," tambah Mirzam.

Dengan mengkarakterisasi endapan tanah longsor dan memetakan dasar laut, tim peneliti bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kegagalan sisi barat daya Anak Krakatau.

“Dengan pengetahuan ini berarti bahwa kita dapat memodelkan tsunami yang dihasilkan dengan lebih baik, serta memberikan tolok ukur untuk kejadian serupa. Informasi ini pada gilirannya memungkinkan kami untuk merancang strategi mitigasi bahaya dengan lebih baik,” pungkasnya.

Selain Mirzam Abdurrachman, penelitian tersebut dilakukan para pakar dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta tim Inggris dan Amerika, dan dipimpin James Hunt dari National Oceanography Center (NOC).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//