• Dunia
  • Nama Varian Baru Virus Corona untuk Hindari Stigma

Nama Varian Baru Virus Corona untuk Hindari Stigma

Covid-19 berawal dari virus corona yang dinamai 2019-nCoV, kemudian diganti menjadi SARS-CoV-2 untuk menghindari stigma pada negara, kota, atau kelompok tertentu.

Relawan warga berpakaian hazmat saat disinfeksi lingkungan wilayah Kampung Ciburial, Desa Cibogo, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 6 Juni 2021. Kampung ini menerapkan lockdown untuk sementara setelah 42 orang warganya terkonfirmasi positif Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana7 Juni 2021


BandungBergerak.idOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan perubahan nama terhadap sejumlah varian baru virus corona yang ditemukan di sejumlah negara. Nama baru untuk varian virus corona diambil dari alfabet Yunani. Tujuannya untuk menghilangkan stigma terhadap tempat-tempat di mana strain mutan Covid-19 pertama kali diidentifikasi.

“Tidak ada negara yang harus distigmatisasi karena mendeteksi dan melaporkan varian,” kata ahli epidemiologi WHO Maria Van Kerkhove, Globalnews.ca pada 2 Juni 2021 sebagaimana dikutip Senin (7/6/2021).

Penamaan varian baru virus corona melewati diskusi yang panjang. WHO sempat mempertimbangkan memakai nama-nama dewa kuno Yunani untuk menamai varian baru, tetapi nama-nama tersebut ditolak karena sebagian telah menjadi merek dagang. Sempat juga mempertimbangkan nama-nama tanaman, buah-buahan atau nama agama yang hilang, tetapi otoritas kesehatan dunia ini memutuskan untuk tidak menggunakannya.

Beberapa ilmuwan sudah menggunakan nama burung sebagai istilah tidak resmi untuk varian tersebut, tetapi skema penamaan ini juga ditolak di tengah kekhawatiran bahwa burung tertentu akan disalahkan secara tidak adil.

WHO sangat hati-hati memberikan nama untuk varian baru virus corona mengingat beberapa penyakit di masa lalu telah diberi nama dari lokasi di mana mereka pertama kali diidentifikasi. Misalnya, virus Ebola yang dinamai berdasarkan nama sungai di Kongo. Nama-nama seperti ini terbukti bermasalah, karena menyebabkan sekelompok orang dicap dan disalahkan secara tidak adil atas suatu penyebaran penyakit.

Sebelumnya, WHO berulang kali mendesak orang-orang untuk tidak merujuk varian penyakit berdasarkan profil kebangsaan. Namun demikian, beberapa politisi, termasuk mantan presiden AS Donald Trump, telah menggunakan istilah seperti "virus China" untuk mencoreng negara pesaingnya. Negara-negara tertentu juga menyebut varian baru berdasarkan negeri asal, sebagai pengganti sebutan ilmiah yang penuh angka sehingga terasa canggung dalam penyebutan.

WHO menyatakan, menggunakan huruf-huruf dari alfabet Yunani untuk mengidentifikasi berbagai varian baru sebagai langkah tepat. Misalnya, Alpha untuk varian B.1.1.7, Beta (B.1.351), Gamma (P.1), dan Delta (B.1.671.2).

Baca Juga: Varian Baru Covid-19 Diduga Menjangkit Perumahan di Bogor, Prokes Perlu Diperketat
Membedakan Virus Corona Varian India dengan Covid-19 Biasa

Varian Baru di Indonesia

Pakar Genetika Universitas Gadjah Mada (UGM), Gunadi, menjelaskan Covid-19 berawal dari virus corona yang dinamai 2019-nCoV, kemudian diganti oleh WHO menjadi SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) untuk menghindari stigma pada negara, kota, atau kelompok tertentu.

Dalam perkembangan sampai tahun kedua pandemi Covid-19, muncul varian-varian baru di berbagai negara. Varian-varian ini, menurut Gunadi, menjadi serius karena letaknya pada Receptor Bonding Domain (RBD) yang merupakan bagian langsung dari Protein S yang berikatan dengan Ace2 Receptor pada manusia. Hal ini menyebabkan meningkatnya transmisi, keparahannya, hingga kemampuan virus mengelabui imunitas inangnya (manusia yang terinfeksi).

Dalam menetapkan tingkat varian-varian ini, Gunadi menjelaskan WHO memberi label khusus pada setiap varian baru. Label Varian of Interest diberikan pada mutasi baru yang menyebabkan transmisi lokal dan terdeksi pada beberapa negara.

Kemudian, Variant of Interest bisa naik menjadi Variant of Concern dengan beberapa syarat. Pertama, varian itu jelas meningkatkan transmisinya, secara epidemiologi lebih cepat. Kedua, varian itu menyebabkan meningkatnya virulensi yang menyebabkan semakin parah inangnya, bahkan bisa sampai meninggal. Ketiga, varian tersebut menurunkan efektivitas protokol kesehatan, alat diagnostik, vaksin, dan terapi.

“Syarat lain untuk suatu varian mendapat label tentunya tergantung apakah varian tersebut masih bertahan lama. Tidak bisa hanya yang bertahan satu bulan saja. Jadi, jika suatu varian yang sudah menjadi Variant of Concern bisa saja diturunkan jika dampaknya sudah tidak memenuhi persyaratan tadi lagi,” terangnya, dalam Webinar “Pemanfaatan Next Generation Sequencing” yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada Kamis (3/6/2021).

Sejauh ini, Gunadi mengungkapkan terdapat 4 varian SARS-CoV-2 yang masuk dalam katergori Variant of Concern. Keempatnya adalah varian Alpha (B.1.1.7 pertama kali diidentifikasi di Inggris), Beta (B.1.351, Afrika Selatan), Gamma (P.1. Brazil), dan Delta (B.1.617.1, India).

Gunadi yang juga aktif di Pokja Genetik FKKMK UGM dan RSUP Dr. Sardjito menjelaskan, kesemua varian tersebut sama-sama meningkatkan transmisi, tetapi dampaknya pada imunitas berbeda-beda. Sementara untuk meningkatkan keparahan semuanya serupa, kecuali varian Delta.

Mengenai kemungkinan varian lokal di Indonesia, Gunadi menyebut hal itu memerlukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini memerlukan data genom yang lengkap. “Tentunya untuk menentukan varian lokal masih diperlukan data yang lebih banyak lagi,” jelasnya.

Terakhir, Gunadi mengungkapkan dampak virus Covid-19 secara umum tidak hanya dipengaruhi oleh virus itu sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh host genetic susceptibility dan host comorbidity. “Covid-19 merupakan multifactorial disorder jadi tidak serta merta manifestasinya ditentukan varian dari virus itu sendiri. Namun, terdapat pula peran genetik karakteristik dan komorbiditas dari pasien itu sendiri. Dengan demikian, dampak yang diterima masing-masing individu juga akan berbeda,” urainya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//