• Nusantara
  • Sistem Peringatan Dini UGM Diklaim Ramal Gempa 3 Hari Sebelum Kejadian

Sistem Peringatan Dini UGM Diklaim Ramal Gempa 3 Hari Sebelum Kejadian

Penelitian gempa di Indonesia sudah maju. Ada satu pertanyaan yang dihindari atau mengendap dalam penelitian panjang tentang gempa bumi, kapan gempa bumi terjadi?

Penelitian deteksi dini gempa bumi UGM, Rabu (2/6/2021). Sistem ini diklaim bisa memprediksi gempa 3 hari sebelum kejadian. (Dok. UGM)

Penulis Iman Herdiana3 Juni 2021


BandungBergerak.idPenelitian gempa bumi di Indonesia sudah sangat maju dibanding satu atau dua dekade ke belakang. Ada satu pertanyaan yang dihindari atau mengendap dalam penelitian panjang tentang gempa bumi, yaitu bisakah bencana lini atau lindu diprediksi? Kapan gempa bumi terjadi?

Baru-baru ini sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis bahwa sistem peringatan dini yang mereka kembangkan mampu memprediksi gempa bumi. Termutakhir, penelitian Sistem EWS UGM yang dipimpin ahli UGM, Sunarno, itu diklaim mendeteksi gempa di Toli-Toli tiga hari sebelum kejadian.

Berdasarkan informasi dari BMKG, pada hari Sabtu (29/5/2021) pukul 08.25.14 WIB wilayah Toli-Toli diguncang gempa tektonik dengan magnitudo 5,3. Pusat gempa berlokasi di laut pada jarak 87 km arah Barat Kota Toli-toli, Sulawesi Tengah pada kedalaman 27 km.

Dari prediksi itu, Sunarno mengatakan di laman resmi UGM, Rabu (2/6/2021), pihaknya akan terus mengembangkan kemampuan alat EWS-nya. Khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Sistem EWS yang dikembangkan peneliti UGM diklaim mampu memprediksi gempa bumi 3-7 hari sebelum kejadian gempa.

”Pengalaman selama ini kami baru dapat memprediksi 3 hari sebelum gempa dengang lokasi antara Aceh hingga NTT. Algoritma awal kami hanya mendeteksi dini 3-7 hari sebelum gempa khusus untuk DIY. Mengingat stasiun pemantau kami hanya ada di DIY,” kata Sunarno.

Ia menjelaskan, alat 'prediksi' gempa bumi yang dikembangkan timnya memakai teknologi trianggulasi yang berusaha menentukan posisi atau pusat gempa secara lebih presisi. Komponen lainnya, detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, kontroler, penyimpan data, sumber daya listrik. Alat ini juga memanfaatkan teknologi internet of thing (IoT).

Kondisi air tanah dan gas radon menjadi komponen penting dalam menghitung kapan gempa terjadi. Sunarno menjelaskan, alatnya mengukur perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang merupakan anomali alam sebelum terjadinya gempa bumi.

“Apabila akan terjadi gempa di lempengan, akan muncul fenomena paparan gas radon alam dari tanah meningkat secara signifikan. Demikian juga permukaan air tanah naik turun secara signifikan,” paparnya.

Menurut Sunarno, penelitian EWS UGM dilakukan sejak 2018. Secara khusus, peneliti mengamati konsentrasi gas radon dan level air tanah sebelum terjadinya gempa bumi. Hasil pengamatan ini kemudian dirumuskan dalam suatu algoritma prediksi sistem peringatan dini gempa bumi.

Selain gempa Toli-toli, disebutkan bahwa sistem peringatan dini UGM telah memprediksi gempa bumi di barat Bengkulu M5,2 pada 28 Agustus 2020, barat daya Sumur-Banten M5,3 pada 26 Agustus 2020, barat daya Bengkulu M5,1 29 Agustus 2020, barat daya Sinabang Aceh M5,0 pada 1 September 2020, barat daya Pacitan M5,1 10 September 2020, dan gempa tenggara Nagan Raya-Aceh M5,4 pada 14 September 2020.

Baca Juga: Pesan dari Goyangan Gempa Sukabumi
Bandung Kota Rawan Bencana (1): Kebakaran dan Sesar Lembang

Mimpi Prediksi Gempa Bumi

Prediksi gempa bumi memang sudah lama jadi pertanyaan peneliti, dan pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat awam juga. Pakar geodesi ITB, Irwan Meilano dalam dalam “Podcast 1 - Diskusi mengenai Gempa dengan Dekan FITB-ITBdi kanal resmi Youtube ITB, (18/4/2021) lalu, mengaku kerap mendapat pertanyaan itu. "Pertanyaannya, periset ngapain saja, kalau cuma datang habis gempa terjadi, enak banget kerjanya. Selema ini sebelum gempa apa yang dilakukan?" katanya.

Menjawab kapan gempa bumi terjadi, menurut Irwan Meilano sebagai "mimpi besar riset gempa di mana pun walaupun mereka jarang mau membicarakan." Bahkan seorang peneliti yang tidak punya mimpi bisa memprediksi gempa bumi, sebaiknya tidak usah menjadi peneliti. "Kita ingin bisa mengkatakan bahwa suatu saat gempa akan terjadi," tandasnya. "Kita pengen bilang suatu saat di masa depan, hati-hati loh gempa akan terjadi. Itu (riset) kita harus ke sana (prediksi gempa bumi)."

Meski demikian, sebuah penelitian mesti melewati tahapan-tahapan yang memerlukan waktu tidak singkat. Sampai saat ini tahapan penelitian potensi gempa bumi di Indonesia dinilai sudah cukup lengkap hingga menghasilkan peta potensi gempa bumi di Indonesia. Dalam peta ini, potensi-potensi gempa bumi dipetakan.

Jika kemudian terjadi gempa bumi di kota yang tidak masuk ke dalam peta potensi bencana yang dibuat peneliti, artinya ada sesuatu yang salah atau terlewatkan dengan penelitian peta potensi bencana tersebut.

Di sisi lain, peta potensi gempa bumi masih bersifat elitis atau menara gading. Sebab tidak semua orang bisa membacanya, bahkan tidak semua pejabat pembuat kebijakan memahaminya. Untuk itu peneliti harus melakukan penelitian lanjutan ke tahap risiko bencana gempa bumi dengan menghitung potensi kerusakan di tiap kota akibat gempa bumi.

Hasil penghitungan risiko ini diharapkan bisa diturunkan ke level masyarakat atau pembuat kebijakan, dengan tujuan akhirnya meminimalkan risiko bencana saat terjadi gempa bumi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//