• Buku
  • Membaca Siti Rayati dengan Semangat Zamannya

Membaca Siti Rayati dengan Semangat Zamannya

Tidak hanya komprehensif menelaah Siti Rayati, buku ini juga memperkaya pemahaman kita mengenai wacana pascakolonial dalam khazanah kesusastraan Sunda.

Sampul buku Roman Sunda Antikolonial: Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati (1923-1927) Karya Moh. Sanoesi (2020) karangan Neneng Yanti Khozanatu Lahpan yang diterbitkan oleh Layung, Garut. (Foto repro: Hafidz Azhar)

Penulis Hafidz Azhar30 Mei 2021


BandungBergerak.idDalam khazanah kesusastraan Sunda, karya-karya yang mengikuti semangat zamannya terbilang cukup beragam. Di antaranya, beberapa karya yang hadir sebelum kemerdekaan. Novel pertama berbahasa Sunda, Baruang kanu Ngarora, turut mengawali nuansa yang beragam itu. Dengan menitikberatkan isu percintaan dan perkawinan, novel ini dianggap sejalan dengan konteks masanya, sebagaimana yang tertuang dalam kisah Siti Nurbaya yang muncul pada masa-masa tersebut.

Ada juga karya yang isinya memuat pertentangan serta perlawanan terhadap kaum kolonial. Lazimnya, buku-buku itu diterbitkan oleh penerbit partikelir agar bisa leluasa menyajikan bahan bacaan yang bukan pesanan pihak Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu karya tersebut bisa dibaca melalui roman Siti Rayati karya Moh. Sanoesi. Diterbitkan tahun 1923-1927 oleh penerbit Dachlan Bekti di Bandung, Siti Rayati digolongkan sebagai roman bermuatan antikolonial. Roman tersebut pernah ditulis bersambung dalam koran Matahari (tahun 1922-1923) sampai akhirnya terbit menjadi tiga jilid dalam bahasa Sunda.

Sampai saat ini Siti Rayati masih dianggap sebagai bagian dari representasi masa kolonial. Para kritikus menyebut—di antaranya Ajip Rosidi—bahwa roman ini erat kaitannya dengan realitas yang terjadi sebelum revolusi Kemerdekaan. Pada bulan Desember 2020, buku yang berjudul Roman Sunda Antikolonial: Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati (1923-1927) Karya Moh. Sanoesi, hadir di tengah-tengah para pembaca. Buku yang ditulis oleh Neneng Yanti Khozanatu Lahpan tersebut merupakan hasil penelitian tesisnya pada tahun 2002 dan telah berhasil memberikan sumbangan telaah yang lebih luas pada tradisi kesusastraan Sunda terutama mengenai roman Siti Rayati.

Dengan menggunakan pendekatan pascakolonialisme, buku ini mencoba masuk lebih jauh lagi melihat sisi gelap kaum feodal dan kololnial yang tersaji dalam karya Moh. Sanoesi itu. Di samping menampilkan wacana tandingan dan resistensi kaum Pribumi, perhatian Neneng menyentuh pula ranah historis yang disesuaikan dengan kajian sastra. Sebelum masa kemerdekaan, Neneng menyebut jika dalam khazanah sastra Sunda terdapat karya-karya sejenis yang disinyalir memiliki semangat zaman yang sama. Seperti beberapa roman yang dikarang oleh Joehana antara lain: Carios Eulis Acih (Cerita Eulis Acih, 1923), Carios Agan Permas (Cerita Agan Permas, 1926), Carios Mugiri (Cerita Mugiri, 1927), Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama (Kesalahan Anak Dosanya Ibu-Bapak, 1927), dan Rasiah Nu Goreng Patut (Rahasia si Buruk Rupa, 1927). Sebagian besar buku memuat soal-soal kawin paksa, disertai gambaran mengenai kaum menak dan para pembesar berdarah Indo yang sangat bengis.

Antara Penjajah dan Terjajah

Roman Siti Rayati sendiri berkisah tentang perempuan bernama Gan Titi. Ia merupakan seorang anak yang ditelantarkan ibunya, Patimah, yang menjadi korban pemerkosaan seorang majikan Belanda bernama Steenhart. Patimah awalnya bekerja sebagai buruh di perkebunan teh Raga Sirna sebelum ia dipaksa berhubungan badan oleh pengawas perkebunan bernama Steenhart itu. Bayi yang dia lahirkan dibawa oleh seorang lurah di Sukabumi kepada wedana dan istrinya. Pasangan pejabat itu mengadopsi sang bayi menjadi anak angkat yang kemudian dinamai Siti Rayati, karena dia ditemukan di Desa Cirayati.

Gan Titi, nama panggilan Siti Rayati, beranjak dewasa sebagai seorang perempuan cerdas yang aktif dalam dunia jurnalis setelah bertemu dengan Van der Goud yang menyuplai buku-buku bacaan dan yang mengubah cara pandang politiknya. Jalan hidup yang dipilih Gan Titi ini kurang memperoleh restu dari kedua orang tua angkatnya lantaran mereka berada dalam lingkungan priyayi.

Melalui buku Roman Sunda Antikolonial: Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati (1923-1927) Karya Moh. Sanoesi tersebut Neneng juga menyoroti hubungan antartokoh terkait resistensi kaum Pribumi terhadap kolonialisme. Menurutnya, roman itu menggambarkan relasi oposisi di antara penjajah dan terjajah sehingga ditemukan berbagai hubungan yang kompleks. Neneng menghubungkan tokoh Steenhart-Patimah, Siti Rayati-Van der Goud, hubungan jurnalis (Siti Rayati)-priyayi (Bupati), dan relasi tokoh Siti Rayati-Patimah-Steenhart.

Mengenai relasi Steenhart-Patimah, Neneng menjelaskan jika hal itu ditunjukkan sebagai gambaran antara penjajah dan terjajah. Ia juga menilai bahwa relasi itu merupakan representasi dari majikan dengan buruhnya. Steenhart yang berprofesi sebagai majikan Belanda, mewakili tokoh penjajah yang berperilaku bengis dan tidak berperikemanusiaan. Sedangkan tokoh Patimah digambarkan sebagai buruh Pribumi yang terjajah.

Antara Empati dan Ketimpangan

Di samping hubungan penjajah dan terjajah, terdapat hubungan lain yang disoroti Neneng seperti tampak pada relasi Siti Rayati-Van der Goud. Dalam roman karya Moh. Sanoesi itu, tokoh Siti Rayati direpresentasikan memiliki wajah Indo yang cantik sebagai hasil percampuran Indo-Pribumi. Tidak hanya itu. Karakter Indo lain yang mengandung sisi positif terwakili juga pada diri Van der Goud. Menurut Neneng, kedua tokoh ini menampilkan jenis relasi lain yang tidak tampak satu pun bentuk penindasan dari masing-masing pihak.

Sebagai seorang Belanda, Van der Goud merepresentasikan karakter yang simpatik terhadap kaum Pribumi. Apalagi, Van der Goud turut memberikan pengaruh baik dalam proses kesadaran politik Gan Titi. Neneng melihat bila jenis relasi dalam kategori ini dapat disebut sebagai relasi saling bersimpati karena tidak adanya dominasi di antara Indo (Barat) dan kaum Pribumi (Timur).

Dalam amatan selanjutnya, Neneng juga menampilkan hubungan Bupati (priyayi)-Siti Rayati (jurnalis). Masalah yang ditekankan dalam relasi ini, menurut Neneng, berkaitan dengan dua profesi yang saling bertolak. Wedana yang menjadi bupati, dan Titi sebagai anak angkat wedana yang kemudian berkiprah dalam dunia jurnalis. Kedua profesi membentuk relasi yang tumpang-tindih berdasarkan aspek pertentangannya.

Jika ditinjau pada akar historisnya, di antara bupati dan kalangan jurnalis, telah terjadi gesekan yang cukup kuat. Hal ini mengacu pada pengalaman Moh. Sanoesi sendiri sebagai penulis Siti Rayati yang memang aktif dalam organisasi pergerakan dan dunia jurnalistik. Sebagai pengurus Sarekat Islam Merah di Bandung, Sanoesi mengelola beberapa media cetak, baik yang berbahasa Sunda maupun bahasa Melayu. Melalui koran-koran itu, Sanoesi tidak segan untuk melontarkan kritiknya terhadap ketidakadilan Pemerintah Kolonial maupun kaum Priayi (bupati). Termasuk kritik keras terhadap Bupati Bandung, Wiranatakusumah V sekitar tahun 1923-1924, yang juga mengakibatkan polemik berkepanjangan antara surat kabat Obor bentukan Bupati Bandung dengan koran Soerapati yang dikelola oleh kaum komunis di Bandung. Dengan mengacu pada kejadian ini, maka, wajar bila Neneng menilai bahwa hubungan antara bupati yang diwakili wedana dengan pihak jurnalis yang tergambar pada karakter Titi adalah suatu ketimpangan.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (2): Angin Bandung Menyanyikan Tuhan
https://bandungbergerak.id/article/detail/471/buku-bandung-1-menyingkap-budaya-tionghoa-bandung-melalui-sebuah-tragedi

Wacana Tandingan

Sementara itu, Neneng juga menilai bahwa Siti Rayati merupakan wacana tandingan untuk bahan bacaan standar Pemerintah Kolonial. Buku-buku terbitan Balai Pustaka, misalnya, menekankan aspek pendidikan yang diklaim dapat membentuk perilaku yang baik dan mencerdaskan, bahkan tidak mengandung muatan politik sebagaimana yang terdapat pada cerita Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis.

Dalam telaahnya itu, Neneng mengkategorisasikan bagian mana yang termasuk dalam wacana tandingan seperti yang terkandung pada segi bahasa, tema, dan perwatakan. Pada kasus Siti Rayati, bahasa Sunda yang digunakan memang cenderung realistik. Neneng melihat, bukan saja penggunaan bahasa Sunda yang khas dari roman itu, namun terdapat pemakaian bahasa yang bercampur dalam dialog tokohnya. Seperti penggunaan bahasa Melayu dan Belanda. Dengan mengacu pada hal ini, maka, Neneng menilai jika bahasa yang terdapat pada Siti Rayati memiliki karakteristik “liar”.

Aspek lain yang ditampilkan sebagai wacana tandingan terkandung pada segi tema. Hasil penelusuran Neneng menyebut, bahwa roman ini mengandung tema yang sesuai dengan konteks zamannya. Berbeda dengan roman-roman lain, Siti Rayati menonjolkan isi yang beragam, yang tentunya mengandung semangat revolusioner. Seperti pada penggunaan subjudul, Ti nu Poek ka nu Caang, Asal Hina Jadi Mulya (Dari Gelap Menuju Terang, Asalnya Hina jadi Mulya). Neneng mengklaim jika subjudul tersebut mengacu pada semangat yang digaungkan oleh R. A. Kartini melalui surat-suratnya.

Bukan hanya itu. Bagi Neneng, Siti Rayati dianggap memberikan pesan nasionalisme kuat, dengan melakukan serangan langsung terhadap pihak kolonial Belanda beserta kalangan priyayi tinggi sebagai agennya. Artinya, roman karya Moh. Sanoesi ini dapat dikatakan mengandung unsur kolonialisme secara jelas sebagai tema umumnya, meski menurut Neneng, alurnya cenderung bersifat lokal.

Neneng juga menjelaskan bahwa roman Siti Rayati menunjukkan berbagai karakter yang dapat dimaknai berdasarkan penamaan tokohnya. Di antaranya, penamaan “Steenhart” tokoh antagonis yang diartikan oleh Neneng sebagai stone-hearted, “berhati batu”. Lalu pemaknaan nama Van der Goud, guru politik Gan Titi, yang memiliki karakter baik (good) atau berhati emas (golden). Termasuk juga penamaan nama tokoh utamanya, Siti Rayati, yang diartikan oleh Neneng sebagai orang yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Sebagai pembaca, saya menilai buku Roman Sunda Antikolonial: Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati (1923-1927) Karya Moh. Sanoesi begitu menarik untuk dibaca. Tidak komprehensif menelaah Siti Rayati, buku setebal 136 halaman itu juga memperkaya pemahaman kita mengenai wacana pascakolonial, terutama dalam khazanah kesusastraan Sunda. Apalagi, buku ini mendapatkan kata pengantar dari Wendy Mukherjee, seorang peneliti Southeast Asia Centre, Australian National University, yang juga menaruh perhatian pada penelitian karya sastra berbahasa Sunda.

Informasi Buku

Judul: Roman Sunda Antikolonial: Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme dalam Siti Rayati (1923-1927) Karya Moh. Sanoesi

Pengarang: Neneng Yanti Khozanatu Lahpan

Penerbit: Layung, Garut

Cetakan: I, 2020

Tebal: 136 halaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//